Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebijakannya kontroversial dan kerap bikin geger, mengacaukan perekonomian banyak negara pula. Tapi, dalam dua agenda, pasar keuangan Indonesia justru turut menikmati buah kebijakan Trump. Pertama, harga minyak. Kedua, suku bunga rujukan The Federal Reserve. Kedua hal itulah yang membuat nilai rupiah naik cukup tajam belakangan ini. Akhir pekan lalu, kurs rupiah berkisar 14.300 per dolar Amerika Serikat, melonjak 4,4 persen dalam sebulan terakhir.
Harga minyak dunia sudah anjlok sekitar 30 persen dari titik tertinggi pada Oktober lalu. Minyak Brent—patokan utama pasar—harganya cuma US$ 60 dolar per barel pekan lalu. Turunnya harga minyak otomatis menurunkan permintaan dolar Amerika untuk membayar impor minyak Indonesia. Walhasil, kurs rupiah meningkat.
Dalam hal minyak, Trump terus berunding dengan Arab Saudi dan Rusia. Trump menekan keduanya agar terus menggenjot produksi supaya harga minyak tetap rendah seperti sekarang. Bagi Trump, harga minyak yang terlalu tinggi ibarat pajak yang tak pandang bulu memeras konsumen minyak. Namun dua pemasok utama minyak dunia ini tentu punya kemauan lain. Saudi dan Rusia jelas menginginkan harga minyak lebih tinggi, yang berarti pendapatan ekstra buat mereka.
Ketiga negara itu sedang berunding di sela-sela sidang G-20 di Buenos Aires ketika tulisan ini sedang naik cetak. Berikutnya juga akan ada pertemuan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) pekan ini. Hasil serangkaian diplomasi dan pertemuan itu sangat mempengaruhi naik-turunnya harga minyak. Keberhasilan Trump menggunakan segala pengaruhnya agar tak ada pemangkasan produksi minyak juga akan menentukan nasib kurs rupiah pada pekan-pekan mendatang.
Ihwal suku bunga, Trump pun terus menekan, bahkan mengkritik secara terbuka, The Fed agar tidak agresif lagi menaikkan bunga. Trump tidak sungkan mempengaruhi kebijakan moneter Amerika—wewenang The Fed. Intervensi pemerintah Amerika terhadap The Fed merupakan tabu yang sangat serius. Inilah jangkar kepercayaan pasar global pada sistem keuangan Amerika dan pada dolar sebagai mata uang dunia. Tapi Trump seolah-olah tak peduli. Dan jika ia berhasil membuat The Fed menghentikan kenaikan bunga, Indonesia dan sejumlah negara berkembang lain akan ikut menikmati manfaatnya.
Entah apakah karena kuatnya tekanan Trump entah memang punya perhitungan lain tentang perubahan situasi ekonomi Amerika, The Fed akhirnya mengirimkan sinyal perubahan arah. Pekan lalu, Ketua The Fed Jerome Powell menyampaikan bahwa suku bunga The Fed sedikit saja di bawah normal. Pasar langsung membaca isyarat ini sebagai akhir dari serangkaian kenaikan bunga yang sudah terjadi delapan kali sejak 2015. Perubahan sikap Powell ini cukup drastis, mengingat notula rapat pimpinan The Fed sebelumnya menunjukkan betapa kebijakan bank sentral Amerika itu tetap mengarah pada kenaikan bunga secara bertahap, bahkan hingga tahun depan.
Untuk sementara, kedua faktor ini membawa dorongan positif. Pemerintah Indonesia pekan lalu juga mengeluarkan kebijakan pelonggaran pajak untuk menarik investasi. Dampak kebijakan ini memang tak akan langsung terasa pada arus masuk dolar. Namun kebijakan tersebut merupakan sinyal yang baik untuk meyakinkan pasar bahwa Indonesia masih konsisten menganut ekonomi terbuka.
Adapun akar masalah terbesar yang membuat rupiah tertekan tampaknya masih belum sepenuhnya hilang. Bagi Indonesia, obat permanen seharusnya berupa kebijakan struktural untuk mengurangi impor minyak dan menaikkan pendapatan dolar dari ekspor. Ini memang mudah diucapkan, tapi sungguh sulit diwujudkan.
Peringkat Kredit Indonesia
Standard & Poor's Rating BBB- Outlook Stable
Fitch Ratings Rating BBB Outlook Stable
Moody's Investor Service Rating Baa2 Outlook Stable
Japan Credit Rating Agency Rating BBB Outlook Stable
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo