Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, TOKYO - Bank Indonesia atau BI menyatakan upaya penguatan nilai tukar rupiah juga merupakan tanggung jawab dari sektor riil. Sektor riil yang diharapkan bisa jadi tulang punggung penguatan neraca pembayaran adalah industri pengolahan dan industri pariwisata.
BACA: Hari Ini Kurs Rupiah Jisdor Menguat ke 14.072 per Dolar AS
Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara menyebutkan, belakangan ini memang kecenderungannya nilai tukar rupiah menguat karena pasar yakin Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) tidak akan menaikkan suku bunganya secara agresif. "Tapi kita tidak bisa hanya bergantung pada Fed Fund Rate. Indonesia harus melakukan reformasi memperbaiki struktur neraca pembayaran," katanya usai bertemu dengan para investor Jepang, Kamis malam, 31 Januari 2019.
Dengan begitu, menurut Mirza, defisit transaksi berjalan (CAD) bisa ditekan dari angka US$ 22,4 miliar per September 2018, "Caranya bisa dengan menggenjot ekspor dan pariwisata. Pemerintah juga sudah siap memberi insentif perpajakan ataupun kemudahan berinvestasi di sektor pariwisata," ucapnya.
Nilai tukar rupiah ditutup menguat di level Rp 13.973 per dolar AS pada penutupan perdagangan sebelumnya. Mirza menyebutkan penguatan rupiah tersebut karena adanya capital inflow yang nilainya cukup besar. Sayangnya ia tak menjawab berapa nilai investasi yang masuk di pasar tersebut.
Mirza menjelaskan, pergerakan FFR selama ini memegang peranan penting terhadap fluktuasi rupiah. Di tahun 2007 misalnya FFR yang diturunkan hingga 0 persen lalu bergerak naik menjadi 0,25 persen hingga akhirnya 2,5 persen telah membuat nilai mata uang di negara emerging market berfluktuasi sangat kencang.
Namun dengan keyakinan pemerintah AS mematok target inflasi 2 persen, maka secara teoritis FFR diperkirakan kalaupun naik hanya menjadi 3-3,5 persen. Dan dengan di level sekarang 0,25 persen, BI yakin volatilitas rupiah bisa ditekan.
Lebih jauh Mirza menyebutkan bentuk pengembangan industri pariwisata yang bisa dicontoh Indonesia adalah Thailand. "Thailand terbukti surplus neracanya karena terbantu industri pariwisata. Indonesia juga bisa begitu," katanya.
Yang agak menantang, menurut Mirza, adalah upaya menggenjot ekspor produk manufaktur. "Tapi setelah pemilu, pemerintah pasti akan langsung bergerak mendorong ekspor dan menciptakan iklim investasi yang lebih kompetitif."
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara menambahkan, potensi pariwisata Indonesia jauh lebih besar ketimbang Thailand. Terlebih luas laut dan daratan sangat besar dan potensi alam yang tak tak kalah menarik.
Di sisi industri manufaktur, kata Suahasil, pemerintah juga turut mendukung dengan mengalokasikan anggaran yang cukup besar untuk pengembangan sumber daya manusia (SDM) lewat pendidikan vokasional. "Sekitar 20 persen anggaran belanja dialokasikan untuk pendidikan," ucapnya.
Dengan begitu, menurut Suahasil, diharapkan industri manufaktur pengolah bahan mentah bisa berkembang karena telah memiliki SDM yang kuat. "Struktur industri pun bisa berubah dari low cost labor menjadi industri yang mampu meningkatkan nilai tambah lebih dibanding sebelumnya," tuturnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita lainnya tentang rupiah di Tempo.co.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini