Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Freddy pun Kehilangan Kursi

Putusan Mahkamah Konstitusi membuat sejumlah politisi batal jadi wakil rakyat.

16 Agustus 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kabar itu membuat Freddy Latumahina terperanjat. Tawa lebar salah satu Ketua Partai Golkar itu mendadak senyap. Kabar itu bak ledakan petir yang mengguncangnya. Takut salah dengar, Freddy minta Budi Harsono, pejabat Sekretaris Jenderal Partai Golkar, mengulangi isi berita itu. "Betul, Pak, kursi kita hilang satu di Papua," begitu Budi meyakinkan.

Yang diajak bicara hanya terduduk lemas. Ia tak hirau lagi dengan keramaian sekitarnya. Ruangan kerja Ketua DPR Akbar Tandjung, yang sejuk dengan dua mesin pendingin bekerja meniupkan hawa dingin, terasa sesak dan panas. Acara mengukur dan memesan jas baru yang digelar bersama sejumlah koleganya itu tak lagi asyik. Freddy memilih duduk dan diam.

Selasa siang dua pekan lalu itu, dalam rapat penetapan anggota DPR dan DPD di Komisi Pemilihan Umum, Budi Harsono dikabari bahwa kursi Partai Golkar dalam pemilu legislatif 5 April di Papua berkurang satu. Sebulan sebelumnya, penghitungan suara terakhir di KPU menetapkan Partai Golkar mendapat tiga kursi di Papua. Si empunya tiga kursi itu adalah Simon Patrice Morin di urutan pertama, Alex Hasegem, dan Freddy Latumahina.

Kursi ketiga untuk Freddy itu kemudian "pindah pemilik". Pemilik barunya adalah Partai Pelopor. Bagaimana bisa? "Ini konsekuensi lanjut dari dikabulkannya permohonan gugatan Partai Pelopor oleh Mahkamah Konstitusi," kata Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin.

Partai Pelopor keberatan dengan penghitungan suara yang ditetapkan KPU untuk Papua. Ditetapkan perolehan suara Pelopor di Papua adalah 34.061 suara. Padahal KPU Papua menghitung perolehan Pelopor sebanyak 45.061 suara. Setelah dilacak, menurut Wakil Sekretaris Jenderal Partai Pelopor Ristiyanto, ternyata selisih 11 ribu suara itu ditemukan di Kabupaten Yahukimo. Dalam berita acara dari KPU Pusat, perolehan suara Pelopor di Kabupaten Yahukimo cuma dicatat 16.819 suara. Dalam catatan KPU Kabupaten Yahukimo, Pelopor meraih 27.819 suara. "Karena itu, kami memprotes dan tak mau menandatangani saat hasil suara pemilu DPR ditetapkan. Kami minta KPU mengubah angka itu," kata Ristiyanto.

Sayangnya, permintaan Pelopor ditolak Ketua Kelompok Kerja Penghitungan Suara KPU, Rusadi Kantaprawira, dengan alasan sudah terlambat. Ia menyarankan agar Ristiyanto meneruskan keberatan itu ke Mahkamah Konstitusi.

Tiga hari kemudian, gugatan itu disetorkan. Segepok bukti berupa hasil penghitungan suara disertakan. Sejumlah saksi dihadirkan dalam sidang 27 Mei lalu, misalnya anggota KPU Kabupaten Yahukimo, Dortheis Imbiri, dan Sekretaris KPU Yahukimo, Elly J. Rumy. Hasilnya? Gugatan Partai Pelopor dikabulkan. "Suara partai kami bertambah 11 ribu," ujar Ristiyanto.

Buntut kemenangan Pelopor dan koreksi jumlah suara itu ternyata panjang. Total suara pemilih di Papua bertambah dari 945.188 menjadi 956.199 suara. Jatah kursi DPR untuk Papua adalah sepuluh buah. Maka, jika jumlah total suara pemilih dibagi jumlah kursi, "harga" sebuah kursi di Papua berubah menjadi 95.619. Hanya Partai Golkar yang sanggup melampaui batas bilangan pembagi itu, dengan merebut 233.500 suara. Golkar mendapat dua kursi, tapi punya sisa suara sekitar 42 ribu. Delapan kursi yang lain diberikan kepada partai dengan perolehan suara paling dekat dengan bilangan pembagi. Nah, Partai Pelopor kebagian jatah satu kursi karena sisa suara Partai Golkar kalah banyak dari suara Pelopor, yang 45 ribu. Satu kursi itu diduduki Etha Bulo, calon nomor satu Pelopor—kursi yang semula diraih Freddy Latumahina, Koordinator Wilayah Pemenangan Pemilu Golkar di Maluku dan Papua.

Freddy kesal bukan saja lantaran kursinya hilang, tapi juga karena keputusan KPU pada 15 Juni itu baru sampai ke markas Partai Golkar hampir dua bulan kemudian. Sehari setelah menerima kabar hilangnya kursi Partai Golkar, Ketua Umum Akbar Tandjung melayangkan surat ke KPU. "Bagaimana mungkin untuk keputusan yang sepenting itu kami tak diberi tahu? Apalagi keputusan itu menyebabkan hilangnya kursi Golkar," kata Rully Chairul Azwar, Sekretaris Badan Pemenangan Pemilu Golkar.

Terlambat, tapi tetap mengikat dan final. Freddy jelas tak puas. Maka ia terbang ke Papua, naik gunung ke kawasan Yahukimo, mencari lagi saksi-saksi penghitungan suara di kawasan itu. "Saya menginginkan kebenaran," ujarnya.

Hasilnya? Freddy menemukan sejumlah kejanggalan pada dokumen-dokumen yang menjadi alat bukti Partai Pelopor di persidangan. Misalnya, 21.819 suara yang diklaim sebagai perolehan suara Pelopor di Distrik Anggruk ternyata menurut Freddy adalah jumlah semua suara pemilih yang sah. Suara Partai Pelopor untuk Etha Bulo tertulis 3.819 suara. "Kami punya bukti tertulis dari Panitia Pelaksana Kecamatan (PPK) Distrik Anggruk, lengkap dengan tanda tangan semua anggota PPK," ujar Freddy.

Berbekal bukti-bukti itu, Partai Golkar mengajukan permohonan peninjauan kembali putusan MK yang mengabulkan permohonan gugatan Pelopor. Surat permohonan resmi itu telah dikirim Selasa pekan lalu. "Kami sangat dirugikan dengan keputusan itu," begitu bunyi surat kepada MK tersebut.

Namun Ketua MK Jimly Asshidiqie menganggap usaha Golkar itu sia-sia. Dalam pedoman beracara Mahkamah Konstitusi tidak dikenal upaya hukum peninjauan kembali. "Inilah esensi putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat," ujarnya.

Jimly memastikan, lembaga yang dipimpinnya itu tak sembarang memeriksa perkara dan bukti yang diajukan. Selama ini, semua persidangan perkara perselisihan pemilu digelar secara terbuka. "Jadi, mustahil kalau kami sengaja menutup-nutupi," ujarnya. Soal tak diundangnya Golkar, kata dia, itu karena MK menangani perkara gugatan Pelopor ke KPU, bukan Golkar.

Sebenarnya, bukan cuma Freddy yang mengalami nasib buruk. Atas putusan MK pula, menurut Wakil Ketua KPU Ramlan Surbakti, satu kursi milik Partai Nasional Banteng Kemerdekaan di Kalimantan Barat beralih ke Partai Bintang Reformasi. Lalu kursi milik Partai Demokrat di Sulawesi Tengah beralih ke Partai Amanat Nasional. Satu kursi Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan di Irian Jaya Barat kini beralih ke Partai Damai Sejahtera. Sedangkan satu kursi Dewan Perwakilan Daerah di Jawa Tengah beralih dari Dahlan Rais ke K.H. Achmad Chalwani. Sidang-sidang sengketa di MK membuat penetapan anggota DPR dan DPD yang harusnya kelar Mei lalu terpaksa molor tiga bulan.

Ada yang senang, tapi jelas banyak yang kecewa dengan putusan MK. Walaupun tak ada kesempatan banding atas putusan MK, Jimly menyarankan, jika ditemukan bukti-bukti baru, kasus pemalsuan data bisa ditempuh secara pidana.

Inilah yang ditempuh Dahlan Rais. Setelah MK mengabulkan gugatan Achmad Chalwani atas penetapan suara DPD Jawa Tengah, adik kandung Amien Rais ini urung menjadi anggota DPD karena urutannya melorot menjadi nomor lima. Posisinya ditempati pengasuh Pondok Pesantren An-Nawawi, Purworejo, tadi dengan perolehan suara 881.050. Namun ia tak menyerah. Apalagi, ia menemukan, data yang dipakai Chalwani sebagai dasar gugatan ke MK sengaja dimanipulasi. Ia pun memutuskan melaporkan Chalwani ke Kepolisian Daerah Jawa Tengah dengan tuduhan pemalsuan data.

Riuh-rendah dan repot, tapi pasti kehadiran MK memungkinkan hasil suara digugat—inilah yang berbeda dengan pemilu sebelumnya.

Walaupun begitu, ada juga putusan MK yang sulit dilaksanakan, bahkan oleh KPU. Contohnya kasus hilangnya kursi DPR untuk Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PPDK). Mulanya, MK memenangkan Partai Damai Sejahtera (PDS) dalam kasus suara di Irian Jaya Barat. PPDK harus menyerahkan kursinya kepada PDS.

Namun, belakangan, KPU Irian Jaya Barat melayangkan surat kepada kepolisian dan menyatakan PDS melakukan penggelembungan suara. Dilema besar muncul. PDS menolak kursi yang datang dari keputusan MK. Sedangkan PPDK juga tidak mungkin mengambil kembali kursi itu. Kenapa? "Karena putusan MK bersifat final dan mengikat," ujar Ramlan Surbakti.

Lalu kursi itu menjadi kursi tak bertuan? Untuk memenuhi unsur keadilan dan ketaatan hukum, KPU memutuskan kursi DPR di Irian Jaya Barat dikosongkan.

Suara rakyat memang terbuang akhirnya, menjadi "ongkos belajar" yang mahal untuk penyelenggaraan pemilu.

Widiarsi Agustina, Purwanto (TNR)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus