Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IRONIS. Hanya kata itu yang bisa menggambarkan bagaimana ketimpangan pasokan listrik antara Jawa-Bali dan luar Jawa-Bali. Ketika suplai listrik dalam sistem interkoneksi Jawa-Bali sangat berlimpah, pasokan listrik di luar Jawa-Bali malah terbatas. Beberapa daerah bahkan harus mengalami giliran pemadaman akibat kebutuhan listriknya jauh di atas kapasitas pembangkit yang ada di sana.
Direktur Utama PLN Kuntoro Mangkusubroto mengungkapkan, ada 23 daerah yang mengalami krisis listrik sejak tahun lalu. Sebaliknya, hanya tiga wilayah yang aman, yakni Sumatra Utara, Sumatra Barat-Riau, dan Ujungpandang. Itu pun hanya sampai tahun 2003. Setelah itu, tiga wilayah tadi juga akan mengalami krisis. "Salah satu yang mengalami giliran pemadaman adalah Sumbagsel (Sumatra Bagian Selatan)," kata Kuntoro, Rabu dua pekan silam.
Menurut Kuntoro, hal itu terjadi karena PLN tidak mampu lagi membangun pembangkit baru, gardu induk, dan transmisi. Maklumlah, keuangan PLN amburadul. Jika saja PLN milik swasta, auditor tidak akan segan-segan mencoret dan menyarankan PLN dilikuidasi. Bayangkan, sejak 1997, PLN terus merugi. Tahun lalu, PLN merugi Rp 11,4 triliun. Dan sampai pertengahan tahun ini, pabrik setrum milik negara itu sudah rugi hampir Rp 12 triliun.
Bagaimana mungkin dengan kondisi keuangan yang compang-camping PLN bisa menambah kapasitas listrik yang ada? Runyamnya, PLN kini juga masuk kategori perusahaan yang tak layak diberi utang. Lembaga keuangan internasional seperti Bank Pembangunan Asia (ADB) atau JBIC, Jepang, sudah lama menghentikan pinjamannya. Tentu itu bukan keputusan yang keliru. Sebab, utang PLN memang sudah sangat besar, yakni Rp 57,5 triliun. Dengan kondisi keuangan separah itu, PLN tidak bisa berbuat banyak ketika menghadapi kekurangan pasokan listrik yang kronis di luar Jawa.
Padahal, kebutuhan listrik ternyata naik lebih cepat dibandingkan dengan proyeksi yang dibuat PLN sendiri. Menurut Kuntoro, sampai pertengahan tahun ini, tingkat permintaan listrik naik 12,5 persen, sementara PLN memperkirakan 11 persen. Bisa diduga, PLN akan semakin kewalahan memenuhi kebutuhan listrik. Menurut hitungan PLN, untuk menambah pembangkit dengan kapasitas 1.000 MW per tahun dibutuhkan dana US$ 1,2 miliar, sedangkan untuk membangun jaringan transmisi dan distribusi diperlukan sekitar US$ 1 miliar.
Apakah PLN tidak punya perencana yang andal sehingga terjadi ketimpangan yang luar biasa antara Jawa-Bali dan luar Jawa-Bali? Bahkan, tak salah bila disebutkan bahwa luar Jawa-Bali telah dianaktirikan. Tudingan ini ditolak mantan Direktur Utama PLN Djiteng Marsudi. Katanya, krisis ekonomilah yang menyebabkan banyak rencana PLN tak terealisasi, termasuk tujuh proyek pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) yang didanai oleh lembaga keuangan Jerman yang seharusnya selesai tahun 1997ternyata baru selesai tahun ini.
Selain itu, kata Djiteng, perencanaan kelistrikan di luar Jawa-Bali memang tidak gampang, Faktor geografis menjadi kendala. Misalnya, pasokan listrik dalam sistem interkoneksi Sumatra Barat-Riau sangat mencukupi dengan kapasitas 660 MW, sementara kebutuhan listriknya hanya 350 MW, tapi di wilayah itu ada dua daerah yang terisolasi, yakni Tanjungpinang dan Tanjungbalai Karimun.
Kendati demikian, tak bisa dimungkiri bahwa PLN telah banyak melakukan kekeliruan dalam perencanaan listrik nasional. Soal listrik swasta, misalnya. Investasi swasta bertumpuk di Jawa-Bali. Dari 27 proyek listrik swasta, hanya delapan yang berada di luar Jawa. Itu pun total kapasitas delapan pembangkit tersebut tidak lebih besar dari kapasitas PLTU Paiton I saja. Celakanya, pembangunan sebagian dari pembangkit itu, seperti Sengkang, Pare-pare, dan Sibolga, malah macet.
Karena itu, wajar mempersoalkan perencanaan PLN. Namun, kata seorang pejabat PLN, BUMN ini memang tak bisa mengatasi masalah pendanaan. "Sejak lima tahun lalu, PLN belum membangun pembangkit baru," katanya. Tak ada pilihan selain meminta pemerintah serius menangani PLN.
Pengamat kelistrikan Rinaldy Dalimi mengatakan bahwa pemerintah, mau tidak mau, harus mencampuri urusan PLN. BUMN ini tak mungkin keluar dari kesulitan tanpa bantuan pemerintah, baik berupa pengambilalihan utang maupun penentuan tarif yang lebih fair. Tapi, kalau PLN tetap tidak efisien, perlakuan khusus pemerintah samalah dengan menunda kekalahan.
M. Taufiqurohman, Dewi Rina Cahyani, Dwi Wiyana
Kelistrikan Luar Jawa-Bali (Tahun 2000)
Lokasi | Beban Puncak (MW) | Kapasitas Efektif (MW) | Surplus/Defisit (MW) | Wilayah I & II (Sumatra Utara-Aceh) | 895 | 935 | 40 | Wilayah III (Sumatra Barat-Riau) | 401,5 | 676,5 | 275 | Wilayah IV (Sumatra Selatan) | 674,9 | 658,9 | -16 | Wilayah V (Pontianak) | 93 | 69 | -24 | Wilayah VI (Samarinda-Balikpapan-Barito) | 317,1 | 298 | -19,1 | Wilayah VII (Minahasa) | 83 | 112 | 29 | Wilayah VIII (Ujungpandang) | 304 | 457 | 153 | Wilayah IX (Ambon dan Ternate) | 41 | 40,3 | -0,7 | Wilayah X (Jayapura dan Sorong) | 33,5 | 30,6 | -2,9 | Wilayah XI (Lombok-Sumbawa-Kupang) | 88 | 95,1 | 7,1 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo