"ANGIN sejuk" bertiup di lantai Bursa Efek Jakarta (BEJ), pekan lalu. Orang pun mulai berbisik-bisik tentang situasi bursa yang bearish alias melempem. Sebaliknya, para pialang tampak kegerahan. Itulah indikasi yang menandakan bisnis mereka sedang dijangkiti "lesu darah". Harga-harga saham melembik. Tepat 1 Agustus Rabu pekan silam, misalnya, Indeks Harga Saham Gabungan melandai sampai 611,9. Cukup jauh dibanding indeks rata-rata bulan sebelumnya, yang bertahan di sekitar angka 630. Tak pelak lagi, suasana seperti ini membuat orang segan berdagang. Menari pembeli pun sulit. Akibatnya, transaksi merosot. Pengalaman PT Carr Dharmala Securitis Indonesia, misalnya. "Transaksi merosot tinggal sepuluh persen dari biasa," kata direkturnya, Glenn W. Gouw. Ia, dan -beberapa pialang, sampai pada kesimpulan bahwa salah satu biang keladi kelesuan BEJ adalah menipisnya dana di kalangan perbankan. Suku bunga pinjaman antarbank alias call money --, yang Jumat pekan lalu pernah menembus angka 40%, sudah merupakan barometer yang tak perlu diragukan kebenarannya. Pasti ada yang tak beres. Lebih pasti ialah gejala seretnya likuiditas. Bandingkan dengan tingkat bunga call money di masa normal, yang besarnya antara 10 dan 12 persen. Di tengah suasana sulit ini pun, Bank Indonesia belum tergerak untuk memasok rupiah. Pemerintah tampaknya khawatir akan laju inflasi yang cukup tinggi, 7,01 persen dalam semester I tahun ini. Nah, agar angka itu tidak sempat jadi liar, pemerintah bersikap ketat. Langkah memasyarakatkan Sertifikat Bank Indonesia, misalnya, tampak sejalan dengan pengetatan pasokan uang itu. Kebijaksanaan ketat ini mau tak mau membuat pasar modal kembang kempis. "Pengaruhnya besar sekali," kata M. Hasan, Direktur Pelaksana PT Multicor. Soalnya, sudah bukan rahasia lagi, banyak orang membeli saham di pasar modal dengan menggunakan dana pinjaman dari bank. Istilah mereka, main di leverage. Nah, sejak seretnya dana yang dibarengi dengan meningginya suku bunga, dan dihentikannya pinjaman dari bank, maka ciutlah dana yang berputar di lantai bursa. Selain pemodal lokal sedang "bengek", pemodal asing pun tampak tak bergairah memborong saham di BEJ. Boleh jadi, persaingan ketat yang terjadi di antara beberapa pasar modal di kawasan Asia Tenggara juga membuat mereka tak bergairah. "Muangthai beberapa bulan ini memang sedikit lebih baik dari Jakarta," kata Glenn berkomentar. Tapi masih ada lagi sebab lain, yakni pasokan saham yang berlebihan. Belakangan, kecenderungan untuk melepas saham dalam jumlah besar sungguh menjadi-jadi. Dua pabrik tokok raksasa, Gudang Garam dan Sampoerna, menawarkan saham senilai Rp 932,65 milyar. Belum pabrik tekstil Pan Brothers Tex dan pabrik kain ban PT Branta Mulia, yang masing-masing menawarkan saham senilai Rp 33,06 milyar dan Rp 115,6 milyar. Sementara itu, enam perusahaan lain ikut turun di lantai bursa sepanjang Agustus ini. Selain mengingatkan agar waspada terhadap dampak negatif saham-saham besar, Kwik Kian Gie, seorang pengamat ekonomi dan Direktur Institut Bisnis Indonesia, juga mengajak orang untuk mewaspadai pasokan dari partial listing atau right issue, yang dihitungnya cukup banyak. Partial listing adalah penjualan saham tambahan, di luar yang sudah ditawarkan sebelumnya. Sedangkan right issue ialah penerbitan saham baru yang digunakan untuk mengganti dividen. Sampai 21 Agustus depan, nilai saham tambahan ini, menurut Kwik, sudah mencapai Rp 3,8 trilyun. "Saham yang baru masuk itu bisa tersaingi, maka sebaiknya izin partial listing itu disetop saja," begitu saran Kwik. Repotnya, para penjamin emisi alias underwriter tampak tidak peduli dengan keadaan ini. Mereka terus berpacu menjual saham-saham baru. "Mungkin karena banyak penjamin emisi baru yang dulunya belum kebagian, dan sekarang ingin ikut," kata M. Hasan. Bagaimana mereka menjual saham baru di tengah situasi yang sulit ini? Buat mereka, memang ada ladang lain, yaitu pasar perdana. Tentu saja, mereka juga memperkirakan kemampuan para langganan. Maka, tak heran jika para underwriter masih bisa mengumumkan bahwa saham yang mereka jamin sudah habis terjual. Tanggung jawab mereka memang sampai di sini. Keruwetan itu baru timbul ketika saham diperdagangkan di pasar sekunder. Daya beli di sini lebih susah diramal. Tak mustahil kalau harga saham pelan-pelan merosot, terutama jika banyak orang berminat untuk segera menjual, dengan niat membeli lagi saham baru di pasar perdana. Di Jakarta, banyak konglomerat yang tak akan berpangku tangan jika harga sahamnya melorot. Bagaikan Bulog, mereka akan melakukan operasi pasar, agar harga bisa bertahan. Dan itu bisa dilakukan oleh perusahaan pialang yang dimilikinya, yang tentu berusaha keras agar harga sahamnya tetap berada di atas harga perdana. "Itu bisa jadi bumerang," kata Glenn. Sementara itu, underwriter sudah sibuk lagi dengan saham baru lainnya. Melihat gejala semacam ini, Ketua Badan Pelaksana Pasar Modal, (Bapepam), Marzuki Usman, sudah menyiapkan jurus baru yang disebutnya hurtle and hassle. Dalam prakteknya, jurus ini akan memperketat pemberian izin emisi. "Ibarat ujian, soalnya dipersulit untuk meningkatkan kualitas perusahaan yang go public," ia menjelaskan. Pihak penjamin, misalnya, akan diminta membuat proyeksi harga saham di pasar sekunder. Mereka harus bisa membuktikan bahwa harga saham itu di pasar sekunder tidak akan rontok. Rekor masing-masing underwriter juga dicatat, termasuk berapa perusahaan yang dijamin dan seperti apa penampilannya di bursa setelah beberapa waktu. Selain itu, para penasihat hukum diharuskan agar lebih serius memeriksa. Bukti fisik harus pula diperiksa oleh para akuntan sebelum menerbitkan laporan keuangan. "Pokoknya, saya sekarang seperti tukang cambuk. Mereka harus diputar dulu sebelum izin didapat," lanjut Marzuki. Jika "jurus" baru itu benar-benar dipakai, kelihatannya tak akan banyak lagi perusahaan yang memasuki bursa sampai akhir tahun ini. Jadi, kemungkinan besar BEJ akan lebih sering melempem ketimbang menggalak. Sementara itu, Marzuki dengan tenang mengatakan, "Kalau begini caranya, lebih ilmiah." Yopie Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini