Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sinyal Pasar

Tertatih-tatih Menahan Tekanan pada Rupiah

Nilai rupiah makin terpuruk akibat sentimen negatif dari dalam dan luar negeri. Intervensi Bank Indonesia akan kian terbatas.

12 Januari 2025 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Alvin Siregar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Nilai tukar dolar Amerika Serikat makin menguat dan menekan mata uang negara berkembang.

  • Banyak sentimen negatif di dalam negeri yang bisa makin menekan nilai rupiah.

  • Kemampuan Bank Indonesia menjaga nilai rupiah akan makin tergerus.

PELANTIKAN Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat ke-47 tinggal hitungan hari. Makin dekat momen itu, investor pasar keuangan makin risau. Kembalinya Trump akan mendorong inflasi di Amerika yang bisa memicu kenaikan bunga acuan The Federal Reserve. Kalkulasi ini membuat pasar finansial global bergejolak. Kurs dolar Amerika terhadap berbagai mata uang, termasuk rupiah, terus menanjak naik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tengok saja pergerakan Indeks Dolar (DXY), yang mencerminkan nilai dolar Amerika Serikat terhadap enam mata uang negara-negara maju. Akhir pekan lalu, DXY mencapai 109,29, naik 5,84 persen dalam tiga bulan terakhir. Terhadap rupiah, nilai dolar juga naik tajam. Kini kurs rupiah berkisar 16.200 per dolar, melampaui 16 ribu yang secara psikologis dianggap sebagai ambang aman. Tekanan pasar global itu sepertinya tak akan tertahan. Nilai rupiah bakal terus melorot selama pasar tetap memperhitungkan bunga The Fed tidak akan turun lagi. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Beban bagi rupiah makin berat lantaran di dalam negeri banyak sentimen negatif yang muncul. Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang belum berusia 100 hari tampak maju-mundur mengambil keputusan penting. Ini berdampak serius pada penerimaan pemerintah dan kegiatan ekonomi masyarakat. Batalnya kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen merupakan contoh mutakhir kesemrawutan itu.

Selain berakibat hilangnya potensi penerimaan pemerintah sekitar Rp 71 triliun, pembatalan kenaikan PPN pada jam-jam terakhir menjelang berlaku menimbulkan kebingungan yang sangat luas. Pemerintah menerapkan rumus baru untuk menghitung PPN yang terkesan mengada-ada. Baik perusahaan besar maupun bisnis kelas rumahan pun kelabakan melakukan penyesuaian.

Belum lagi banyaknya protes konsumen yang tak paham akan formula baru yang memang sangat memusingkan itu. Sedikit-banyak kebingungan ini tentu berpengaruh negatif terhadap konsumsi masyarakat dan pada akhirnya berisiko mengerem pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, belum jelas cara pemerintah akan menambal kehilangan potensi pendapatan karena batalnya kenaikan PPN. Pasar pun menilai pada 2025 beban fiskal pemerintah akan makin berat, defisit membesar, dan tentu saja utang pemerintah bertambah.

Yang menjadi kekhawatiran pasar adalah pemerintah tampak ingin menempuh jalan gampang untuk mengatasi defisit anggaran yang membengkak itu: meminta Bank Indonesia membiayainya. Akhir tahun lalu, ada kesepakatan antara BI dan pemerintah: BI akan membeli obligasi pemerintah senilai Rp 150 triliun yang jatuh tempo tahun ini di pasar sekunder. Sebagai penukar, BI akan mendapatkan obligasi pemerintah dengan jangka waktu panjang.

Meskipun tidak secara langsung, skema pertukaran utang itu pada dasarnya tak banyak berbeda dengan BI membeli obligasi langsung dari pemerintah di pasar perdana. Dalam bahasa sederhana, BI membiayai utang pemerintah dengan mencetak uang alias memonetisasi utang. Ini berisiko menurunkan kredibilitas bank sentral dan kepercayaan pasar terhadap tata kelola ekonomi makro Indonesia.

Persoalan ini menjadi makin serius jika kita melihat betapa besar nilai obligasi pemerintah yang sudah dimiliki BI, yakni Rp 1.525 triliun per 7 Januari 2025 atau lebih dari 25 persen dari total nilai obligasi pemerintah yang beredar di pasar. Menggelembungnya nilai obligasi pemerintah yang dimiliki BI itu sangat mencolok setahun terakhir.

Pada awal 2024, obligasi pemerintah yang berada di brankas BI masih senilai Rp 1.068 triliun, cuma 18,7 persen dari total. Tambahan yang begitu besar itu merupakan konsekuensi intervensi pasar. Sepanjang tahun lalu, BI memborong obligasi pemerintah agar harganya tidak rontok. BI melakukan operasi pasar itu juga untuk menjaga nilai rupiah.

Ironisnya, meski BI sudah begitu agresif menggelar operasi pasar, nyatanya kurs rupiah tetap melorot. Batas psikologis yang hendak dijaga sekuat tenaga tetap terlampaui. Sementara itu, di bulan-bulan mendatang, gonjang-ganjing di pasar global karena kembalinya Donald Trump masih akan terus menekan rupiah. Pertanyaan penting pun kini muncul: sampai kapan BI mampu melakukan intervensi untuk menahan rupiah? Lalu apakah itu tidak akan sia-sia belaka?

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Yopie Hidayat

Yopie Hidayat

Kontributor Tempo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus