Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SARAPAN ketan dan kopi pahit sudah menjadi menu tetap bagi Ade. Jika hari itu banyak sol sepatu dan tas yang harus direparasi, nasi dan telur separuh bisa mengisi piring makannya untuk lauk siang dan malam. Namun, jika sedang sepi, penjahit sol sepatu yang mangkal di terminal bus Tanjungpriok, Jakarta Utara, itu terpaksa mengganjal perut dengan pisang atau singkong goreng plus air tawar.
Penghasilannya yang rata-rata sepuluh ribu rupiah sehari membuat Ade tak sanggup membiayai hidup istri dan dua anaknya. "Anak dan istri saya titipkan ke mertua," kata pria berusia 43 tahun ini. Dalam penilaian Bank Dunia, Ade termasuk golongan orang miskin. Jumat dua pekan lalu, dalam laporan Bank Dunia berjudul Poverty Reduction in Indonesia: Constructing a New Strategy, orang Indonesia disebut miskin jika konsumsinya per hari di bawah US$ 1,5 atau sekitar Rp 13.500 (kurs Rp 9.000).
Menurut perhitungan lembaga keuangan dunia ini, ada 15 persen orang Indonesia yang setiap hari menghabiskan satu dolar. Sementara yang membelanjakan dua dolar per hari mencapai 60 persen dari total penduduk. "Anda tahu, separuh dari jumlah penduduk Anda terancam menjadi miskin," kata Jacqueline L. Pomeroy, ekonom senior Bank Dunia di Indonesia kepada TEMPO. Itu berarti yang rentan masuk ke kategori miskin mencapai 100 juta jiwa.
Bagi Bank Dunia, patokan dolar dipakai untuk memudahkan perbandingan dengan negara lain. Dengan patokan yang seragam, lembaga itu gampang mengalokasikan pembangunan secara global. Menurut Jacqueline, cara ini lebih tepat untuk memastikan orang yang masuk kategori miskin dan bukan miskin. "Patokan baru ini sangat membantu untuk mengalokasikan dana bagi penduduk yang terancam menjadi miskin," ujarnya.
Meski Bank Dunia menghasilkan deretan panjang orang miskin, mereka tak lagi banyak terlibat dalam jaring pengaman sosial (JPS). "JPS bukan program pengurangan kemiskinan, melainkan program mengurangi dampak krisis ekonomi," kata Jacqueline. Kini Indonesia tak akan menerima duit untuk proyek JPS sebesar Rp 2,8 triliun seperti tahun lalu. Bank Dunia memastikan hanya akan menyalurkan JPS untuk program beasiswa pendidikan. Sementara itu, Bank Pembangunan Asia (ADB) hanya terlibat untuk JPS kesehatan.
Cara Bank Dunia memberi batas kemiskinan memang baru saja berubah. Sebelumnya, dalam laporan kemiskinan yang mereka buat awal tahun ini, masih dipakai patokan konsumsi 2.100 kalori per hari tiap kepala. Dengan batasan itu, tercatat jumlah orang miskin negeri ini sebanyak 20,74 persen saja dari total penduduk.
Tapi patokan kalori itu sekarang hanya dipakai Badan Pusat Statistik (BPS). Garis batas kemiskinan ini dihitung berdasarkan konsumsi hidup minimum, seperti makanan pokok yang dikonsumsi dan kebutuhan dasar lain. Lalu, kebutuhan tersebut dikalikan dengan harga yang berlaku saat itu. Dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan BPS Agustus tahun lalu, di wilayah perkotaan orang disebut miskin jika pengeluarannya di bawah Rp 89.845 per bulan, sementara di pedesaan Rp 69.420.
Jika ukuran ini yang dipakai, memang orang macam Ade, yang penghasilannya Rp 300 ribu per bulan, belum dianggap miskin. Sebab, total pengeluarannya plus dua anak dan istrinya yang tinggal di desa yang sebagian masih ditanggung mertua hanya sekitar Rp 200 ribu per bulan.
Berdasarkan data BPS, jumlah orang miskin pra-masa krisis sekitar empat tahun lalu hanya sebesar 17,65 persen. Jumlah itu naik menjadi 24,23 persen pada saat puncak krisis, yakni dua tahun lalu. Namun, pertengahan 1999, jumlahnya turun menjadi 18,17 persen, sementara 45 persen lainnya tergolong nyaris miskin. "Mereka ini yang sering keluar-masuk (batas) kemiskinan," kata Soedarti Surbakti, Kepala BPS.
Kendati patokan BPS tidak cukup obyektif mencerminkan kenyataan di lapangan, tak semua setuju dengan ukuran miskin yang dipakai Bank Dunia. "Hasil kajian Bank Dunia itu tendensius," protes ekonom Adrian Panggabean. Menurut pendapatnya, batas-batas garis kemiskinan harus jelas dan bersifat lokal. Adrian tak habis pikir dari mana Bank Dunia memasang batas kemiskinan dengan konsumsi US$ 1,5 untuk Indonesia. Seperti juga batas miskin untuk Malaysia yang US$ 1,3, dan US$ 1,7-1,8 untuk Korea Selatan.
Ekonom yang bekerja untuk Nomura Securities Singapura ini melihat, perhitungan yang dipakai BPS lebih realistis. Kemiskinan jelas berkurang setelah petumbuhan ekonomi empat persen selepas masa krisis. Kemudian, inflasi yang turun membuat pengeluaran masyarakat meningkat. Dan ujung-ujungnya, tentu menurunkan jumlah orang miskin.
Agung Rulianto, Leanika Tanjung, IG.G. Maha Adi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo