SETELAH bertahun-tahun merangkak kini nama PT Overseas Express Bank (OEB) mencuat. Kenapa tidak? Berdiri 20 Mei, sepuluh tahun silam, bank swasta yang berkantor di Pecenongan, kawasan yang dikenal sebagai arena bisnis mobil bekas di Jakarta Pusat itu, cuma bermodal Rp 1 milyar. Sekarang, seluruh asset-nya mencapai Rp 125 milyar, dengan pertumbuhan rata-rata 30% per tahun. "Pertumbuhan kami memang sangat pesat," kata I Nyoman Moena, Direktur Utama OEB. Sekarang, selain kantor pusatnya berlantai delapan yang hampir siap pakai di Pecenongan, bank itu punya cabang di kota-kota besar, mulai Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Denpasar, Banjarmasin, Ujungpandang, sampai Manado. Dan pekan lalu, OEB terpilih jadi juara umum sayembara membuat laporan tahunan yang diikuti 26 perusahaan bidang keuangan, 10 perusahaan asuransi, 19 pabrik, dan 8 perusahaan pertanian. Padahal, di antara peserta, ada bank beken, seperti Bank Central Asia, Bank Dagang Negara, Bank Bumi Daya, dan BNI 1946. Sayembara ini diadakan setiap tahun, sejak 1978, untuk mengembangkan sajian informasi bagi pemegang saham, kreditur, karyawan, dan pemerintah. Tentu saja informasi itu harus jujur. Karena itu, yang dinilai laporan yang dibikin OEB sendiri dan laporan pemeriksaan oleh akuntan publik. Yaitu, meliputi ringkasan perkembangan keuangan selama lima tahun, perkembangan posisi keuangan, tabungan dan deposito, perkembangan giro, dan pinjaman yang diberikan. Rupanya, oleh dewan juri yang diketuai Direktur Jenderal Pajak, Salamun A.T. (penyelenggaranya Bapepam bekerja sama antara lain dengan BKPM, Direktorat Jenderal Pajak, PT Danareksa, dan Bank Indonesia) OEB-lah yang terbaik. Padahal, laporan tahunan yang dipertandingkan, menurut Oscar Suryaatmadja, Dirjen Moneter Dalam Negeri, "Dapat jadi alat penilai dan alat pengawasan manajemen perusahaan." Manajemen di sini, menurut I Nyoman Moena, memang ditangani secara profesional. Demi itulah, kata Nyoman, "Ada pemilik saham besar yang tak didudukkan jadi pengurus." Belum cukup, ketika mendirikan bank itu ada kesepakatan pengurus bahwa "semua pengurus bank tak boleh membuka usaha lain." Diharapkan semuanya bisa berkonsentrasi mengurus OEB. Konsekuensinya, OEB tumbuh tanpa ditunjang grup usaha lain - seperti BCA ditunjang oleh pabrik semen Cibinong, pabrik terigu, dan sejumlah bisnis raksasa lain. Contoh kelihaian Nyoman bisa dilihat bagaimana OEB mengadakan kontrak manajemen dengan Bank of Tokyo, yang memungkinkan tenaga Jepang dikirim ke Jakarta. Si Jepang itu oleh Nyoman diberi modal stik golf, dan disuruh menghadiri jamuan makan di berbagai kota di sini. Hasilnya, menurut Nyoman, grup Mitsubishi yang membangun PLTA Grata dan Saguling jadi nasabah OEB, tahun ini. Bisnis bank di sini harus mengincar Jepang, "Karena 70% kegiatan investasi di sini dilakukan Jepang," kata Nyoman. Tapi OEB tak semata mengejar yang kakap. Di Bali, misalnya, bekerja sama dengan Pemda setempat, OEB membangun cottage pengusaha teri. Kemudian dari Rp 75 milyar dananya yang dikreditkan, Rp 5 milyar dalam bentuk kredit investasi kecil (KIK) dan kredit modal kerja permanen (KMKP). "Padahal, KIK dan KMKP tak menguntungkan," kata Nyoman. Soalnya, untuk jenis kredit itu, bank cuma meraih untung buna 6%, teramat kecil dibandingkan kredit komersial yang bisa 19%. OEB memulai semua dari bawah. Merupakan hasil penggabungan beberapa bank swasta lemah, "Kami ibarat membuat kapal induk dari besi tua," kata Nyoman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini