Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah mengklaim keputusan ini berdasarkan pertimbangan ilmiah.
Kementerian LKH berjanji pengelolaan FABA tetap diatur dengan hati-hati.
Dorongan agar FABA keluar dari kategori limbah B3 datang dari pengusaha.
JAKARTA – Undang-Undang Cipta Kerja membuka celah bagi pemerintah untuk melonggarkan status fly ash dan bottom ash (FABA) sebagai bahan berbahaya dan beracun (B3). Kini limbah padat hasil pembakaran batu bara dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) itu bisa dikelola layaknya limbah non-B3.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Berbahaya dan Beracun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rosa Vivien Ratnawati, mengklaim keputusan ini disusun berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ilmiah. Salah satunya adalah pembakaran batu bara di PLTU yang menggunakan sistem pulverized coal atau chain grate stoker dilakukan pada temperatur tinggi. "Sehingga kandungan unburnt carbon dalam FABA menjadi minimum dan lebih stabil saat disimpan," ujarnya menjelang akhir pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebijakan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Aturan turunan UU Cipta Kerja yang diterbitkan pada 2 Februari 2021 menyatakan bahwa FABA dari pembakaran di PLTU tidak berbahaya dan beracun. Sedangkan FABA dari fasilitas stroker boiler atau tungku industri masih dinyatakan sebagai limbah B3.
Di tungku-tungku industri, pembakaran batu bara dilakukan pada suhu rendah sehingga kemungkinan unburnt carbon dalam FABA masih tinggi. Selain itu, limbahnya relatif tidak stabil saat disimpan.
Setelah tak lagi masuk kategori B3, Vivien berjanji pengelolaan FABA tetap diatur dengan hati-hati. Jika pengelolaan limbah B3 akan dilaksanakan berdasarkan persetujuan teknis dan dilengkapi dengan Surat Layak Operasional, persyaratan serta standar pengelolaan limbah non-B3 akan tercantum dalam persetujuan dokumen lingkungan.
Dirjen Pengelolaan Sampah dan Limbah Bahan Beracun dan berbahaya, Rosa Vivien Ratnawati di Jakarta, 2018. TEMPO/Imam Sukamto
KLHK akan menerbitkan ketentuan turunan dari peraturan pemerintah itu untuk merinci cara pengelolaannya, seperti cara penimbunan, syarat, dan standar pemanfaatan FABA untuk memastikan tak ada kerusakan lingkungan.
Deputi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Nani Hendiarti, menuturkan kebijakan ini akan mempermudah PLTU menyiapkan peta jalan pemanfaatan FABA. Sejak tahun lalu, kementerian yang dipimpin Luhut Binsar Pandjaitan ini aktif mendorong FABA dikeluarkan dari kategori limbah B3. Dalihnya adalah untuk mempermudah pemanfaatan limbah padat batu bara sebagai bahan pendukung infrastruktur, seperti bahan pembuatan batako dan semen.
Salah satu caranya dengan mendorong revisi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 10 Tahun 2020 tentang Uji Karakteristik Limbah B3. "Ini sebenarnya sudah dibahas secara detail dan sudah diakomodasi upaya pengecualian FABA sebagai B3 serta dapat memanfaatkan FABA sambil menunggu hasil uji karakteristik toksikologi sub-kronis yang memerlukan waktu cukup lama,” tutur Nani, seperti dilansir dari keterangan tertulis pada 3 Maret 2021.
Penasihat Khusus Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Yohanes Surya, mengatakan status FABA sebagai limbah B3 membuatnya sulit dimanfaatkan. Pemilik PLTU harus merogoh biaya besar untuk mengelola limbah jenis ini. “Sekarang dana untuk pengelolaan limbah itu bisa menurunkan biaya produksi listrik, bahkan mendapat keuntungan dari pemanfaatannya," kata dia.
Executive Vice President Corporate Communication & CSR PT PLN (Persero), Agung Murdifi, membenarkan kabar bahwa FABA masuk dalam komponen penentu harga listrik. Namun dia tak menjawab berapa porsi limbah padat ini pada komponen tersebut serta seberapa besar potensi penurunan harga listrik usai FABA tak lagi harus diolah sebagai limbah B3.
"PLN memastikan tidak akan membuang limbah tersebut, tapi akan lebih mengoptimalkan pemanfaatannya," ucap Agung. Perusahaan telah melakukan uji coba pemanfaatan FABA sebagai bahan penunjang infrastruktur, seperti jalan, conblock, semen, dan pupuk. Ke depannya, perusahaan juga akan menggandeng pihak ketiga untuk memanfaatkan limbah tersebut.
Bongkar muat batu bara di Marunda, Jakarta, 2019. Tempo/Tony Hartawan
Berdasarkan data Sustainability Report PLN pada 2019, perusahaan tercatat menghasilkan 2,9 juta ton FABA, tapi hanya memanfaatkan 6.344 ton FABA. Adapun jumlah FABA yang diolah pihak ketiga sebanyak 1,8 juta ton. Pihak ketiga ini, antara lain, pabrik semen yang menjadikan FABA sebagai bahan baku serta substitusi semen dan perusahaan tambang batu bara yang menjadikan FABA sebagai penetral air asam tambang.
Dorongan untuk mengeluarkan FABA dari kategori limbah B3 juga datang dari kalangan pengusaha. Sejak pertengahan tahun lalu, 16 asosiasi yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mendorong FABA dari kegiatan industri dikecualikan dari daftar limbah berbahaya dan beracun. Mereka menggelar kajian yang menunjukkan baku mutu FABA masuk kategori limbah non-B3.
Ketua Umum Apindo, Hariyadi Sukamdani, mengatakan industri menghasilkan 10-15 juta ton FABA per tahun. Namun pemanfaatannya masih di bawah 1 persen untuk fly ash dan di bawah 2 persen untuk bottom ash. Dengan pengelolaan FABA sebagai limbah non-B3, nilai ekonomisnya akan lebih besar. "Ketimbang ditumpuk menjadi hamparan yang akan mencemari tanah dan timbul masalah baru," katanya.
VINDRY FLORENTIN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo