Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Lahar dan Tangga-tangga

LAMPUNG Karam adalah syair yang mengisahkan letusan Gunung Krakatau pada 26-28 Agustus 1883.

1 Desember 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Adegan dalam Under the Volcano di panggung terbuka Aksobhya, Candi Borobudur, Magelang, 24 November 2018. -ANTARA/Anis Efizudin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Konon, penyairnya yang bernama Muhammad Saleh tengah berada di Lampung ketika gunung api itu meletus. Magma yang meluap dan memijar menenggelamkan desa-desa di Lampung direkamnya dalam syair.

Gambaran kecemasan menjemput bencana itu yang hendak digambarkan Yusril Katil dan Komunitas Seni Hitam Putih Sumatera Barat dalam pentas di tanah terbuka Aksobhya Borobudur pada 24 November lalu. Lewat Under the Volcano, dengan lanskap bayang-bayang Candi Borobudur di kejauhan, kita mula-mula melihat para penari perempuan menjajakan piring. Laki-laki menenteng kurungan, mengembangkan payung-payung. Bebunyian beling beradu dan riuh-rendah tawar-menawar menggambarkan mereka sedang berada di sebuah pasar di Tanah Minang.

Tiba-tiba tanah bergoyang, angin berembus kencang, dan abu dari Gunung Marapi berjatuhan, yang membuat orang-orang di pasar berhamburan. Mereka menumpuk kembali piring dan berlari menyelamatkannya. Payung-payung yang berkembang melindungi tuannya dari reruntuhan abu sekaligus membuat repot si empunya karena tersedot angin yang meliuk-liuk. Lalu delapan pemainnya menenteng tangga-tangga panjang ke atas panggung, menyandarkannya secara tegak pada sebidang papan putih yang menjadi latar panggung sekaligus layar. Mereka mengeksplorasi anak-anak tangga secara satu per satu ataupun grouping. Gerak tubuh mereka luwes, perpaduan antara tari dan pencak silat.

Ketika suara bergemuruh datang, mereka telah berada di pucuk-pucuk tangga. Bidang di belakang mereka menampilkan visual digital berupa semburan bunga magma dari kawah berpijaran. Visual gumpalan api yang kian besar menjadi sangat menawan di tengah suasana udara terbuka berlatar belakang Borobudur. Para pemain yang mengenakan kostum serba putih se-olah-olah menyatu dengan gumpalan lahar yang turun. Perjalanan lahar dari puncak kawah ke kaki gunung diikuti dengan turunnya para pemain dari pucuk tangga ke anak-anak tangga di bawahnya.

”Kami ingin menyampaikan soal ketakutan,” kata Yusril. Kecemasan yang benar-benar dirasakan dirinya yang tinggal di Padangpanjang antara Gunung Marapi dan Gunung Singgalang. Pada 2008, Marapi mengeluarkan asap panas dan menyulut gempa. Yusril selama dua pekan hidup di tenda dan harus awas melihat ke pucuk Marapi yang masih berasap. ”Kami harus waspada, hati-hati, hidup dalam kecemasan,” ujarnya. Serupa peribahasa di Minang, tak kayu jejang dikeping, artinya tak ada pilihan lain, Yusril melihat, meski diterpa bencana, kehidupan harus tetap optimistis. ”Sudahlah, tak ada pilihan lain (hidup di daerah bencana yang memunculkan kecemasan),” katanya.

Under the Volcano sendiri pernah dimainkan dua kali dalam Olimpiade Teater Keenam di Beijing pada 2014 dan TheatreWorks Singapura pada 2016. Pementasan di Borobudur Writers and Cultural Festival 2018 yang diproduksi oleh Bali Purnati pimpinan Restu Kusumaningrum ini adalah pementasan Under the Volcano pertama kalinya di negeri sendiri. Under the Volcano, menurut Yusril, merupakan pengembangan dari karyanya berjudul Tangga. Karya Tangga merefleksikan sistem kekuasaan di Minangkabau yang mengikuti prinsip berjenjang naik bertangga turun. ”Tangga kemudian menjadi cermin kecemasan dalam karya Under the Volcano,” ujarnya. Karya ini menggunakan narasi syair atau puisi, bukan dialog.

Pendiri Komunitas Teater Amarta Yogyakarta, Nunung Deni Puspitasari, yang menonton pertunjukan malam itu, mengagumi visual dan disiplin tubuh pemain yang terlihat sudah terlatih dan tampil apik. Yang membuatnya betah bertahan hingga akhir adalah warna, konfigurasi, dan gerak yang ada di atas panggung. ”Pengaturan warnanya terkesan simpel tapi sebenarnya rumit. Bercampur dengan multimedia dan panggung,” kata Nunung .Memang, menyaksikan muntahan lahar yang disajikan secara virtual dibarengi permainan tangga yang disajikan para aktor menimbulkan imajinasi dan asosiasi. Apalagi hal tersebut dilakukan di luar ruangan dan di belakangnya adalah bayang-bayang Candi Borobudur, yang beberapa ratus tahun lalu diperkirakan oleh para ahli pernah tertimbun tanah akibat letusan Gunung Merapi.

PITO AGUSTIN RUDIANA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus