Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA kabar dari Senayan, khusus tentang bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Disebutkan bahwa DPR menyetujui beberapa langkah pemerintah dan Bank Indonesia (BI) untuk segera menyelesaikan kasus BLBI, di antaranya pembentukan sebuah tim yang akan mencari jalan keluar bagi masalah penyaluran BLBI senilai Rp 144 triliun. Tim yang beranggotakan Departemen Keuangan, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), dan BI ini harus sudah menyelesaikan pekerjaannya 9 November mendatang.
Timbul pertanyaan, mengapa waktunya begitu singkat. Apakah akan ada hasilnya? Soalnya, dalam berbagai rapat tim penyelesaian BLBI terungkap bahwa pemerintah terlalu banyak mengalah dan sebaliknya BI begitu dominanmisalnya menyangkut seberapa besar beban yang harus ditanggung BI, BPPN, dan pemerintah.
Sumber TEMPO yang ikut dalam rapat tim tersebut Jumat pekan lalu mengungkapkan, BI mengusulkan agar bank sentral itu hanya menanggung 15 persen (Rp 26 triliun) dari total BLBI sebesar Rp 173 triliunRp 29 triliun di antaranya belum ditukarkan ke pemerintah dengan obligasi. "Alasannya, jika lebih dari 15 persen, BI harus direkap karena saldo BI akan langsung negatif," katanya. Ada gelagat, pemerintah akan menerima usul tersebut. Sebab, dalam kesepakatan yang dibuat dua pekan silam, disebutkan bahwa BI memang tidak akan direkap.
"Pagi-pagi kok sudah bicara BI tidak direkap, wong hitung-hitungannya saja belum selesai," kata Rizal Djalil, anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Reformasi. Dia juga mempertanyakan sikap pemerintah, yang tampaknya bersedia menanggung BLBI padahal kesalahan terletak pada BI.
Audit BLBI yang dilakukan BPK memang menunjukkan sejumlah kesalahan BI dalam mengawasi bisnis perbankan, termasuk kasus saldo debet atau fasilitas peminjaman oleh BI kepada bank. Dalam laporan BPK, terungkap banyak bank yang masih mendapatkan kucuran BLBI, meskipun punya saldo debet selama lebih dari 120 hari. Padahal BI sendiri menetapkan, jika saldo debet bertahan dalam kurun 120 hari saja, bank tersebut harus ditutup.
Tidak mengherankan jika banyak BLBI yang diselewengkan. Dalam catatan BPK, Rp 84,5 triliun dari BLBI senilai Rp 144,5 triliun dianggap tak layak disalurkan. Dan parahnya, BLBI itu tidak dijamin dengan aset yang cukup. Audit BPK menemukan fakta bahwa nilai jaminan yang diserahkan bank penerima hanya Rp 24 triliun, bukan Rp 91,5 triliun seperti disebutkan BI.
Namun, BI masih bisa memperoleh keuntungan material. Seperti diketahui, dari BLBI senilai Rp 144,5 triliun, Rp 34 triliun di antaranya adalah bunga dan denda berbagai fasilitas BLBI tersebut. Setelah BLBI diganti dengan obligasi pemerintah, negaralah yang harus membayar bunganya kepada BI. Ini berarti BI yang salah mengawasi bank, tapi rakyatlah yang membayar bunga obligasi kepada BI melalui APBN.
Entah mengapa, pemerintah tampak tak serius menangani kasus ini. Lihat saja pernyataan Presiden Abdurrahman Wahid, yang menunda penuntutan atas Sjamsul Nursalim. Padahal, sebagai pemilik BDNI, Sjamsul terkait dengan penyaluran BLBI ini. Audit BPK menunjukkan bahwa BDNI tidak layak menerima BLBI senilai Rp 24,4 triliun.
Karena itu, DPR tak boleh lengah dalam menguji hasil keputusan tim penyelesaian BLBI ini. Sebab, DPR-lah yang berada dalam posisi menentukan apakah kasus penyelewengan BLBI akan diselesaikan seadil-adilnya atau tidak. Gus Dur sudah berani memberi konsesi, BI tampaknya akan cuci tangan. Kalau sudah begitu, apakah DPR juga akan membiarkan?
M. Taufiqurohman, Leanika T, Wenseslaus. M
Daftar Penyimpangan BLBI (Rp juta)
Jenis Penyimpangan | Jumlah | Bank BLBI Pelanggar | Nilai | Digunakan untuk membayar/melunasi modal pinjaman/pinjaman subordinasi | 46.088 | Bank Utama Bank BNN Bank Uppindo Bank Ficorinfest | 25 7 7 6 | Dipakai untuk membayar/melunasi kewajiban pembayaran bank umum yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya | 113.812 | Bank Hokindo Bank Dwipa S Bank Surya Bank Subentra | 40 20 20 18 | Digunakan untuk membayar kewajiban kepada pihak terkait | 20.367.458 | Bank BCA Bank BIRA Bank Utama Bank Umum Majapahit Jaya | 10.513 3.098 1.589 891 | Dipakai untuk transaksi surat berharga | 136.902 | Bank Danamon Bank BNN Bank Uppindo Bank Intan | 118 16 2 | Digunakan untuk membayar dana pihak ketiga yang melanggar ketentuan | 4.472.831 | Bank PSP Bank BNN Bank ASPAC Bank Uppindo | 1.662 907 603 412 | Digunakan untuk membiayai kontrak derivatif baru atau kontrak derivatif lama yang jatuh tempo/cut loss | 22.463.004 | Bank Danamon Bank BDNI Bank BCA Bank PDFCI | 9.364 9.240 1.596 869 | Dipakai untuk membiayai penempatan baru di pasar uang antarbank | 9.822.383 | Bank BDNI Bank Danamon Bank BUN Bank Tiara Asia | 4.485 1.477 1.399 1.147 | Digunakan untuk membiayai ekspansi kredit atau merealisasikan kelonggaran tarik dari komitmen yang sudah ada | 16.814.646 | Bank BDNI Bank BCA Bank Pascific Bank Danamon | 8.584 2.580 2.115 1.867 | Dipakai membiayai investasi dalam aktiva tetap, pembukaan cabang baru, rekrutmen baru, peluncuran produk baru, dan pergantian sistem baru | 456.357 | Bank Danamon Bank Centris Bank BUN Bank BDNI | 381 30 24 3 | Digunakan untuk biaya kantor bank umum | 87.144 | Bank PDFCI Bank Intan Bank Uppindo Bank Subentra | 31 16 6 4 | Dipakai untuk membiayai lain-lain di luar 10 butir di atas | 10.061.537 | Bank BUN Bank BDNI Bank Central Dagang Bank Danamon | 3.152 1.909 1.204 593 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo