Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Berkaca pada Jassin

Mahkamah Agung menyatakan ketentuan off the record hanya berlaku untuk pejabat publik tertentu. Gara-gara itu, seorang narasumber dihukum dua bulan penjara.

10 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERS negeri ini layak mengibarkan bendera setengah tiang. Betapa tidak. Kesakralan mekanisme off the record—hak narasumber meminta nama dan pernyataannya tak dikutip wartawan—kini mulai digerogoti. Dalam sebuah putusan kasasi menyangkut gugatan pencemaran nama baik terhadap Arifin Wardiyanto, Kepala Telkom Cabang Wates, Yogyakarta, majelis hakim di Mahkamah Agung (MA) telah mengetuk sebuah putusan kontroversial. Bunyinya: ketentuan off the record hanya berlaku untuk "pejabat publik tertentu", tidak untuk Arifin. Tak dijelaskan apa batasannya, tapi dengan vonis itu hakim seperti membolehkan wartawan mengabaikan permintaan narasumber agar kerahasiaannya dilindungi—suatu hal yang selama ini amat dijunjung tinggi. Malang buat Arifin. Karena sudut pandang itu, oleh majelis di Pengadilan Negeri Yogyakarta, kasasi, sampai peninjauan kembali di MA pada 1998, ia dinyatakan bersalah lalu diganjar dua bulan kurungan. Cuma di tingkat Pengadilan Tinggi Yogyakarta, hakim berpihak ke Arifin. Preseden buruk bagi dunia pers ini terungkap Jumat dua pekan lalu, setelah Majelis Eksaminasi—lembaga kerja sama Indonesian Court Monitoring dan Indonesian Corruption Watch—merampungkan kajian mereka atas putusan janggal itu. Kisruh bermula saat Arifin memberikan informasi off the record kepada sejumlah wartawan di Yogyakarta, Oktober 1995 silam. Arifin menerangkan, ternyata ada pungutan liar dalam pemberian izin warung telekomunikasi (wartel) di Yogyakarta. Pihak yang menginginkan lisensinya cepat keluar mesti menyetor uang pelicin Rp 7,5 juta hingga 25 juta kepada pejabat Telkom melalui Asosiasi Pengusaha Wartel Indonesia Yogyakarta, yang diketuai Yahya Ombara. Arifin merasa gerah. Karena itulah ia membukanya ke pers supaya dibongkar. "Info tersebut cuma untuk latar belakang, tidak untuk disiarkan," tuturnya. Tapi betapa kagetnya dia ketika esok pagi seluruh informasinya, lengkap dengan nama jelasnya, ditulis telanjang bulat di harian Yogya Post—telah tutup dua tahun lalu—yang ternyata juga dipimpin Yahya Ombara, sang ketua asosiasi wartel tadi. Berbekal berita di medianya sendiri itu, Yahya yang menjabat Pemimpin Perusahaan Yogya Post lantas menggugat Arifin. Kamal Firdaus, pengacara dan anggota Majelis Eksaminasi, menilai pertimbangan MA itu justru menabrak ketentuan. Sangatlah jelas, kata Kamal, Undang-Undang Pers Nomor 40/1999 menyatakan wartawan wajib menaati kode etik. Dan poin keenam Kode Etik Wartawan Indonesia telah menetapkan setiap juru warta memiliki hak tolak (tak membuka jati diri sumber yang minta identitasnya dirahasiakan), dan menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang maupun off the record sesuai dengan kesepakatan. Toh Yahya emoh dituding medianya bersalah. Menurut dia, pencemaran nama baik adalah sebuah kesalahan dan memang layak dihukum. "Apakah itu seperti yang tertulis di Yogya Post atau tidak, hukum yang harus membuktikan," tuturnya. Apa pun alasannya, di mata Henry Subiakto, dosen hukum media massa di Universitas Airlangga, pemberitaan Arifin itu merupakan "pelanggaran besar terhadap kode etik". Menurut dia, sepanjang informasi yang disampaikan memang benar adanya, sumber semacam Arifin yang berani membongkar kasus korupsi wajib mendapat perlindungan dari institusi pers maupun hukum. "Bukan malah jadi korban," katanya lagi. Dalam hal ini, masih kata Henry, para juru warta mesti berkaca pada keteguhan H.B. Jassin. Suatu ketika, majalah Sastra yang dipimpinnya memuat sebuah cerita pendek berjudul Langit Makin Mendung. Penulisnya menggunakan nama samaran: Ki Panji Kusmin. Kisah fiksi itu memang aneh, menggambarkan Nabi Muhammad turun ke bumi naik bouraq dan turun di Pasar Senen. Sontak karangan itu dituduh menghujat Islam. Perkaranya lalu berujung di pengadilan. Oleh hakim, Jassin diminta membuka siapa nama asli Ki Panji Kusmin. Toh ia bergeming. Berpegang teguh pada komitmennya, demi melindungi jati diri si penulis, Jassin rela masuk penjara. Rommy Fibri, L.N. Idayanie, Sunudyantoro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus