Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Biar Lamban Asal Hemat

Beberapa perusahaan bus membatasi kecepatan dan mengutamakan kenyamanan. Strategi bertahan menghadapi persaingan bisnis.

16 Agustus 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UDARA pagi masih terasa segar di gerbang terminal bus Giwangan, Yogyakarta, Sabtu sebulan lalu. Sebagian besar pengemudi angkutan umum masih malas menyalakan mesin. Berbeda dengan armada dari Perusahaan Otobus Efisiensi, yang sejak pukul 05.30 mesinnya sudah meraung memecah keheningan.

Seorang perempuan sibuk membagikan nomor kursi kepada calon penumpang yang antre di dekat bus. Keberangkatan bus lebih cepat lima menit dari jadwal pada pukul 06.00 "Penumpang sudah penuh," kata perempuan tadi. Tempo, yang ikut antre, mendapat jatah kursi untuk pemberangkatan selanjutnya. Tepat pukul 07.00, bus kedua diberangkatkan.

Selama mengemudi, sopir membatasi kecepatan maksimal 80 kilometer per jam. Kendaraan besar ini lebih sering didahului ketimbang menyalip bus lain. Waktu tempuh mencapai lima jam, lebih lama ketimbang bus lain dengan rute sama. Liliek Darmawan, pelanggan rute Yogyakarta-Purwokerto, menilai bus asal Kebumen ini lebih nyaman dan mudah diakses. "Hanya kurang cepat," katanya.

Syukron Wahyudi, General Manager Efisiensi, tak memungkiri busnya lebih lamban. Kekurangan itu dibayar dengan kenyaman­an saat berkendaraan. "Ongkos produksi juga bisa ditekan," katanya. Pengemudi dilarang memacu kendaraan di atas ambang batas karena bahan bakar—misalnya untuk rute Yogya-Cilacap—dibatasi hanya 120 liter per hari.

Cara ini terbukti ampuh membuat perusahaan menangguk untung. Berdiri sejak 1994 dengan modal awal satu unit bus, kini perusahaan milik Teuku Erry Rubihamzah itu memiliki 60 unit bus dengan tingkat keterisian tempat duduk 80 persen. "Efisiensi bukan sekadar nama, melainkan prinsip operasional," katanya.

Prinsip serupa diterapkan Perusahaan Otobus Rosalia Indah. Eko Sumarso, Manajer HRD Rosalia Indah Group, mengatakan pengemudi hanya boleh memacu kecepatan maksimal 80 kilometer per jam. Kecepatan ini diyakini membuat mesin lebih irit dan awet karena tidak terlalu panas.

Dengan kecepatan itu, jarak Solo-Jakarta ditempuh selama 9-12 jam. "Penumpang lebih menginginkan kenyamanan," katanya. Dengan strategi ini, perusahaan mampu menambah bus dari 11 unit pada 1991 menjadi 230 unit.

Eka Sari Lorena Soerbakti, Ketua Umum Organisasi Pengusaha Nasional Angkutan Bermotor di Jalan, mengatakan mengemudi dengan mempertimbangkan konsumsi bahan bakar dikenal dengan istilah ecodriving. Sayangnya, baru perusahaan bus tertentu yang menerapkan metode ini. "Pelatihan ecodriving masih dianggap ongkos tambahan," katanya.

Sugiharjo, Direktur Lalu Lintas Angkutan Jalan Kementerian Perhubungan, menilai ecodriving sebagai konsep mengemudi masa depan. "Ini investasi," katanya. Ecodriving berlawanan dengan cara mengemudi stop and go, yaitu kecepatan tinggi lalu mengerem.

Dalam ecodriving, pengemudi membandingkan antara transmisi, tingkat kecepatan, dan putaran per menit (rpm). Kendaraan berbahan bakar bensin putaran ekonomisnya 3.500 rpm. Adapun mesin diesel harus di bawah 3.500 rpm. "Tenaga yang dihasilkan tidak terbuang sia-sia," ujar Sugiharjo.

Ecodriving, menurut Eka Sari, menjadi strategi perusahaan otobus untuk bertahan dari gempuran tarif murah pesawat dan kereta api. Lalu lintas di dunia masih 70-90 persen menggunakan angkutan darat. "Tidak ada moda transportasi yang mengantar sampai ke depan rumah kecuali angkutan darat," katanya. Kunci lainnya adalah layanan keberangkatan di luar terminal. "Penumpang makin enggan ke terminal."

Bus yang melayani rute jarak jauh lebih mudah bertahan dari persaingan usaha. "Mereka punya pelanggan setia," kata pemilik perusahaan otobus Lorena dan Karina ini. Perusahaannya memiliki pelanggan setia bernama Si Ijo. Adapun perusahaan bus Rosalia memiliki Komunitas Pelanggan Rosalia.

Kiat lain, Eka Sari menambahkan, perusahaan otobus bisa menarik penumpang di bandar udara. Ia yakin bus dapat memberikan pelayanan prima kepada penumpang pesawat. Sayangnya, peluang ini terhambat regulasi pemerintah, yang hanya memberikan izin trayek kepada satu perusahaan, Damri. "Kalau banyak pemainnya, bandar udara tidak akan seperti terminal," katanya.

Akbar Tri Kurniawan (Jakarta), Aris Andrianto (Purwokerto), Ukky Primartantyo (Karanganyar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus