Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Setelah ANTV, SEA Today mulai memangkas jumlah karyawannya.
SEA Today harus melakukan efisiensi untuk merespons dinamika industri penyiaran.
Penetrasi Internet yang masih rendah serta tren penonton yang belum semuanya bersedia membayar untuk menonton konten bisa menjadi celah bagi perusahaan televisi tumbuh.
SATU lagi perusahaan media televisi yang memangkas jumlah karyawannya. Kanal berita berbahasa Inggris, SEA Today, mulai menghentikan hubungan kerja dengan sejumlah pegawainya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Awy Sirapurna Putra, Corporate Secretary PT Metra Digital Media (MD Media), yang menaungi SEA Today, mengungkapkan bahwa perusahaan harus melakukan efisiensi untuk merespons dinamika industri penyiaran. Anak usaha PT Telekomunikasi Indonesia Tbk ini memutuskan menghentikan sejumlah program penyiaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Sebagai dampak penyesuaian program penyiaran, salah satu langkah yang diambil adalah tidak memperpanjang kontrak kerja karyawan yang telah berakhir sampai terpenuhinya kebutuhan operasional dengan tetap mempertimbangkan kepentingan perusahaan," ujarnya pada Ahad, 2 Februari 2025. Ia enggan mengungkap jumlah karyawan yang terkena dampak.
Sebelum SEA Today, PT Cakrawala Andalas Televisi atau ANTV memutus hubungan kerja dengan karyawannya. Pada Desember 2024, anak usaha PT Intermedia Capital Tbk ini memberhentikan 57 karyawan di bagian produksi. "Langkah ini merupakan salah satu bagian dari strategi efisiensi dan penyesuaian model bisnis agar tetap relevan dan kompetitif di industri," ujar Direktur PT Intermedia Capital Tbk Arhya Winastu Satyagraha pada 24 Desember 2024.
Arhya mengatakan perusahaan mengubah model bisnis dalam beberapa tahun terakhir. Mayoritas program ANTV diperoleh dari pihak ketiga atau rumah produksi. Akibatnya, jumlah program yang melibatkan tim produksi televisi free-to-air (FTA) atau siaran gratis turut berkurang. Perubahan ini bertujuan menjaga daya saing perusahaan di tengah bermunculannya stasiun televisi FTA setelah penerapan analog switch-off (ASO). Pemerintah menghentikan siaran analog dan mewajibkan perusahaan penyiaran beralih ke siaran digital paling lambat pada 2 November 2022.
Baru setengah tahun berjalan, kebijakan ASO sudah terlihat mempengaruhi kinerja perusahaan media. Laporan keuangan sejumlah emiten media pada semester I 2023 menunjukkan tren penurunan pendapatan. PT Visi Media Asia Tbk (VIVA), misalnya, mencatatkan penurunan pendapatan sebesar 32,27 persen. Selain itu, pendapatan PT Surya Citra Media Tbk (SCMA) yang merupakan pengelola saluran televisi Indosiar dan SCTV turun 4,15 persen.
Induk RCTI, GTV, MNCTV, dan iNews TV, yaitu PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN), juga mencatatkan penurunan pendapatan. Pendapatan usaha mereka anjlok 32,27 persen secara tahunan. "Kami tidak dapat mengabaikan fakta bahwa analog switch-off berdampak besar pada stasiun TV kami," ujar Executive Chairman MNC Group Hary Tanoesoedibjo dalam keterangan resmi pada 2 Agustus 2023.
Ekspansi Garuda TV dan Nusantara TVDua jaringan televisi swasta mengembangkan sayap di tengah lesunya industri pertelevisian. Keduanya adalah Garuda TV dan Nusantara TV. Garuda TV merupakan jaringan televisi swasta lokal di Indonesia yang sebelumnya bernama Digdaya TV. Digdaya TV diluncurkan pada 23 Agustus 2018, kemudian berganti nama menjadi Garuda TV pada 10 November 2021. |
Direktur VIVA Neil Tobing menjelaskan alasan kebijakan ASO berdampak pada pendapatan perusahaan. Menurut dia, peralihan ke siaran digital membuat jumlah penonton menurun. Saat kebijakan tersebut diterapkan, penetrasi digital di dalam negeri belum sempurna, masih di kisaran 77 persen. Dari hasil survei penetrasi Internet di Tanah Air pada 2024 yang dirilis Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, penetrasinya meningkat menjadi 79,5 persen. "Sedangkan di negara lain, penetrasi 95 persen dulu, baru boleh menerapkan ASO," tuturnya kepada Tempo, Senin, 3 Januari 2025.
Ditambah saat itu para pengusaha televisi menghadapi disrupsi digital dengan berkembangnya platform media sosial seperti YouTube serta platform over the top seperti Netflix. Platform tersebut menawarkan layanan konten yang lebih fleksibel, bisa ditonton di mana pun dan kapan pun. Layanan tersebut sangat sesuai dengan perubahan perilaku penonton yang sudah tidak mau mengikuti jadwal tayang program televisi.
Faktor lain yang juga krusial adalah penurunan jumlah iklan di televisi. Para perusahaan cenderung beralih ke media lain, seperti media sosial. VIVA, misalnya, mencatatkan total pendapatan iklan Rp 860,3 miliar atau turun 5,1 persen pada kuartal III 2024. Angka ini turun dari pendapatan pada tahun sebelumnya yang sebesar Rp 906,4 miliar.
Tahun ini bakal ada tambahan tantangan dengan adanya efisiensi anggaran pemerintah. Meskipun masih ada iklan yang masuk ke televisi dari kementerian, lembaga, pemerintah daerah, dan badan usaha milik negara sebesar Rp 300-400 miliar per tahun dari total belanja iklan sekitar Rp 12 triliun, pemangkasan belanja untuk iklan di televisi tetap bakal berpengaruh.
Meski begitu, Neil mengatakan masih ada peluang industri ini tumbuh. Penetrasi Internet yang masih rendah serta tren penonton yang belum semuanya bersedia membayar untuk menonton konten bisa menjadi celah bagi perusahaan televisi tumbuh. Televisi juga masih belum terkalahkan dari sisi konten terbaru. "Misalnya, yang berani menayangkan pertandingan bola secara live kan selalu stasiun TV. Jadi, menurut saya, konten premium seperti inilah yang tidak akan pernah bisa digantikan oleh platform digital," ucapnya.
Neil berharap ada uluran tangan pemerintah untuk menggairahkan lagi industri media, khususnya televisi. Dia menilai perlu ada pembaruan Undang-Undang Penyiaran agar lebih sesuai dengan kondisi saat ini.
Ia pun mengharapkan ketentuan yang adil buat penyedia konten audiovisual selain stasiun televisi sehingga tercipta persaingan sehat. "Industri TV merupakan bisnis yang sangat regulatif, sementara platform digital bebas-bebas saja tanpa sensor, tanpa bayar pajak, dan pekerjanya juga tinggal pakai sistem outsource," tuturnya. Selain itu, ia berharap pemerintah bekerja sama dengan media nasional ketimbang memanfaatkan media sosial sendiri.
Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia Herik Kurniawan pun menyatakan kondisi di media televisi saat ini penuh tantangan. Selain masalah ASO, kue iklan makin berkurang seiring dengan makin banyaknya pesaing dari platform digital. Namun dia masih melihat secercah harapan. Media televisi masih punya keunggulan dari sisi kualitas. "Jurnalisnya bisa mempertanggungjawabkan kebenaran informasi," katanya. ●
Dian Rahma dan M. Raihan berkontribusi dalam penulisan artikel ini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo