Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bersaing bisnis berat

Peresmian pabrik perakitan yang menangani alat-alat berat merk caterpillar di cileungsi bogor. perusahaan ketiga dalam jenisnya di indonesia. (eb)

5 Mei 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK hanya mobil mewah, pasaran traktor pun rupanya masih hangat di negeri ini. Paling tidak, begitulah gambaran yang tampak pada peresmian pabrik perakltan PT Natra Raya, yang menangani alat-alat berat merk Caterpillar, di Cileungsi, Bogor, Jawa Barat, Kamis pekan lalu. Ini perusahaan ketiga dalam jenisnya di Indonesia, setelah PT Komatsu Indonesia - yang memproduksikan Komatsu - dan PT Triguna Utama - yang membuat Mitsubishi. "Pasarannya memang cukup luas," ujar Menteri Perindustrian, Ir. Hartarto, setelah upacara peresmian. Menurut perkiraan, permintaan pasar dalam periode 1984 akan mencapai 1.700 unit. Yang diperkirakan paling laku adalah crawler bulldozer (1.000 unit) menyusul eel loader dar excavator (masing-masing 30 umt), kemudian motor grade1 (100 unit). Bila ditilik dan harga per unit, yang berkisal antara US$ 30.000 dan USgl 150.000, bisnis alat berat ini memang patut membuka selera. Tak heran kalau Caterpillar Co. USA menanamkan 80% dari modal perusahaan yang bernilai Rp 100 milyar ini. Sisanya dimiliki PT Trakindo Utama, yang sejak lama mengageni produk Caterpillar. "Pabrik ini sendiri menelan biaya Rp 25 milyar," tutur O. Amin Singgih, Direktur Utama Natra. Modal itu diperkirakan kembali dalam waktu yang cukup lama - sepuluh tahun. Pada kapasitas penuh, produksi akan mencapai 1.000 unit per tahun. Ancar-ancarnya: crawler (track) tractor tipe D7G/ D6D 40 unit per bulan,wheel loader 930 980C, dan motor rader 120B masing-masing 20 unit per buTan. Namun, "sekarang hanya akan memproduksikan 67 unit per bulan," kata Singgih. Menteri Hartarto, dalam upacara yang juga dihadiri dubes AS John Holdridge, Wakil Presiden Caterpillar Co. untuk Asia- Pasifik, dan Ketua BKPM Ir. Suhartoyo, meminta agar pada akhir Pelita mendatang, pabrik alat berat ini menggunakan 80% komponen lokal. Paling tidak untuk frame-nya. Sampai sekarang, komponen lokal yang dipakai terbatas pada blade moncong bulldozer untuk menggusur), dan canopy (atap), yang dibuat PT Sanggar Sarana Baja, anak perusahaan Trakindo Utama. Sedangkan ban motorgrader yang berukuran kecil dibuat PT Good Year, Bogor. Singgih berharap bisa menjual 300 sampai 400 unit tahun ini. Ia tak khawatir bersaing dengan mengandalkan nama Caterpillar yang, menurut Budiman, dari bagian promosi Natra, "identik dengan nama Mercy pada mobil." Di pasar, Caterpillar hanya bersaing ketat dengan Komatsu, yang dipasarkan PT United Tractors dari kelompok Astra. Komatsu sudah setahun lalu meresmikan pabriknya di Cakung. Pasaran terkuat masih Kalimantan home base sejumlah perusahaan kayu raksasa. "Tapi kini kami juga mengincar Irian Jaya," kata Taswin Tarip, Manajer Pemasaran Trakindo. Sayang, ia tak menyebut angka. Berbeda dengan United Tractors yang dalam keadaan resesi tahun lalu mengaku berhasil menjual 610 unit dari berbagai jenis, setelah setahun sebelumnya mencatat rekor 1.100 unit. "Tahun ini kami menjual 48 unit pada proyek batu bara Ombilin," tutur Pananrang dari bagian promosi Astra. Di luar usaha perkayuan, sektor lain yang menjadi sasaran pabrlk alat berat adalah subkonstruksi jalan, jembatan, dan aliran sungai. Dibandingkan dengan pihak pemerintah, swasta lebih diharapkan menjadi langganan. Cocok dengan keterangan Hartarto, yang menolak anggapan bahwa pasaran alat berat sangat tergantung pada sektor pemerintah. Namun, di luar Natra dan Komatsu, dua dari tiga perusahaan yang diizinkan mendirikan pabrik di Indonesia, di samping Triguna, bukan tak terdengar suara sumbang. "Tidak mudah menjual traktor," kata Sugeng, Manajer Pemasaran PT Alltrak 1978, yang mengageni peralatan Fiat Allis buatan Amerika. Itu sebabnya, barangkali, Alltrak menawarkan harga yang sedikit miring. Untuk traktor sejenis Caterpillar D7G, yang berharga Rp 182 juta, misalnya, Alltrak menawarkan Fiat Allis FD20 dengan hanya Rp 165 juta. Sebaliknya, Taswin Tarip melihat prospek pasar yang tetap cerah. "Memang mahal," katanya. "Tapi lihat pula produktivitasnya, dan hasil yang bisa diraih dari investasi itu." Apalagi, menurut Menteri Hartarto, penunjukan tiga perusahaan itu untuk berproduksi di dalam negeri merupakan langkah rasionalisasi merk. Jika produksi telah mantap, menurut Menteri, "dapat saja diberikan proteksi." Artinya, makin terbukalah rezeki bagi tiga pabrik yang kini memang sudah menguasai pasaran itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus