MENGGUNAKAN pesawat jet eksekutif Philips Falcon, Dr. W. Dekker, presiden dan ketua dewan direksi NV Philips Gloeilampenfabrieken, Kamis lalu mendarat di pelabuhan udara Halim Perdanakusuma. Rencana besar pemerintah Indonesia membangun jaringan telekomunikasi pada Pelita IV rupanya menggiurkan plmpman perusahaan multinaslonal Belanda itu. "Saya datang untuk membicarakan kemungkinan peran serta Philips dalam pembangunan telekomunikasi di Indonesia," ujar Dekker dalam wawancara khusus dengan TEMPO, pekan lalu, di Penthouse Hotel Hilton. Pada Pelita IV pemerintah memang merencanakan membangun 750 ribu saluran telepon, 16.050 saluran teleks, dan 100 stasiun bumi kecil, dengan biaya US$ 3 milyar. Bila proyek mi berjalan mulus, pada akhir 1990 nanti Indonesia berarti akan memiliki 1,5 juta saluran telepon dan 31.800 saluran teleks. Bagi Philips, proyek itu merupakan proyek raksasa kedua yang dihadapinya, setelah pada 1978 berhasil memenangkan proyek sebesar US$ 3,5 milyar dari Arab Saudi, untuk memasang sejuta saluran telepon dan 28 saluran TV warna. "Proyek raksasa yang baru sekali terjadi, dan mungkin tidak akan pernah terjadi lagi pada sebuah perusahaan telekomunikasi," ujar Dekker menepuk dada. Meskipun demikian, Philips tidak berharap akan dapat mengulang sukses Saudinya di Indonesla. Menurut Dekker, yang dalam kunjungan kerjanya kali ini diterima Kepala Negara, Menko Ekuin, Menparpostel, dan Menristek yang Juga ketua Team Evaluasi Pelelangan Sistem Telekomunikasi Digital, hal itu disebabkan pemerintah akan memakai beberapa perusahaan untuk menyelesaikan proyeknya. Keadaan ekonomi Indonesia tidak menggetarkan niat Dekker. "Cepat atau lambat, Indonesia akan dapat lepas dari kesulitan keuangan," ujar Dekker. Baginya, investasi di bidang telekomunikasi adalah investasi jangka panjang kalena pembangunan sistem telekomunikasi sebuah negara tidak akan pernah berhenti. Dan yang lebih penting, kata Dekker, pemerintah Indonesia memberi prioritas pada pembangunan telekomunikasi. Untuk menghadapi saingan-saingannya yang cukup tangguh, seperti ITT, Siemens AG, LM Ericson, NEC, CIT Alcatel, dan GTE International, Philips ternyata tidak maju sendiri. Perusahaan yang di bidang telekomunikasi menduduki tempat ke-4 di dunia itu akan maju bersama ATT (American Telephone and Telegraph), sebuah perusahaan telekomunikasi kesohor di Amerika, yang sejak 1978 mengadakan kerja sama teknik, keuangan, dan pemasaran. "Kerja sama ini membuat kami sekarang ini dalam posisi yang sangat kuat, baik di Indonesia maupun di tingkat internasional," ujar Dekker kembali menepuk dada. Sayangnya, sesumbar Dekker ini tidak diimbangi dengan keadaan bisnis Philips di Indonesia. Meskipun telah beroperasi di Indonesia sejak zaman kolonial, tiga tahun terakhir ini Philips praktis hanya hidup dari menjual lampu pijar dan neon, yang jumlah penjualannya tahun lalu mencapai 9,5 juta buah. Pasaran barang-barang konsumennya, seperti televisi dan radio, nyaris habis dibabat Jepang - sampai-sampai keagenan Philips di sini ditawar-tawarkan pada perusahaan lain. "Tapi Philips belum menyerah, dan tahun ini akan come back," ujar Jan Anton Noe, manajer umum PT Philips-Ralin, yang mengaku baru menanamkan modal di situ US$ 16 juta. Dekker sendiri tidak mengakui kekalahan itu di tingkat internasional. Pasarnya di Indonesia memang teramat kecil dibanding perputaran uang Philips yang tahun lalu mencapai US$ 16 milyar. Praginanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini