PERUSAHAAN perakitan anjungan pengeboran minyak lepas pantai, PT McDermott Indonesia (MI), diam-diam telah memancangkan kaki di pasar luar negeri. Pekan lalu, dua konstruksi kaki anjungan bernilai US$ 15 juta dikapalkan dari pabrik MI di Pulau Batam untuk India. Ekspor konstruksi pengeboran minyak sudah dijalankan MI sejak 1980. Selain ke India, juga ke Filipina, Brunei, Serawak, Muangthai, sampai Venezuela. "Rencana kami, tahun ini mengekspor 30% produksi," kata presiden direktur MI, Basuki S. Hardjosoekatmo. Perusahaan AS yang mempunyai pabrik juga di AS, Amerika Selatan, Australia, Eropa, dan Timur Tengah itu menanamkan modal USS 140 juta di Batam memang untuk mendekati pasar di Indonesia dan negara-negara penghasil minyak sekitar Asia Tenggara. Namun, perusahaan PMA itu selama sepuluh tahun pertama sejak 1970, agaknya, berkonsentrasi menjual produksinya di pasar Indonesia. Sekitar 70% anjungan Pertamina diklaim MI sebagai hasil produksinya pada masa boom minyak itu. Perusahaan asing konstruksi pengeboran seperti MI itu, kabarnya, selama tahun 1970-an dengan mudah memasarkan produksinya di sini dengan harga tinggi. Munculnya perusahaan sejenis berstatus PMDN, seperti PT Adiguna dan PT Gunanusa Nusantara Fabricators (GNF) yang mampu memasang tarif sampai 60% dari harga tender, menyebabkan MI mulai memelopori pasar luar negeri. Perusahaan modal dalam negeri yang menjadi saingan utamanya dewasa ini adalah GNF, yang didirikan Desember 1980, dan pada 1983 memenangkan tender bernilai US$ 35 juta dari kontraktor minyak PT Arco. Dengan modal baru sekitar US$ 8 juta, GNF bisa pasang tarif lebih murah karena, agaknya, manajemennya tak menyukai tenaga asing yang menuntut gaji sampai 10 kali hpat dari karyawan Indonesia. "Ada yang minta Rp 9.900.000 per bulan, padahal kemampuan mereka tak beda banyak dengan orang Indonesia," kata direktur operasi GNF, Ir. Sjafhan Joesoef, M.S.I.E. Tenaga kerja GNF, sebanyak 800 orang, ada yang direkrut sendiri, tapi sebagian merupakan "bajakan" dari PT Adiguna dan perusahaan asing. Kebijaksanaan PT yang anti-orang asmg ini agaknya ditekan oleh kontraktor-kontraktor mimyak asing: mereka menuntut perusahaan modal dalam negeri ini memakai tenaga asing dari klien. Kerasnya persaingan antara PMDN dan PMA rupanya dimanfaatkan klien dengan mengulur-ulur pencairan proyek. PMA McDermott sendiri sudah mulai juga membatasi tenaga kerja asing. Perusahaan perakit anjungan pengeboran dan kapal tongkang berkapasitas 5.000 ton ini menggunakan 2.000 tenaga kerja, hanya 26 orang di antaranya orang asing. Basuki juga mengakui bahwa tenaga kerja asing itu suka melambat-lambatkan pekerjaan. Proyek kaki anjungan untuk India itu, misalnya, baru rampung setelah terlambat sebulan, hingga keuntungan 2% mungkin harus dipotong denda oleh pihak India. Persaingan tender di luar negeri cukup sengit. Saingan utama yakni pabrik-pabrik perakit konstruksi dari Jepang dan Korea. Mereka telah memiliki peralatan serba otomatis dan berlokasi cukup dekat dengan wilayah pemasaran MI. Hanya karena MI lebih dekat ke India, maka bisa mengalahkan perusahaan-perusahaan dari negeri utara tadi. Untuk ukuran Asia Tenggara, tampaknya, MI masih mampu mengalahkan perusahaan dari Singapura. Promet Berhad Singapura, misalnya, masih dianggap kecil oleh MI, yang pernah memenangkan tender atap hangar lapangan terbang Singapura. Untuk lebih meringankan langkah MI di luar neeri, perusahaan bermaksud meminta fasilitas kreditekspor. "Berlakunya pajak pertambahan nilai (PPN) mulai April akan menyulitkan cash flow perusahaan," kata Basuki. Sementara ini, fasilitas keringanan bea masuk barang impor nihil sudah dinikmati perusahaan yang berlokasi di wilayah pengolahan ekspor Pulau Batam itu. Sedangkan GNF - kendati berada di wilayah produksi dalam negeri (Merak) - masih bebas mengimpor alat-alat tanpa membayar pajak karena mendapat pembebasan selama tiga tahun sejak berproduksi, 1983. MW, Laporan Budi Kusumah (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini