PERTIKAIAN para pemegang saham suatu perusahaan keluarga yang berada di daerah, ternyata, bisa mengundang menteri Tenaga Kerja Sudomo sebagai juru damai. Sabtu lalu, Sudomo harus datang ke Semarang, untuk menyejukkan pabrik jamu PT Nyonya Meneer yang sudah terpanggang oleh panasnya para pemegang saham. Saking hebatnya perselisihan para komisaris perusahaan itu, 1.500 karyawan sudah diliburkan sejak akhir November, kemudian Sabtu lalu diperpanjang lagi oleh Sudomo hingga 8 Januari 1986. Perusahaan yang didirikan 1954 oleh Nyonya Meneer itu sudah dihibahkan kepada lima anaknya, sejak 1967, kendati sang Nyonya sendiri masih sempat memimpin perusahaan hingga ia meninggal pada 1978. Penggantinya adalah si anak bungsu, Hans Pangemanan, yang berhasil meningkatkan kekayaan perusahaan yang berpusat di Semarang itu dengan antara lain pabrik, laboratorium, kebun rempah-rempah bahan baku jamu seluas 52 ha. Pemasaran produknya bukan hanya ke seluruh kota di Indonesia, tapi juga ke mancanegara. Semula, karyawan perusahaan itu hanya 160 orang, kini 1.500 dengan upah terendah Rp 1.000 berikut bonus Rp 300 dan uang transpor Rp 200 per hari. Suatu sumber di perusahaan itu mengatakan bahwa omset perusahaan berkisar antara Rp 500 juta dan Rp 600 juta per bulan. Diam-diam, rupanya, api perselisihan sudah mulai memercik sejak 1982, yang kini telah menyala besar dan rupanya sulit dipadamkan lagi. Keponakannya, Johny Saerang, yang mewakili keluarga Luzy Saerang (anak ke-3 keluarga Meneer) dan Fitzcimons Kalalo, dari keluarga Ny. M.O. Kalalo (anak ke-4), merasa tak puas dengan kepemimpinan Hans. "Kami, sebagai komisaris, seperti tak berpengaruh apa-apa di perusahaan," kata Johny. Kelompok Johny dan Fitzcimons, yang menguasai 40% saham, menyebut dirinya kelompok minoritas. Perselisihan mulai tampak dari luar sejak 1984. Kedua pihak mengundang Menaker Sudomo sebagai juru damai. Tapi, rupanya, Sudomo menganggap masalah mereka cukup ditangani pemerintah daerah setempat. Gubernur Jawa Tengah, Ismail, ternyata kemudian melimpahkan urusan itu kepada Wali Kota Semarang, H. Iman Soeparto, yang kemudian membentuk tim asistensi, dengan unsur Wali Kota, Kanwil Depnaker, Dinas Perburuhan, Kejaksaan Tinggi, dan Puspi Ja-Teng. Sempat diadakan rembukan di rumah dinas Wali Kota di Manyaran. Rembukan itu, 7 Mei 1984, menyetujui susunan kepemimpinan baru: Hans Pangemanan sebagai Direktur I, Fitzcimons Kalalo sebagai Direktur II, sedangkan Noni Saerang (anak sulung keluarga Meneer), Charles Ong (cucu dari anak ke-2) dan Johny Saerang sebagai Komisaris. Kesepakatan Manyaran itu disetujui berlaku tiga tahun. Namun, rupanya, masih ada api dalam sekam. Kelompok minoritas tetap merasa tertekan. "Cimons, Direktur II, dan saya, yang berpredikat komisaris, tak pernah diajak musyawarah. Mereka menaikkan harga, membuka pasaran di mana-mana, tanpa persetujuan kami," tuduh Johny. Bulan lalu, rupanya api perselisihan itu berkobar lebih hebat, dan tampaknya sudah lebih sulit dipadamkan. Hans menuduh Fitzcimons melakukan kekerasan, menguasai kantor pusat dengan tukang pukul. "Saya pernah kena pukul anak buah Cimons," kata Hans, sambil menunjukkan bekas luka di pelipisnya. Terpaksa ia menjalankan kepemimpinan dari rumah. Ia menuduh kelompok minoritas telah berlaku urakan, seenaknya mengangkat karyawan pengawas pemasaran, pengawas promosi, dan memberhentikan 200 karyawan pabrik penggerusan, sekitar awal November lalu. Sebaliknya, Cimons menuduh Hans telah berbuat sewenang-wenang, 12 November. "Ia menyuruh polisi memblokir perusahaan," katanya. Sementara itu, Hans telah mengundang rapat umum pemegang saham, 15 November, yang rupanya tak dihadiri pihak minoritas. Hasilnya: mengangkat Hans Pangemanan sebagai Direktur Tunggal, dan Noni Saerang sebagai Komisaris Tunggal. Keputusan itu dibantah Cimons. Katanya, kesepakatan Manyaran masih berlaku. Bantahan itu dibantah lagi pihak mayoritas, diwakili pengacara mereka, Adnan Buyung Nasution, yang menyatakan bahwa kesepakatan Manyaran tak mempunyai kekuatan hukum, dan Cimons berlindung di balik kekuasaan aparatur pemerintah. Bantah-membantah itu yang menyebabkan Sudomo akhirnya turun tangan, 28 November, dengan memanggil kedua pihak dan penasihat hukum mereka bertemu di rumahnya di Jalan Borobudur, Jakarta. Kali ini pihak mayoritas diwakili Charles Ong, sedangkan minoritasnya diwakili Ny. M.O. Saerang. Hasil musyawarah itu, antara lain, pihak minoritas bersedia menjual sahamnya kepada pihak mayoritas dengan harga yang disesuaikan dengan taksiran perusahaan penilai yang ditunjuk masing-masing. Sebelum ini pihak minoritas, menurut Adnan Buyung Nasution, telah menawarkan saham mereka sebesar Rp 10 milyar, tapi hanya ditawar Rp 2 milyar. Entah bagaimana hasil penilaian yang dianggap wajar, menurut Sudomo, segala urusan harus sudah beres 8 Januari mendatang. Max Wangkar Laporan Yusro M.S. (Yogya) dan Agus B. (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini