Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sinyal Pasar

Kenaikan PPN Menjadi 12 Persen: Kebijakan Ekonomi Kontradiktif ala Prabowo

Kenaikan PPN 12 persen bisa menghambat pertumbuhan ekonomi. Contoh kebijakan ekonomi Prabowo Subianto yang kontradiktif.

8 Desember 2024 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Alvin Siregar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Prabowo Subianto akan menaikkan PPN hingga 12 persen atau naik 1 persen pada 1 Januari 2025.

  • Kenaikan upah minimum provinsi akan melemahkan industri manufaktur.

  • Kebijakan kontradiktif bisa membuat jumlah investasi asing lari ke negara lain.

PEMERINTAHAN Prabowo Subianto sudah berjalan hampir dua bulan. Namun sejauh ini belum terlihat ada kebijakan penggerak pertumbuhan ekonomi, yang melemah selama kuartal III 2024. Yang terbit justru kebijakan yang berisiko melemahkan ekonomi Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN), misalnya. Akhir November 2024, muncul kabar baik dari Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Pandjaitan. Pemerintah akan menunda kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen yang sedianya mulai berlaku pada Januari 2025. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kenaikan tarif PPN adalah amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat pada 2021. Namun jika pemerintah benar-benar menunda kenaikan PPN sebagaimana pernyataan Luhut, baik konsumen maupun korporasi tentu akan meresponsnya dengan sangat positif. Kenaikan tarif PPN berisiko menurunkan daya beli konsumen dan ujungnya membuat ekonomi lesu. 

Patut diingat, porsi konsumsi masyarakat pada produk domestik bruto (PDB) Indonesia masih dominan, yaitu 53,08 persen. Jika tingkat konsumsi menurun, dampak negatifnya pada pertumbuhan ekonomi akan cukup signifikan, sesuai dengan proporsinya terhadap PDB. Karena itu, kenaikan tarif PPN terasa sangat kontradiktif dengan target Prabowo. Bagaimana cara dia bisa mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen jika kebijakan yang terbit justru membuat pertumbuhan ekonomi melambat?

Ternyata itulah yang benar-benar terjadi. Akhir pekan lalu, tersiar kabar bahwa Prabowo tetap akan  mengambil kebijakan yang kontradiktif dengan targetnya sendiri. Tarif PPN akan naik pada Januari 2025 sesuai dengan rencana semula.

Ada kebijakan lain yang kontradiktif dengan target pertumbuhan ekonomi: kenaikan upah minimum provinsi 2025 hingga 6,5 persen. Menurut hitungan pengusaha, kenaikan upah idealnya tak lebih dari 3 persen. Jika menimbang tingkat inflasi 2024, yang secara tahunan 1,55 persen per November 2024, usulan pengusaha cukup masuk akal. Namun Prabowo mengabaikan hitungan itu dan secara royal memutuskan kenaikan upah empat kali lipat tingkat inflasi. 

Ini memang kebijakan populis yang menyenangkan pekerja. Popularitas Prabowo sebagai presiden yang pro-pekerja jelas meningkat. Namun yang menjadi korban adalah sektor manufaktur Indonesia, terutama yang padat karya. Daya saing pabrik-pabrik lokal akan makin merosot. Ketika daya beli konsumen menurun, ongkos produksi justru meningkat dan tarif pajak kian mencekik.

Tanpa kenaikan upah yang begitu tinggi pun industri manufaktur Indonesia sebetulnya sudah lama terjepit berbagai kesulitan. Itu tampak pada jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terus meningkat. Selama Januari-Oktober 2024, jumlah PHK melonjak hingga 64 persen ketimbang pada periode yang sama 2023. Situasi ini seharusnya menjadi alarm pengingat agar pemerintah tak sekadar memilih kebijakan populis dalam penetapan upah minimum 2025. Sayangnya, Presiden lebih mengutamakan pertimbangan politis ketimbang mengurangi beban sektor manufaktur.  

Kebijakan ekonomi pemerintah juga seolah-olah mengabaikan risiko memburuknya perekonomian global tahun depan. Perang dagang yang akan meletus begitu Donald Trump dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat bisa membuat Indonesia kebanjiran berbagai produk dari Cina. Cina akan mencari pasar baru setelah produknya terblokir tingginya tarif bea masuk yang bakal dinaikkan Trump. Dampaknya, industri lokal akan makin sulit bersaing dan bertahan hidup.

Sebetulnya bukan hanya sektor riil Indonesia yang terancam oleh memburuknya situasi perekonomian global ataupun perang dagang. Risiko besar juga bisa merambat masuk dari sisi moneter: kurs rupiah yang terus tertekan karena banyak dana investasi portofolio asing yang kabur keluar.

Pelarian modal itu bakal makin deras jika pemerintah mengambil kebijakan fiskal ataupun kebijakan sektor riil yang justru menurunkan daya tarik Indonesia di mata investor. Jika arah kebijakan ekonomi Prabowo hingga lima tahun mendatang tidak berubah, pasar finansial Indonesia akan memasuki periode yang penuh gejolak.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Yopie Hidayat

Yopie Hidayat

Kontributor Tempo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus