Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Selama Hayat Dikandung Badan

Inilah sisa komponis lagu nasional kita: Alfred Simanjuntak, pencipta lagu Bangun Pemudi Pemuda dan H. Mutahar, sang pencipta lagu Syukur. Di Hari Pahlawan ini, TEMPO menyambangi mereka.

10 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tangan tua itu bergetar, menekan tuts-tuts piano. Bangun Pemudi Pemuda….

Di suatu pagi, Alfred Simanjuntak, yang usianya telah menanjak ke 82 tahun, mengingat suatu masa. Bagaimana pada tahun 1940-an secara sembunyi-sembunyi ia mengajar lagu itu di sebuah sekolah menengah. Tentu ia khawatir, karena setiap saat Jepang, yang telah memasukkannya ke daftar hitam karena dianggap mengobarkan semangat kebangsaan, bisa datang.

Sementara itu, seorang tua yang lain, di kawasan Cipete, dengan mata berbinar-binar menceritakan pengalamannya. Lelaki itu berusia 86 tahun, bernama H. Mutahar. Dia berkisah, pada 4 Juni 1950 pemerintah Belanda menggelar Gala Concert di Taman Raden Saleh dan menghadirkan empat penyanyi opera terkenal Belanda: Corry Bijster, Anne Heres, Hans Fevre, Laurens Bergman, diiringi Radio Philharmonic Orchestra dengan konduktor Yvon Barstoven.

Tapi pada saat yang sama, jam sama, sebuah konser tandingan diadakan di Gedung Schouwburg (kini Gedung Kesenian Jakarta, Pasar Baru) oleh kaum Republiken. "Saya yang menyanyi, pemain orkesnya semua orang kiblik, konduktornya Varmolomias asal Polandia yang simpati pada perlawanan kita," kata Mutahar kepada TEMPO. Ia menyanyikan lagu klasik ringan seperti Liebestraum Franz List. Dan puncaknya dengan latar koor 200 murid Taman Siswa. Kemudian ia menyanyikan Indonesia Syukur karya Marah Syafii, yang membuat Perdana Menteri Syahrir yang hadir terharu.

Mereka adalah komponis Indonesia yang masih hidup dari semua pencipta lagu perjuangan kita. Meskipun berbeda pergaulan, mereka sama-sama menciptakan lagu abadi itu di Semarang. Lagu Bangun Pemudi Pemuda diciptakan saat Alfred Simanjuntak menjadi guru musik di Sekolah Rakyat Sempurna Indonesia di Jalan Gergaji 3. Inilah sekolah yang didirikan oleh Dr. Bahder Johan (yang kemudian menjabat Menteri Pendidikan) dan Wongsonegoro, yang menjabat Gubernur Jawa Tengah.

Adapun H. Mutahar menciptakan Syukur saat ia mengajar musik di Gedung Theosophy Semarang. Baik Mutahar maupun Alfred masih ingat di zaman Jepang, setiap upacara Senin, mereka diwajibkan menyanyikan Kimigayo dan Umi Yu Kaba untuk mengenang arwah pahlawan Jepang. Mereka diharuskan menunduk ke arah Tokyo, memberi penghormatan kepada Tenno Heika, sembari mengucapkan sai kere, sai kere. "Kalau pas begitu malah saya memelesetkan jadi sami kere, sami kere, mboten sami sugih (kita kere, kita kere, tidak kaya), ha-ha-ha...," tutur Mutahar terkekeh. Pemaksaan-pemaksaan itu membuat Alfred sadar bahwa mereka membutuhkan suatu himne sendiri. Maka ia merancang himne itu.

"Waktu itu saya lagi mandi, sayup-sayup saya seperti dapat inspirasi mendengar lagu tersebut. Na-na-na-na…. Dalam keadaan tubuh masih agak basah saya keluar menuliskan nada-nadanya dengan not angka di atas kertas," katanya mengenang kembali. Pergaulan Alfred di Semarang sungguh kreatif dan inspiratif. Ia bersahabat erat dengan L. Manik dan Binsar Sitompul. Mereka semua saling mengenal semenjak ia sekolah di Hollands Inlandsche Kweekschool di Mertoyudan, Jawa Tengah.

"Bayangkan, kami yang masih setaraf SMP diajar menyanyi Messias karya Handel," kata Alfred. Sekolahnya memiliki hubungan baik dengan sekolah Katolik di Muntilan. Di situ R. Sudjasmin (di kemudian hari dikenal sebagai konduktor Istana) memiliki orkes lengkap yang memainkan lagu Mozart, Verdi, dan Beethoven. Di Muntilan itulah Cornel Simanjuntak (Maju Tak Gentar, Padamu Negeri, Sorak Sorai Bergembira, Tanah Air), L. Manik (Satu Nusa Satu Bangsa), dan Binsar Sitompul belajar. "Suara Cornel hebat. Tenor tinggi, padahal tanpa mikrofon, betul-betul seperti tenor Italia," tutur Alfred. Kelak secara kreatif mereka saling gesek. Saat C. Simanjuntak menciptakan Pada Pahlawan, Alfred mencipta Saudaraku Berpulang Dulu.

Di Semarang, Alfred mengontrak rumah bersama Liberty Manik di Jalan Ledog Sari 12. Di sanalah mereka setiap hari memainkan biola bareng, bergantian suara satu, suara dua. Dari rumah itu pula telah lahir lagu Satu Nusa Satu Bangsa. "Saya sempat berkomentar sewaktu dia gremeng-gremeng menyanyikannya, bahwa lagunya seperti lagu gereja," tutur Alfred. Ada satu hal yang menjadi ciri menarik mereka bersama: "Lagu-lagu kami pasti akhirnya nada-nadanya naik. Bersemangat. Tak ada yang cengeng."

Ketika Alfred ke Jakarta, Manik kemudian studi ke Jerman. Manik berhasil memperoleh gelar doktor filsafat dengan magna cum laude di Universitas Frein. Disertasinya berjudul Das Arabische Tonsysten Im Mittelalter adalah pengkajian kitab-kitab musik para filsuf muslim seperti Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ihwan al-Safa. "Luar biasa, sayang tak banyak orang tahu soal itu," kata Alfred. Yang tragis adalah nasib Cornel Simanjuntak. Ia ikut bertempur melawan Belanda di Tanah Tinggi, Jakarta, dan tertembak di pahanya. Cornel meninggal di usia 26 tahun karena tak mau peluru itu dikeluarkan. "Biarlah tetap di dalam. Merdeka atau mati," demikian tutur Alfred menirukan Cornel.

Itulah sebabnya ketika ciptaan Cornel, Tanah Tumpah Darahku yang Suci Mulia, dinyanyikan orkestra Bali, saat tragedi Kuta tempo hari, Alfred Simanjuntak teringat kematian sahabatnya sendiri. Cornel Simanjuntak yang jenius itu seolah jasanya dilupakan pemerintah, hanya diabadikan dalam sebuah taman kecil 5x5 meter di Jatinegara, yang kini tak terawat. "Dengan segala hormat kepada Ismail Marzuki, sesungguhnya Cornellah yang merintis semangat baru, nada baru di Indonesia. Lagu-lagu dia, selain bersemangat nasional, juga berjiwa internasional. Itu yang tak dimiliki Marzuki," ujar Alfred.

Akan halnya H. Mutahar, ia mengenang bagaimana masa-masa membangun komunitas musik di Semarang pada tahun 40-an. Ia memimpin orkes milik Jawatan Kereta Api (PJKA) di daerah Lawang Sewu. Di samping itu, ia memiliki orkes simfoni remaja. Muridnya lebih dari 300 anak. Jadwalnya padat.

Dari Senin sampai Kamis, ia melatih lagu-lagu klasik, membentuk suara sopran, alto, tenor, dan bariton. Lalu setiap Minggu di Gedung Theosophy Semarang ia melatih orkesnya, dari pukul 10 pagi hingga pukul 1 siang. "Saya melengkapi alat-alat musiknya sendiri, mencari trombon, obo, pikolo. Mencari suara kontrabas pada anak-anak susahnya minta ampun."

Bakat menyanyi Mutahar tampak sejak kecil. Suaranya melengking seperti perempuan. Setelah remaja, lelaki yang masih memiliki darah Belanda dari neneknya itu memiliki kecenderungan suara alto. Dari seorang doktor musik Polandia bernama Rudzit di Semarang, Mutahar mempelajari musikologi dan conducting.

Bagaimana proses lagu Syukur yang terkenal itu terjadi? Saat itu tanggal 7 September 1944. Dengan mata kepala sendiri, Mutahar menyaksikan banyak warga Semarang mengunyah bekicot untuk mempertahankan hidup. Pukul tiga siang, ia masuk kelas musik, langsung bermain organ sembari berurai air mata. "Saya terenyuh sekali. Muncullah kata-kata spontan… dari yakinku teguh. Hati ikhlasku penuh. Akan karunia-Mu…, karena saya yakin Tuhan akan melindungi tanah air kita…."

Pada 1946-1948, saat ibu kota republik di Yogyakarta, Mutahar sudah bekerja sebagai ajudan Bung Karno. Di Istana Negara, di Jalan Malioboro, suatu pagi tahun 1946, Bung Karno mengeluarkan perintah kepada Mutahar. "Cak, kon nggaweo aubade." (Tolong buat aubade) "Dalam hati saya bilang, "Aubade kok isuk-isuk." (aubade kok pagi-pagi). Yang lucu, untuk mengetes lagunya, ia kesulitan karena saat itu Yogyakarta belum memiliki orkes yang bagus. Akhirnya ia mencoba musiknya di orkes keraton yang menurut dia asbun alias asal bunyi. Saya meng-conducting naik meja reot. Semangat betul memainkan lagu 17 Agustus tahun 45..., itulah hari kemerdekaan kita…, sampai mejanya ambruk, saya mau jatuh," kata Mutahar terkekeh-kekeh.

Baik Alfred maupun Mutahar, meski sudah uzur—selama hayat masih dikandung badan—terus mencipta. Lagu terakhir Simanjuntak adalah Himne PKB, yang berisi Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allah Mahabesar…. Meskipun seorang pemeluk agama Kristen, ia mampu menciptakan musik untuk berbagai kalangan. Beberapa bulan silam, ia pula yang menciptakan lagu anak-anak Unite Children of the World, yang dinyanyikan lebih dari 1.000 anak Indonesia di Jakarta Hilton Convention Center.

Kondisi Indonesia yang tercabik kini berbeda sekali dengan ketulusan zaman mereka berdua. Alfred masih ingat bahwa spirit kebangsaan mereka yang menyebabkan mereka nekat menyanyikan Bangun Pemudi Pemuda di lapangan terbuka. H. Mutahar juga ingat bagaimana pertama kali di upacara 17 Agustus, Hari Merdeka dinyanyikan. Mereka tergetar. Bung Karno memuji, "Pinter kon iku.…"

Kini Mutahar dan Alfred tak kuasa bertanya: mengapa gelora persatuan itu hilang. Alfred, yang baru saja dibedah kepalanya karena terpeleset jatuh dari kursi, kemudian mencipta Damai Indonesia, yang liriknya: Hai dengarlah, Damai Indonesia….

"Semoga bersama-sama Cornel Simanjuntak, Binsar, Manik di surga sana nanti kami bisa menyanyikan lagu ini bersama," katanya lirih. Adapun H. Mutahar bulan ini baru saja menyelesaikan sebuah komposisi. Selembar notasi angka yang terselip di antara tumpukan ratusan bukunya yang lusuh tiba-tiba diserahkan kepada TEMPO. Judulnya: Uang. "Ini zaman ngawur. Uang…, semuanya uang…," kata sang kakek sembari menyanyi geram.

Seno Joko Suyono dan Dwi Arjanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus