Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BARANGKALI alam memang berpihak kepada Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, ekonomi Indonesia ibarat berada di atas gelombang pasang, bertumbuh dengan komoditas alam sebagai salah satu pendorongnya. Yang menjadi motor baru bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah mineral bernama nikel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada dua hal yang menjadikan nikel motor baru pertumbuhan ekonomi. Yang pertama adalah keberanian pemerintah melarang ekspor nikel mentah ke luar negeri. Dampak positif kebijakan ini adalah kebangkitan industri hilir, seperti pengolahan feronikel, industri baja antikarat, dan industri baja karbon. Yang kedua adalah nikel yang makin populer sebagai bahan baku bagi baterai mobil listrik ataupun sistem penyimpanan daya (energy storage system), yang akan menjadi salah satu infrastruktur energi di masa mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebangkitan industri mobil listrik di seluruh dunia membangkitkan semua sektor pendukungnya, terutama industri baterai. Di dunia, ada dua jenis baterai yang saat ini populer, yaitu LiFePO4 dan baterai berbasis nikel. Baterai LiFePO4 sangat berkembang di Cina karena materialnya di Negeri Tirai Bambu cukup banyak dan harganya lebih murah. Sedangkan baterai berbasis nikel seperti Li-NCM 811, Li-NCA, dan Li-NCMA menjadi tren di seluruh dunia sehingga sangat menguntungkan Indonesia.
Indonesia memiliki kekayaan sumber daya nikel yang melimpah. Cadangan nikel Indonesia mulai dipetakan di zaman Belanda dan data itu dibuat lebih komprehensif pada 1966, saat awal era Orde Baru dan pemerintah mulai membuka pintu bagi masuknya investasi asing di bidang pertambangan.
Berdasarkan statistik yang dikeluarkan lembaga asal Amerika Serikat, US Geological Survey (USGS), cadangan nikel di Indonesia sebesar 21 juta ton. Angka ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia. Nikel di Indonesia lebih banyak daripada di Australia yang memiliki cadangan 20 juta ton. Dengan sumber daya itu, Indonesia merajai produksi nikel di seluruh dunia.
Sementara itu, Eramet, perusahaan asal Prancis, pada 2007 mengakuisisi tambang nikel di Weda Bay, Halmahera Tengah, Maluku Utara, yang konsesinya dimiliki perusahaan Kanada, Weda Bay International Ltd. Weda Bay, yang memperoleh konsesi pada 1998, pernah mengukur cadangan mineral di wilayah tersebut. Diketahui terdapat 4 juta ton nikel murni di sana. Eramet yang mengakuisisi tambang itu menemukan hitungan baru yang hasilnya sangat mencengangkan. Menurut hasil pengukuran Eramet, cadangan nikelnya ternyata mencapai 9,3 juta ton. Jumlah ini bahkan melampaui cadangan nikel di seluruh Rusia yang menempati posisi keempat dunia sebesar 6,9 juta ton.
Barangkali, karena terinspirasi perkembangan tersebut, pada 2020 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mensurvei cadangan nikel di 328 lokasi. Dari survei tersebut diketahui cadangan nikel Indonesia ternyata lebih dari 72 juta ton, jauh lebih besar daripada hitungan USGS. Temuan ini yang menempatkan Indonesia sebagai "penguasa" lebih dari 50 persen cadangan nikel dunia.
Industri Baterai di Indonesia
Sebagai bagian dari program penghiliran, selain membangun smelter besar-besaran untuk membuat feronikel dan baja antikarat, para investor berlomba-lomba mendirikan pabrik baterai nikel hulu. Ini adalah pemrosesan bijih nikel menjadi bahan baku baterai paling awal dengan teknologi high pressure acid leaching (HPAL). Proses ini mengawali tahap produksi baterai mobil listrik. Seusai tahap HPAL, produsen menjalankan proses refining, pembuatan prekursor, pembuatan material katoda dan sel baterai, lalu menyusunnya menjadi modul baterai dan battery pack.
Salah satu perusahaan yang membangun fasilitas HPAL adalah PT Halmahera Persada Lygend, yang didirikan Harita Group bersama Ningbo Lygend. Halmahera Persada Lygend membangun fasilitas HPAL di Pulau Obi, Maluku Utara, dengan kapasitas produksi 60 ribu ton. Ada dua lini yang dibangun pada tahap pertama dengan kapasitas 37 ribu ton, yang telah berproduksi pada 22 Juni 2021. Sedangkan empat pabrik HPAL lain dibangun di Morowali, Sulawesi Tengah, oleh QNB, Huayou, Fajar Metal Industry, dan Teluk Metal Industry. Pabrik Huayou mulai berproduksi secara komersial pada Februari 2022. Adapun QNB menyelesaikan konstruksi dan memulai produksi pabrik berkapasitas 30 ribu ton pada September 2022.
Dengan perkembangan tersebut, di Indonesia sudah ada tiga perusahaan yang mengoperasikan pabrik pengolahan nikel dan mulai mengekspor produknya. Dengan kekuatan di sisi hulu, Indonesia sudah memiliki pijakan yang sangat kuat untuk mengembangkan industri lanjutan seperti refining, pembuatan prekursor, dan produksi material katoda. Di bagian tengah atau midstream, dominasi masih ada di tangan perusahaan asing seperti dari Cina dan Korea Selatan.
Di level midstream, yang akhir-akhir ini muncul sebagai raksasa adalah LG International. Saya menyebutnya raksasa karena perusahaan tersebut mulai membangun pabrik di atas lahan seluas 275 hektare di Kawasan Industri Batang, Jawa Tengah. Pabrik ini mampu memproduksi bahan baku baterai sebesar 200 gigawatt-jam (GWh) yang bisa digunakan untuk 3,5 juta mobil listrik. Dari seluruh kapasitas produksi pabrik ini, yang dibutuhkan untuk membuat baterai tingkat hilir hanya 10 GWh. Artinya, sebagian besar produk pabrik akan disalurkan ke fasilitas produksi LG lain, yang telah berkolaborasi dengan produsen di negara-negara lain.
Jika strategi LG itu dapat membawa mereka unggul dalam persaingan industri baterai, bisa ditebak bahwa pada akhirnya banyak perusahaan akan melakukan strategi serupa, yaitu mengembangkan industri baterai fase midstream di Indonesia. Produsen asal Cina, Huayou, sebagai contoh, mampu melakukan integrasi vertikal semacam itu. Produsen lain asal Cina, Contemporary Amperex Technology Ltd (CATL), mulai merintis industri hulu di Indonesia demi melengkapi kekuatan mereka di sisi hilir.
Sementara itu, di sisi hilir, sejumlah perusahaan sedang membangun pabrik baterai di Indonesia. LG bersama Hyundai dan Kia Motors mendirikan pabrik di Karawang, Jawa Barat, dengan kapasitas produksi 10 GWh. Pembangunan pabrik ini akan diikuti perusahaan dari Cina seperti CATL atau BYD, bahkan perusahaan Jepang seperti Panasonic. Yang jelas, perkembangan ini membuat Indonesia menjadi negara yang memiliki kekuatan dalam industri baterai. Setelah menjadi negara terbesar di industri hulu melalui pengolahan nikel, sebentar lagi sangat mungkin Indonesia menjadi yang terbesar di industri midstream dan hilir baterai, bergantung pada pengembangan industri dan pasar mobil listrik.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo