Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Menteri Perhubungan mengusulkan sistem kerja dari mana saja (WFA) pada 24-27 Maret agar mudik Lebaran tidak terfokus pada 28-20 Maret 2025.
Buruh khawatir WFA membuat perusahaan mengurangi hak-hak pekerja.
Pengusaha menilai WFA diserahkan kepada kebijakan internal perusahaan masing-masing agar sesuai kebutuhan bisnis.
UNTUK mengurai kepadatan arus mudik, pemerintah sedang mempertimbangkan penerapan sistem kerja dari mana saja atau work from anywhere (WFA) bagi pekerja menjelang Hari Raya Nyepi dan Idul Fitri 2025. Kebijakan ini diusulkan Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi dalam rapat kerja bersama Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta pada Kamis, 23 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dudy menuturkan tahun ini hanya ada waktu singkat untuk mengurai arus mudik. Sebab, libur cuti bersama Nyepi jatuh pada 28-29 Maret dan hari Lebaran diproyeksikan jatuh pada 31 Maret. "Kami melihat bahwa 28 hingga 30 Maret sepertinya agak sedikit menantang, mengingat kami hanya punya tiga hari untuk mengurai para pemudik," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karena itu, Dudy mengusulkan para pekerja bekerja di luar kantor pada 24-27 Maret agar arus mudik tidak hanya terfokus pada tiga hari libur menjelang Lebaran. Dengan kebijakan ini, ia berharap kepadatan arus mudik bisa berkurang, khususnya di titik-titik kritis, seperti pelabuhan penyeberangan Ketapang-Gilimanuk dan Bandara Ngurah Rai, yang rencananya ditutup sementara selama Hari Raya Nyepi.
Adapun Korps Lalu Lintas Kepolisian RI memprediksi arus mudik 2025 meningkat dibanding tahun lalu dengan jumlah pemudik mencapai 136,7 juta. Puncak arus mudik diperkirakan terjadi pada H-3 atau 28 Maret. Sedangkan puncak arus balik akan berlangsung pada H+5 atau 6 April.
Selain itu, sistem WFA bertujuan menciptakan kelancaran mobilitas masyarakat saat libur Lebaran tanpa terganggu oleh kemacetan parah. Menurut dia, teknologi saat ini memungkinkan WFA bisa diterapkan di sejumlah sektor, seperti birokrasi dan pendidikan. Kementerian Perhubungan akan berkoordinasi dengan berbagai kementerian dan lembaga terkait sebelum menyampaikan usulan ini secara resmi kepada Presiden Prabowo Subianto.
Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menyambut positif usulan penerapan WFA menjelang hari raya. Namun, sebelum kebijakan ini diterapkan, ia menyatakan akan bermusyawarah dengan organisasi pengusaha, serikat pekerja, dan unsur pemerintah lain. "Kami akan membahas dulu di Lembaga Kerja Sama Tripartit karena ini bagian dari dinamika ketenagakerjaan," ujarnya pada Sabtu, 25 Januari 2025.
Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi mengikuti rapat kerja bersama Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 23 Januari 2025. Dok. Kementerian Perhubungan
Usulan penerapan WFA sebelum Nyepi dan Lebaran mendapat beragam respons dari kalangan pekerja. Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia Mirah Sumirat menilai sistem kerja di mana saja akan menguntungkan karyawan, salah satunya efisiensi waktu untuk transportasi.
Namun Mirah menekankan ada sejumlah hal yang harus diperhatikan sebelum sistem WFA diterapkan. Terutama soal kepastian bahwa tidak ada pengurangan hak-hak pekerja, seperti upah. Selain itu, jam kerja harus tetap sesuai dengan peraturan perundang-undangan, yaitu delapan jam per hari. Jika ada pekerjaan di luar jam kerja, wajib dihitung sebagai lembur.
"Jangan sampai perusahaan merasa berhak mengurangi upah atau tunjangan pekerja hanya karena bekerja dari rumah," tutur Mirah kepada Tempo, Senin, 27 Januari 2025. Terlebih ide ini berasal dari pemerintah, sementara pekerja hanya mengikuti kebijakan tersebut.
Selain itu, menurut Mirah, perusahaan harus menyiapkan fasilitas kerja, seperti laptop atau komputer pribadi untuk pekerja saat WFA. Jika semua hal tersebut dipenuhi, WFA tidak akan menjadi masalah bagi pekerja atau buruh.
Untuk memastikan kejelasan aturan WFA, Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia Elly Rosita Silaban berharap pemerintah mengikutsertakan serikat pekerja dan buruh. Ia mengungkapkan, masih ada kekhawatiran penerapan WFA akan berdampak mengurangi upah pekerja. Apalagi di tengah kabar pemutusan hubungan kerja massal yang terus terjadi belakangan ini dan implementasi kenaikan upah minimum yang masih bermasalah.
Elly juga menganggap kebijakan WFA mungkin sulit diterima pengusaha, terutama bagi perusahaan yang bergantung pada kehadiran langsung tenaga kerja seperti sektor padat karya. Dalam situasi seperti ini, menurut dia, pengusaha mungkin berusaha menekan biaya dengan memotong gaji atau tunjangan karena pekerja tidak hadir secara fisik di tempat kerja. Walhasil, tujuan mengurai arus mudik bisa tidak tercapai.
Anggapan Elly tersebut selaras dengan tanggapan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani memandang kebijakan WFA saat libur Lebaran dan Hari Raya Nyepi perlu dikaji lebih dalam. "Terutama perlu dikaji dari sudut pandang produktivitas dan keberlangsungan operasi dunia usaha," tuturnya kepada Tempo, Senin, 27 Januari 2025.
Shinta berujar, Apindo memahami intensi pemerintah mengurangi kepadatan lalu lintas dan meningkatkan efisiensi mobilitas masyarakat pada hari besar keagamaan. Namun, menurut dia, implementasi kebijakan ini tidak dapat disamaratakan di semua sektor usaha, mengingat karakteristik setiap sektor sangat beragam.
Ia menjelaskan, ada sektor yang lebih fleksibel untuk menerapkan WFA, seperti teknologi informasi dan profesi kreatif. Namun sektor seperti manufaktur, retail, logistik, dan pariwisata tetap membutuhkan kehadiran karyawan di lokasi kerja untuk menjaga kelancaran operasi.
Selain itu, Shinta menekankan bahwa penerapan WFA pada periode tertentu, seperti menjelang hari besar keagamaan, harus memperhitungkan kebutuhan untuk memenuhi lonjakan permintaan dan konsumsi masyarakat. Jika kebijakan WFA diterapkan tanpa perencanaan dan perhitungan matang, ia memperkirakan ada risiko gangguan pada rantai pasok yang dapat mempengaruhi stabilitas pasokan di pasar.
Apindo juga menekankan pentingnya diskusi yang melibatkan semua pihak, terutama dunia usaha, sebelum kebijakan WFA diambil. Hal ini untuk memastikan kebijakan tersebut tidak mengganggu stabilitas operasi dunia usaha, terutama di sektor-sektor strategis yang berkontribusi signifikan terhadap perekonomian.
Bahkan Shinta menilai kebijakan seperti WFA seharusnya bersifat opsional. Dengan begitu, keputusan penerapan WFA diserahkan kepada kebijakan internal perusahaan masing-masing agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi spesifik setiap sektor usaha.
Ilustrasi work from anywhere (WFA). Dok. Tempo/Nurdiansah
Peneliti Next Policy Shofie Azzahrah menuturkan kebijakan WFA akan sulit diterapkan di banyak sektor bisnis di Indonesia. Di antaranya sektor manufaktur, retail, dan makanan-minuman yang tetap membutuhkan kehadiran tenaga kerja di toko atau restoran untuk melayani pelanggan.
Selain itu, sektor logistik dan transportasi akan mengalami dampak signifikan. Sebab, menjelang Lebaran, sektor ini justru mengalami peningkatan permintaan. Karena itu, pekerja di sektor-sektor kritikal tetap harus mudik pada periode yang sama dengan kelompok masyarakat lain. Dengan demikian, Shofie menilai kemacetan dan kepadatan transportasi umum bisa dikurangi.
Ketua Institut Studi Transportasi Darmaningtyas berpandangan bahwa kebijakan WFA memang bermanfaat mengurangi pergerakan orang saat mudik atau berlibur sehingga kemacetan bisa berkurang. Namun, jika pekerja memilih lokasi bekerja yang memerlukan pergerakan tambahan dari rumah, manfaat WFA bisa berkurang.
"Sebetulnya ini merupakan kebijakan orang malas sehingga mencari mudahnya saja," kata Darmaningtyas kepada Tempo, Senin, 27 Januari 2025. Ia menilai kebijakan ini seperti sekadar imbauan kepada masyarakat agar tidak bepergian selama libur Nyepi dan Lebaran supaya tak ada kemacetan. Padahal semestinya pemerintah berusaha mencegah terjadinya kemacetan meskipun pergerakan orang tetap tinggi.
Menurut Darmaningtyas, penerapan WFA mungkin lebih efektif untuk mengurai arus balik. Pasalnya, pekerja tidak perlu buru-buru kembali ke kota besar pada waktu bersamaan. Sedangkan untuk arus mudik, efektivitasnya diragukan lantaran kebanyakan pemudik tetap memilih pulang sebelum Lebaran agar dapat menjalankan ibadah di kampung halaman. Walhasil, arus mudik akan cenderung tetap padat.
Sebelum mempertimbangkan penerapan WFA, Darmaningtyas menyarankan pemerintah dan perusahaan memastikan sejumlah hal. Salah satunya ketersediaan fasilitas Internet, terutama jika karyawan bekerja dari kampung halaman yang infrastrukturnya kurang memadai. Sebab, jika Wi-Fi tidak tersedia, penggunaan kuota Internet pribadi bisa menjadi beban tambahan bagi pekerja.
Survei Statista pada 2022 menunjukkan 22 persen tenaga kerja yang bekerja secara remote di seluruh dunia menganggap keuntungan bekerja dari mana saja adalah fleksibilitas penggunaan waktu. Sementara 13 persen responden menganggap keuntungannya adalah fleksibilitas memilih tempat bekerja. Adapun 12 persen pekerja mengatakan keuntungannya adalah punya lebih banyak waktu karena tidak perlu datang ke kantor.
Sedangkan survei lain Statista menunjukkan 71 persen tenaga kerja yang bekerja secara remote ingin bekerja dari mana saja secara penuh. Sedangkan 20 persen responden menginginkan sistem kerja hibrida antara bekerja di kantor dan WFA.
Jika berkaca pada negara-negara yang berhasil menerapkan sistem kerja jarak jauh, kemajuan teknologi memang menjadi faktor utama. Global Remote Work Index 2024 mencatat negara-negara Eropa mendapat skor tertinggi dalam indeks bekerja fleksibel, antara lain Belgia, Belanda, Swedia, Spanyol, dan Jerman. Ada empat kriteria yang menjadi ukuran dalam indeks tersebut, yaitu keamanan siber, ekonomi, infrastruktur, dan keamanan sosial.
Apabila Indonesia bisa memenuhi empat faktor tersebut, ekonom Center of Reform on Economics Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai kebijakan WFA justru dapat berdampak positif bagi perusahaan. Sebab, sistem ini memungkinkan perusahaan mengurangi biaya operasional, seperti listrik, air, atau konsumsi kantor.
Tantangannya, perusahaan perlu menyediakan teknologi yang mendukung, mekanisme evaluasi kinerja, dan pengelolaan keamanan data agar sistem perusahaan tetap aman diakses dari berbagai lokasi dengan aman. Jika hal tersebut bisa dipenuhi, ia yakin penerapan WFA dapat memberikan fleksibilitas waktu sehingga pekerja dapat memulai perjalanan mudik lebih awal dan menghindari puncak arus mudik.
Namun Yusuf mengingatkan bahwa budaya mudik yang sudah mengakar membuat lonjakan pergerakan massa tetap sulit dihindari. Karena itu, mengkoordinasikan kebijakan WFA dengan manajemen transportasi dan infrastruktur menjadi kunci untuk memaksimalkan dampaknya dalam mengurangi kepadatan arus mudik. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo