Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bermula dari Ruang Tamu

Seorang pengusaha di Malang sukses membiakkan toko buku berdiskon. Kini dia menjelma menjadi ”konglomerat buku”.

26 Februari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Segalanya bermula dari serangkaian penolakan. Keinginan Johan Budi Shiva, 43 tahun, untuk bekerja di perusahaan tak kunjung tercapai. ”Puluhan lamaran saya kirim, tapi nggak ada yang tembus,” kata Johan.

Ternyata penolakan itu malah menjadi pemicu adrenalin bagi Johan. Di ruang tamu rumah mertuanya di Jalan Bukit Barisan, Malang, Johan dan istrinya, Swandayani, mendapat ide. Pada akhir 1990, dengan modal Rp 35 juta, ruang tamu itu disulap menjadi sebuah toko yang menjual buku teks untuk mahasiswa dan dosen.

Pilihan ini diambil karena selain Malang dikenal sebagai salah satu kota pelajar, persaingan toko buku di sana tidak seketat di Surabaya. Apalagi Swandayani punya pengalaman mengelola Toko Buku Uranus di Surabaya, milik Fredy dan Gunawan, kakak kandungnya.

Di masa-masa awal, tokonya memang tak banyak mendulang untung. Sehari omzetnya cuma Rp 60 ribu. Tapi Johan tak putus asa. Untuk menggaet pembeli, ia rajin menghadiri sejumlah seminar. Lewat cara ini, banyak dosen dan mahasiswa yang mulai mengenalnya. Johan juga kerap mensponsori kegiatan kampus, meskipun kontribusinya sebatas membantu membuatkan spanduk yang dibubuhi iklan tokonya: ”Toga Mas, toko buku diskon”. Selain menerapkan diskon dan pandai melobi, Johan juga pandai mencari lokasi. Tokonya lazimnya dekat dengan sekolah atau lembaga pendidikan, sehingga calon pembelinya tinggal menclok dan membeli buku ke tokonya.

Iming-iming diskon dan lokasi yang dekat itu membuat Toga Mas menjadi pendulang ”emas” dalam buku. Delapan tahun berselang, bisnisnya mulai berkembang. Pembeli terus bertambah, kenalan meluas, sehingga Johan pun mulai menambah karyawan dan membenahi manajemen, termasuk menghindari bad stock alias buku tak laku. ”Buku tak laku (adalah) ancaman bagi toko buku,” katanya.

Johan kemudian memberanikan diri membeli sebuah ruko berlantai dua di Jalan Galunggung, yang masih berdekatan dengan sejumlah kampus di Malang. Di tempat baru ini, selain menjual buku pelajaran, Johan juga menjual buku umum dan peralatan kantor.

Berkat kerja kerasnya itu, bisnisnya terus menggelembung. Pada tahun itu juga Johan melebarkan sayap usahanya ke Yogyakarta. Setelah itu, Toga Mas merambah Jember, Surabaya, Denpasar, Semarang, dan Bandung. Empat tahun lalu, sang juragan buku bahkan berhasil membeli tempat baru, ruko tiga lantai di Jalan Dieng, Malang, seharga Rp 2 miliar.

Kecuali di Malang, semua toko buku Toga Mas dikelola secara bagi hasil dengan pemilik modal yang menjadi mitra usahanya. Itu sebabnya, setiap toko buku punya ciri khas sendiri-sendiri. Toko Buku Toga Mas di Jalan Diponegoro, Surabaya, misalnya, lantainya berlapis karpet merah. Ini bukan untuk mentereng-menterengan, tapi karena pemilik rumah yang menjadi kawan kongsi Johan tidak ingin lantainya lecet. ”Sebab, lantainya marmer dari Italia,” kata Johan.

Terlepas dari berbagai ciri khas itu, semua toko Toga Mas hingga kini tetap punya satu resep: pembeli selalu disuguhi buku dengan harga diskon 20-35 persen. Keuntungan yang diraup pun jadinya memang tipis: cuma 5-10 persen. Tapi, kata Johan membuka rahasia, itu bukan soal jika diimbangi jumlah penjualan yang besar dan adanya efisiensi biaya operasional.

Demi efisiensi itulah semua toko Toga Mas tidak memakai mesin pendingin. ”AC membuat boros,” katanya. Dalam rangka berhemat, ia pun kerap mencari lokasi penjualan yang murah. Satu dari empat toko di Surabaya, misalnya, hanya menyewa ruangan di kantor pos, yang bersebelahan dengan Sekolah Dasar Negeri Kaliasin. Dengan begitu, jualan buku murah pun bisa jalan terus.

Kini bak seorang ”konglomerat” buku, Johan mencurahkan waktunya bolak-balik ke luar kota. Baru saja balik dari sepekan perjalanan ke Yogyakarta, dua hari kemudian ia sudah harus meninggalkan Malang, tempat kediamannya, menuju Surabaya. ”Untuk persiapan pembukaan toko baru,” katanya saat ditemui di Malang, Senin pekan lalu.

Kini tokonya sudah mencapai 11 buah. Yang paling buncit adalah Toko Buku Toga Mas di Jalan Diponegoro, Surabaya, yang pada Kamis lalu baru saja diresmikan Wakil Wali Kota Surabaya, Arif Afandi. Ternyata penolakan lamaran terhadap Johan malah berbuah keuntungan besar.

Zed Abidien Bibin Bintariadi (Malang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus