PERUSAHAAN daerah (perusda) belum juga lolos dari dosa turunan. Di Jawa Tengah, dua perusahaan minyak kelapa terpaksa ditutup, dan dua lagi sedang mencari rekanan swasta untuk mengelak dari ajal. Padahal, dua tahun lalu, lebih dari 3.300 buruh, yang bekerja di pelbagai perusda mihk pemerintah daerah setempat, sudah dlpecati. Sementara itu, di Sumatera Utara, karena sudah kocar-kacir, besar kemungkinan delapan perusda di sana bakal dilikuidasikan dan diringkas menjadi satu usaha. DPRD Sum-Ut yang dilapori rencana restrukturisasi itu, akhlr Februan lalu, seperti sudah memakluminya. "Habis, selama ini delapan perusahaan daerah itu sudah ibarat kerakap tumbuh di batu," ujar wakil ketua DPRD Sum-Ut, H.M. Harun Amin. Artinya kurang lebih: hidup enggan, mati pun tak mau. Unit usaha percetakan Sriganda dan Deli, misalnya, kondisinya kini bagai orang jompo kehilangan rumah berteduh. Mesin kedua percetakan, yang dibangun pada 1890 itu, sekarang sudah tak bisa diajak bersaing dengan mesin cetak offset modern. Usaha memperbarui mesin rupanya tak dilakukan. Pada umumnya memang, selain menghadapi ketuaan teknologi, perusda juga menghadapi kekacauan manajemen dan ketidakjelasan kebijaksanaan keuangan. Mereka ternyata jarang melakuka restrukturisasi barang modal. Akumulasi dana penyusutan, entah karena apa, sering tak bersisa di laci meja direksi. Sedangkan laba usaha, kalaupun ada, habis disetor untuk mengisi kantung pemda. Boleh jadi nasib banyak perusda tak akan seburuk seperti kini kalau dulu para pengelolanya mau menyisihkan sebagian hasil laba usaha. Apa boleh buat, supaya pabrik minyak kelapa di Kebumen dan Purwokerto tidak ditutup juga, pemda Ja-Teng terpaksa mencari dana bantuan dari swasta, dengan cara menyelenggarakan usaha patungan. Selain sudah tua, kedua pabrik minyak kelapa itu pun sulit memperoleh bahan baku secara tetap. Akibatnya, produksi pabrik berada dibawah kapasitas terpasang: Kebumen menghasilkan 500 ton dari kapasitas 800 ton, dan Purwokerto 350 ton dari kapasitas 500 ton setiap bulan. Menurut Margana, kepala bagian perusahaan dan perbankan daerah Provinsi JaTeng, produksi sebesar itu bisa dicapai karena kebetulan Februari sampai Juli nanti sedang musim panen kelapa. "Entah setelah Juli nanti, apakah kami masih bisa berproduksi atau tidak," katanya. Produktivitas tanaman kelapa di kedua daerah itu memang makin merosot karena tak pernah diremajakan. Karena alasan itu, maka pemda berniat mengubah teknologi kedua pabrik itu menjadi pabrik yang mampu mengolah minyak sawit kasar menjadl minyak goreng komersial. Dua perusahaan swasta, PT Bukit Perak dan PT Sinar Mas Tunggal - masing-masing mengajukan usul investasi Rp 26 milyar dan Rp 17 milyar - yang menyatakan bersedia jadi rekan usaha untuk melakukan pengembangan itu. Tapi pemda dan keduanya rupanya belum saling mengiakan. Ganjalan pertama mengenai soal komposisi saham (pemda menghendaki bagian 55%, tapi swasta sebaliknya). Ganjalan kedua, mengenai soal keterbukaan pengelolaan. "Pihak swasta menyatakan masih pikir-pikir untuk saling terbuka dalam pengelolaan," kata Margana. Tapi tidak semua perusda itu bernasib konyol. Lima pabrik es dan 13 unit usaha di bidang jasa masing-masing masih bisa menyetor Rp 15 juta setiap tahun. Dua pabrik ubin dan dua pabrik keramiknya sekitar Rp 5 juta. Bahkan usaha perkebunannya bisa memasukkan Rp 60 juta ke kantung pemda Ja-Teng. Tak jelas benar apakah pemda merasa perlu meminta setiap unit usaha itu menyisihkan sebagian labanya untuk cadangan peremajaan nantinya. Di Jawa Timur, usaha meringkas 18 perusahaan menjadi lima buah, rupanya, masihbelum menunjukkan hasil maksimal. Laba yang disetor mereka, tahun lalu, hanya Rp 337 juta. Padahal, sebelumnya mencapai Rp 342 juta. Pabrik sandang di Sukorejo, Pasuruan, dan Madiun, karena mesinnya sudah tua-tua, memang tak bisa lagi diharapkan menghasilkan keuntungan. Sialnya lagi, mesin di ketiga pabrik itu tidak terbagi dalam unit-unit. Akibatnya, "Sekalipun yang dikerjakan sedikit, mesin harus hidup semua dan ini artinya pemborosan," ujar Trimaryono, ketua Badan Pengendalian dan Pengawasan Perusahaan Daerah. Sementara itu, di Jakarta, baru PT Radio Taxi, yang pada 1983 seluruh sahamnya diambil alih Pemda DKI Jakarta, yang ketahuan merugi. Dibandingkan dengan pemda lain, cakupan bidang usaha Pemda DKI Jakarta mungkin termasuk yang terluas: dari penyediaan batu bata, pasar, rumah bantai, sampai jasa konstruksi. Dengan pihak swasta lokal dan asing, Pemda DKI Jakarta tercatat menyelenggarakan 13 usaha patungan, seperti PT Pembangunan Jaya dan PT Delta Jakarta, penghasil Anker Bier. Kata Asmawi Manaf, ketua Badan Pengelolaan Investasi dan Penyertaan Modal (BPIPM), Pemda DKI Jakarta merasa belum perlu melakukan restrukturisasi untuk menghemat alokasi dana. "Kami sedang menginventarisasikan mana perusahaan daerah yang payah dan mana yang maju," ujarnya. Kalau toh ada yang payah, seperti Ratax, tinggal melaporkannya pada gubernur. Tapi, secara umum, sudah cukup baik di masa resesi ini, perusda itu bisa mencapai titik impas. "Tahun ini kami harapkan PT Alcan, penghasil alumunium patungan dengan Kanada, bisa membagikan dividen," tambahnya. Untung, bagi Pemda DKI Jakarta, perusda yang dikelolanya sebagian besar bukan diwarisi dari pemerintah Belanda yang teknologinya sudah gaek. Harga tanah di sini juga cukup tinggi. Hingga jika terdesak, pemda bisa menyelenggarakan patungan dengan hanya menyediakan tanah sebagai penyertaan modalnya. Tak jelas apakah pemda lain juga menempuh langkah serupa untuk mendirikan usaha patungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini