SUATU usaha penyelundupan, yang mencoba menerobos Inpres 4/85, terbongkar awal Desember ini. Adalah sejumlah barang impor dari Singapura tiba di Jakarta dalam peti kemas, padahal LKP (Laporan Kebenaran Pemeriksaan) Impor dari SGS Singapura menyatakan bahwa barang itu hanya diperiksa masih dalam kemasan kantung. Terbukti kemudian, isi peti kemas itu bukan hanya ammonia carbonate, tapi juga barang-barang elektronik yang tak disebutkan dalam LKP pelindungnya. Pengimpor barang tersebut jelas adalah PT Tisani Karsa Agung (TKA), beralamat di Jalan K.H. Zainul Arifin, Jakarta. Namun, seorang pimpinan TKA yang dihubungi TEMPO menyatakan bahwa barang itu bukan miliknya. Baru sekali ini perusahaan itu diperalat PT Segatrans Persada yang berkantor pusat di Angke, Jakarta. Ceritanya, Oktober lalu, Segatrans meminta bantuan TKA. "Dia mau mengimpor tapi tak mempunyai TAPI," tutur pimpinan TKA, yang tak mau disebut namanya itu. TKA memang memiliki TAPI (Tanda Angka Pengenal Importir). TAPI keluaran Agustus dari Departemen Perdagangan itu pernah "disewakan" TKA untuk sebuah perusahaan modal asing guna mengimpor monosodium fosfat dari Jerman - tentu saja dengan imbalan. Ternyata, tak ada masalah. Nah, Segatrans pun meminta jasa TKA dengan surat pernyataan tertulis yang meyakinkan. Pernyataan itu mengatakan, persyaratan segala dokumen akan dipenuhi bila ada tuntutan, akan menjadi tanggung jawab Segatrans, dan ia pun bersedia membayar Rp 35 untuk setiap US$ 1 dari nilai CIF (cost insurance & freight) barang impor, berikut biaya clearance Rp 200.000. Pihak TKA, yang menganggap transaksi itu wajar, kemudian melakukan impor. Seperti dijanjikan, verifikasi SGS di Singapura memang diminta. Namun, pemeriksaan SGS - seperti kemudian dilaporkan Executive Vice President SGS Jakarta, R.J. Wareham, kepada Departemen Perdagangan, 6 Desember - hanya sampai pada tahap awal pemeriksaan. Pada 18 November, inspektur SGS baru mulai melakukan pemeriksaan 2.120 karung ammonia di gedung pengirim di Singapura. Dalam LKP-nya baru sempat dicatatkan data berat setiap kantung, mutu kemasan karung, serta isinya yang sesuai dengan laporan spesifikasi. Petugas SGS selanjutnya memberitahukan secara tertulis kepada pengirim bahwa tanggal pengapalan barang harus dilaporkan. Verifikasi itu ternyata hanya sampai sekian. Pada 20 November, pengirim memang memberitahukan ke SGS bahwa pengapalan hendak dilakukan 21 November dengan kapal Tanah Air, dan karung-karung ammonia akan dimasukkan ke dalam dua peti kemas ukuran 40'. Kedua peti kemas itu bernomor XTRU-8971592 dan XTRU-8972330 dengan nomor segel PL-00189 dan PL-00190. Tentu saja SGS harus melakukan verifikasi lebih lanjut: menyaksikan bahwa barang yang dimasukkan ke peti kemas itu memang karung-karung berisi ammonia yang sudah diperiksanya. SGS juga yang harus memasangkan segel. Kecele. Peti kemas itu rupanya sudah keburu dimasukkan ke kapal. Akibat verifikasi lebih lanjut yang gagal itu LKP pelindung barang itu sama sekali tidak menyebut-nyebut peti kemas maupun nomor peti dan nomor segel. SGS agaknya kemudian menarik kesimpulan bahwa pengiriman barang itu telah berjalan sesuai dengan Inpres 4/85. Sebab kemudian ada teleks dari PT Tisani Karsa Agung ke perusahaan pengirim barang di Singapura, Rand River Trading, bahwa barang sudah diterima dalam dua peti kemas dengan nomor-nomor peti dan segel yang telah dibubuhkan pengirim, dan isinya memang ammonia sesuai dengan pesanan. Pembayaran sudah dilakukan lewat L/C sebuah bank yang akan mengontak bank si eksportir di Singapura. Pimpinan TKA mengakui kepada TEMPO bahwa perusahaannya memang telah mengajukan pembukaan L/C di Bank Central Asia bernilai S$ 25.175 untuk 53 ton ammonia yang diimpor tadi. Namun, teleks yang diterima di Singapura tentang telah diterimanya barang kiriman dalam keadaan baik, rupanya, di buat pihak PT Segatrans Persada. "Saya tak pernah tahu macam apa barang-nya dan di mana pula gudangnya. Semua urusan mulai dari pengapalan di Singapura hingga pengambilannya di Priok dilakukan Segatrans Persada," tutur pimpinan TKA. NAMUN, entah bagaimana kasus itu akhirnya terbongkar. Pihak pejabat di pelabuhan Tanjung Priok memang tak menghambat pengeluaran barang yang dilindungi LKP tak lengkap itu. Tapi, di luar pelabuhan, barang itu dikuntit aparat Polri Laksusda Jaya, dan Asisten Inteligen Kejaksaan Tinggi Jakarta. Konon, hanya karena kebetulan ada dua "bajing loncat" tertangkap membongkar isi peti kemas itu dalam perjalanan ke Muara Karang. Isinya akhirnya ketahuan bukan hanya ammonia, tapi juga puluhan koli video, tape-compo, karpet, dan berbagai jenis barang lain. Dari pengusutan lebih lanjut, akhirnya ketahuan barang-barang itu ditujukan ke gudang di Jalan Pecenongan dan Mangga Besar Raya, alamat kantor cabang PT Segatrans Persada. Tjia Wan Tjiang, 35, anak ke-9 dari 10 bersaudara sebuah keluarga di bilangan Pasar Baru, kemudian mengakui barang-barang itu miliknya. Tjiang, biasa dipanggil Awan oleh keluarganya, mengaku juga bekerja sama dengan seorang Jakarta yang kini berada di Singapura, Levi. Usaha mereka, menurut aparat yang menangani kasus penyelundupan itu, jelas merupakan upaya menggagalkan Inpres 4/85.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini