MASA mudah pengusaha lemah (baca pri bumi) agaknya telah berakhir. Keppres no. 14 tahun 1980, yang disebut sebagai "rahmat bagi pengusaha pribumi" dan sempat mengatrol pengusaha, jenis itu sampai berjumlah dua kali lipat di seluruh Indonesia, diganti dengar keppres baru no. 29 dan no. 30 tahun 1984. Salat satu bagian yang menarik dari keppres baru itu ralat dihapusnya istilah "pri' dan "nonpri" yang merupakan pasal penting dan keppres lama. "Kita sekarang yakin bahwa sudah tiba saatnya menghapuskan ungkapan-ungkapan yang mempertajam perbedaan,' ujar Menteri Muda Urusan Peningkatan Penggunaan Barang Produksi Dalam Negeri, Ginandjar Karta sasmita, yang mengumumkan keppres baru itu selesa pertemuan dengan atas perdagangan beberapa negara sahabat, Rabu pekan lalu. Tapi, tentu, bukan hanya itu arti keppres yang dilahirkan 21 April itu. Dengan keppres baru itu pemerintah terlihat serius menutup kebocoran-kebocoran yang terjadi akibat Keppres 14 A. Ruang gerak bagi pengusaha lemah untuk ditunjuk langsung sebagai rekanan - tanpa melalui pelelangan umum - dipersempit. Fasilitas penunjukan rekanan langsung itu selama ini menjadi permaman antara kepala proyek dan pemborong yang tidak bonafide. Keleluasaan yang diberikan Keppres 14 A kepada pengusaha lemah, dalam hal ini pribumi, memang besar sekali. Untuk borongan senilai Rp 20 juta ke bawah, rekanan usaha lemah bisa mendapat penunjukan langsung. Pelelangan pun, yang terbatas sesama pengusaha lemah, baru disyaratkan jika harga borongan berkisar Rp 20 sampai Rp 50 juta. Dan, menurut Keppres 14 A itu pula, yang dimaksud rekanan usaha lemah adalah perusahaan-perusahaan yang dimiliki sekurang-kurangnya 50% pribumi. Selain itu, separuh dari anggota dewan direksi dan dewan komisaris harus pula pribumi. Permodalannya, untuk pengusaha femah ditetapkan maksimal Rp 25 juta untuk usaha perdagangan dan jasa, dan Rp 100 juta untuk usaha Industri . Ketentuan itulah yang selama tiga tahun ini memberikan angin bagi pengusaha pribumi. Tapi penuh ekses. Misalnya, banyak tumbuh perusahaan "Ali-Baba". Yang lebih merugikan adalah munculnya "perusahaan keluarga" sebagai pemborong. Akibatnya, banyak proyek yang diselcsaikan di bawah mutu, bahkan tak bisa dimanfaatkan. Contoh yang paling hangat mungkin yang ditemukan Opstib dalam operasi Vidya Griya, terhadap pembangunan SD Inpres Penyelewengan bestek ternyata terjadi dihampir semua daerah. Borongan yang nilainya rata-rata sekitar Rp 5 juta itu hampir semuanya dikerjakan pengusaha pribumi. "Bayangkan, akibatnya setiap tahun ratusan milyar uang negara dihabiskan," ujar Ketua Opstibpus, E.Y. Kanter (TEMPO, 19 Februari 1983, Nasional). Kerugian-kerugian semacam itulah yang hendak diatasi pemerintah dengan keppres baru itu. Berbagai aparat pengawasan diciptakan, seperti Tim Pengendah Pengadaan Departemen dan Lembaga. Borongan yang boleh ditunjuk langsung rekanannya hanya yang bernilai Rp 5 juta ke bawah. Jika pengusaha lemah mendapat borongan di atas Rp 50 juta, diharuskan si rekanan mengerjakan sendiri proyeknya. Artinya, rekanan itu tidak boleh bertindak sebagai "calo" untuk perusahaan lain, seperti yang selama ini dipraktekkan. Yang lebih penting dari itu, "pengusaha lemah" tidak lagi ditafsirkan "pribumi". "Sesuai dengan UUD, istilah 'pribumi' sekarang diganti dengan 'Indonesia asli'. Bukankah warga negara Indonesia mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum?" ujar Ginandjar. Siapa yang asli dan siapa yang sepuhan tidak ada penjelasan terperinci. Menteri Ginandjar menyebutkan, "Indonesia asli adalah orang yang sudah membaur dengan penduduk asli." Berdasarkan kriteria itu, pintu bagi pengusaha lemah yang selama ini disebut "nonpri" terbuka untuk borongan pemerintah yang sekecil apa pun. Itu yang membuat pengusaha pribumi masih bertanya-tanya. "Saya setuju saja istilah 'nonpri' dihapus. Tapi, soalnya, kita belum siap bersaing dengan mereka," ujar Direktur PT Yudha Pratama, H. Moeis Usman, di Surabaya. Jika istilah itu dihapus menurut Moeis, yang juga Ketua Gakari Golkar. status "nonpri" akan sama dengan "pribumi". Perlakuannya tentu akan disamakan pula. "Dengkan begitu, mana mungkin kami bisa bersaing?' Pengusaha kuat Sofyan Wanandi, misalnya, juga menilai bahwa ketentuan istilah di keppres baru itu belum tegas. Sebab, masih ada istilah "Indonesia asli" dan "tidak asli". Satu-satunya kriteria tentang "Indonesia asli", termasuk juga orang-orang yang sudah membaur, menurut Sofyan Wanandi, bisa menyulitkan. Ia mengharapkan pemerintah menentukan kriteria orang-orang yang membaur itu. Menurut direktur perakitan mobil VW, PT Garuda Mataram, itu seharusnya orang-orang yang mempunyai jasa kepada tanah air dianggap Indonesia asli. Misalnya, yang ikut Revolusi 1945, pegawai negeri, dan pengusaha yang ikut membantu pemerintah dalam pembangunan. Dari segi bisnis, menurut Sofyan Wanandi, pengusaha kuat tidak memasalahkan keppres baru itu. "Mana ada pengusaha besar yang mau memikirkan tender di bawah Rs 200 juta?" ujarnya. Tapi, katanya, tentu para pengusaha lemah dan kelompok yang berbeda ras itu terlibat dalam proyek kecil itu. Dia menyarankan, pemerintah lebih hati-hati memilih rekanan. "Tidak jarang pengusaha pribumi itu kerjanya hanya mondar-mandir mencari fasilitas," ujarnya lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini