Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Persaingan Jalan Tol di Dunia Maya

Layanan kanal lebar internet marak di Indonesia. Bagaimana prospek bisnis yang investasinya menelan jutaan dolar itu?

22 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKARANG ini para pengguna internet di Indonesia sedang dimanjakan. Penyelenggara jasa internet atau ISP (Internet service provider) di Indonesia berlomba-lomba menyediakan kanal lebar alias broadband untuk meluncur di dunia maya. Mereka membenamkan investasi jutaan dolar demi memanjakan pengguna internet yang ingin memperoleh akses lebih cepat.

Hingga kini catatan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan lebih dari selosin perusahaan menawarkan akses yang ibaratnya selebar jalan tol di dunia maya. Daftar ini bertambah panjang dengan hadirnya Rainbow, anak perusahaan Pan AsiaSat Media dari Hong Kong, yang beroperasi di Jakarta sejak awal pekan lalu.

Jalan tol di dunia maya ini benar-benar memanjakan pengguna internet. Sementara melalui saluran telepon biasa paling banter kecepatan aksesnya sekitar 19.200 byte per detik, dengan fasilitas Rainbow pelanggan bisa tancap gas hingga 384 kilobyte per detik untuk pengiriman data (uplink) dan 6 megabyte per detik jika sekadar menerima data (downlink).

Pendek kata, konsumen dapat menonton film, siaran Web TV (saluran TV internet), cuplikan klip video, mendengarkan lagu-lagu pilihan di dunia maya sembari mengecek e-mail tanpa menemui hambatan di komputernya. Menilik sejumlah iming-iming ini, tak aneh bila Presiden Direktur Pan AsiaSat Media, Rudolf Lumentet, optimistis proyek jalan tolnya bakal menarik banyak pelanggan.

Segala iming-iming itu tentu tak bisa diberikan tanpa pengucuran modal. Pan AsiaSat Media, misalnya, harus merogoh US$ 50 juta koceknya. Investasi ini antara lain untuk membayar sewa transponder Satelit Telkom-1, yang menelan biaya sekitar US$ 1.250.000 (Rp 10 miliar dengan kurs sekitar Rp 8.000 per dolar) per tahunnya.

Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana prospek bisnis penyedia jasa tol ini kelak. Dari sisi hitung-hitungan bisnis, Lumentet menaksir idealnya Rainbow harus merengkuh satu juta pelanggan jika ingin segera balik modal.

Target itu masih jauh panggang dari api. Maklum, tingkat pertumbuhan pengguna internet di Indonesia masih rendah. Hingga tahun 2004, jumlahnya diperkirakan baru mencapai 2,4 juta orang. Sialnya, kue yang kecil itu masih harus diperebutkan Rainbow dengan 40-an ISP yang telah beroperasi di Tanah Air.

Toh, Lumentet tidak kehilangan akal. Sejak awal, Rainbow lebih mengincar konsumen kelas perusahaan (corporate) ketimbang individu. Tapi, kiat ini pun bukan ekslusif milik Rainbow. Di pasar yang sama telah beroperasi PT Broadband Multimedia Terbuka milik Grup Lippo, yang sejak awal tahun ini sibuk menjajakan layanan jalan tol virtual melalui jaringan cable television-nya.

Daftar antrean calon ISP berkanal lebar juga semakin panjang. Awal tahun depan, misalnya, Pasifik Satelit Nusantara (PSN) siap mengucurkan duit hingga US$ 150 ribu untuk membangun jalan tol ke dunia maya. PSN bisa lebih menghemat ongkos karena transpondernya nebeng ke Satelit Garuda 1, yang notabene masih satu grup usaha. Begitu pula dengan portal Webs88.com, yang meminjam transponder Indovision. Sementara itu, pemain lama seperti Cyberindo Aditama (CBN) juga tak mau ketinggalan. Dengan menggandeng Telkom, ISP yang memiliki 35 ribu pelanggan ini bertekad membangun fasilitas broadband.

Menilik agresivitas barisan pemilik ISP tersebut, ranah internet dalam waktu dekat bisa sesak dengan berbagai jalan tol. Padahal peminat jalur bebas hambatan ini di Tanah Air dalam estimasi pengamat bisnis multimedia, Roy Suryo, masih terbatas. Kanal lebar hanya cocok untuk pengguna internet kelas berat, "yang berselancar di dunia maya dari empat hingga lima jam sehari."

Peringatan Roy paralel dengan hasil riset Broadband Intelligence. Akhir Juni lalu, lembaga penelitian ini menemukan sejumlah pelanggan yang enggan menyewa kanal lebar. Bukan karena mereka tidak memiliki uang, tapi karena ogah repot-repot menata ulang komputernya.

Widjajanto, Rommy Fibri, Gita W. Laksmini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Ā© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus