GOODYEAR, pembuat ban andalan dari Bogor, terpaksa tidak bisa memenuhi permintaan ban traktor dari Uni Soviet. Harga memang sudah disepakati, tapi penjual ragu-ragu, apakah kelak dari usaha ekspor itu pabrik masih bisa memperoleh perangsan memadai. Bukan lagi Sertifkat Ekspor (SE) tentu, karena mulai 1 April depan, fasilitas itu sudah dihapus. Sebagai penggantinya, ada kabar, eksportir hanya akan mendapat drawback murni atas setiap barang yang diekspornya. Unsur subsidi di situ ditiadakan sama sekali, karena tidak diperbolehkan Perjanjian Umum di bidang Perdagangan dan Tarif (GATT). Eksportir hanya akan memperoleh pengembalian bea masuk dan pajak penjualan impor atas bahan baku sebesar yang telah dibayarnya untuk menghasilkan barang ekspor. Kalau sistem itu diterapkan Goodyear hanya mendapat pengembalian Rp 71 untuk setiap kg ban yang diekspornya. Padahal, dengan SE, penghasil ban cap sepatu terbang itu memperoleh Rp 302. Wajar jika Goodyear, yang menduga bakal rugi dengan ketentuan pengganti itu. tidak mau terpukul di pasar ekspor. Hilangnya kesempatan seperti itu bukan main mahalnya. Apa boleh buat, persetujuan terpaksa tidak bisa diparaf, karena ketentuan pengganti SE secara lengkap belum turun. Ada kabar, memang, untuk merangsang agar pengusaha tetap bisa melanjutkan ekspornya, pemerintah akan memperkenalkan sistem drawback plus. "Kalau konsekuen dengan GATT, seluruh industri kita bakal hancur," ujar Sjahfiri Alim, Direktur Utama Goodyear. Pernyataan itu mungkin berlebihan, sekalipun benar bahwa beberapa sektor industri, yang selama ini mendapat subsidi cukup besar dalam usaha ekspornya, bakal tertohok. Tapi Polekao Indonesia Chemicals misalnya, mengatakan masih bisa mengekspor bahan kimia untuk pembuatan deterjen -- padahal dengan sistem drawback murni PMA patungan ini hanya akan mendapat pengembalian Rp 70 ribu. Padahal, dengan SE Polekao bisa memperoleh Rp 138 ribu untuk setiap ton bahan baku yang diekspornya. Nilainya memang lebih kecil, tapi ya, masih cukup membantu," kata Kiyoshi Sakamoto, Wakil Presiden Direktur Polekao. Tapi Polekao, seperti juga kebanyakan eksportir, kalau boleh tentu masih ingin memperoleh fasilitas yang sama empuknya dengan SE. Bagaimana bentuk fasilitas pengganti itu, Menteri Perdagangan Rachmat Saleh hanya menyatakan, unsur drawback disitu pasti ada. "Kalau toh nanti ada bantuan bukan sesuatu yang bisa dikualifikasikan sebagai subsidi," katanya. Sikap ekstra hati-hati itu perlu, untuk mencegah lawan dagang mempunyai peluang memojokkan setiap pemberian fasilitas ekspor. "Unsur plus di dalam sistem itu sedang dipertimbangkan, baik secara umum maupun per komoditi," tambahnya. Ketentuan lengkap mengenai fasilitas pengganti SE itu, berupa surat keputusan bersama, baru akan dikeluarkan 1 April. Sejumlah eksportir yang tak ingin terlalu kecewa melihat ketentuan pengganti itu, memang, banyak juga yang berusaha mengurangi volume transaksinya -- seperti dilakukan Goodyear. Menteri Rachmat Saleh menyadari benar kesulitan itu. "Saya mengerti. Untuk kontrak Juni, sudah harus mereka putuskan harga itu di bulan April," katanya. Dalam situasi serba mengambang itu, Kadin Indonesia menawarkan usul agar fasilitas SE itu diganti dengan pemberian tax credit. Fasilitas ini hakikatnya merupakan surat pernyataan berutang (IOU) dalam jumlah tertentu kepada pemerintah. Fasilitas baru bisa dikeluarkan jika pengusaha benar-benar sudah melakukan ekspor dengan menunjukkan dokumen yang dibutuhkan. Kalau suatu saat eksportir butuh uang, surat pernyataan tadi bisa dijual kepada lembaga pembiayaan, dengan tingkat diskonto tertentu sebelum jatuh tempo. Jadi, bentuk surat pernyataan yang dikaitkan dengan rencana pembayaran Pajak Pertambahan Nilai itu kira-kira mirip dengan surat berharga pasar uang (SBPU) yang dikenal kini. Jatuh temponya diancer-ancerkan dua bulan, seperti tenggang waktu maksimum penyetoran PPN. Tapi usul Kadin, yang disampaikan awal bulan ini, ternyata lebih banyak membikin eksportir mengernyitkan kening. "Fasilitas itu nantinya malah akan memperuwet perhitungan pajak," kata Ben De Haan, Asisten Direktur Mulia Knitting. Anggapan itu mungkin benar. Para pengusaha juga meragukan apakah pemerintah akan mampu mengontrol dan melaksanakan sistem drawback yang ruwet dan membutuhkan birokrasi yang rapi itu. Dulu, pengembalian bea masuk dan pajak penjualan impor dengan cara ini pernah coba dilakukan. Tapi, karena tertib administrasi di kalangan birokrasi dan pengusaha sendiri belum jalan, sulit bagi pemerintah untuk melakukan penghitungan itu. Pengembalian dalam bentuk SE akhirnya dilakukan -- dengan cara menghitung kasar, tentu. Cara itu juga terpaksa ditempuh, karena di sini, selain ada eksportir produsen, dikenal juga eksportir nonprodusen. Eksportir jenis terakhir lazimnya tak punya faktur pajak penjualan masukan dan bea masuk atas bahan baku, yang digunakan untuk membuat barang ekspornya. Beda dengan eksportir produsen. Nah, kalau kelak pemerintah berhadapan dengan eksportir nonprodusen, "Bagaimana penghitungan drawback akan dilakukan?" kata De Haan dari Mulia Knitting, yang setiap tahun mengekspor USS 2,5 juta pelbagai pakaian jadi. Tapi bolehkah tax credit dari segi perpajakan? "Tidak bisa, cara itu tidak mungkin dilakukan," jawab Dirjen Pajak Salamun A.T. Ia sendiri tak mengetahui secara persis apakah fasilitas semacam itu juga diperkenalkan negara lain. Kalaupun pengusaha ingin mengekspor barangnya, menurut dia, maka terhadap barang itu tak dikenakan PPN. Sebab, pemerintah akan mengembalikan semua pajak yang telah dibayar dari permulaan sampai terakhir sebelum diekspor. "Jadi PPN-nya tak ada sama sekali," tegasnya. KALAU pintu itu sudah tak dimungkinkan, pintu mana lagi yang terbuka? Fahmy Chatib, Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), mengusulkan agar pemerintah membantu pengusaha menekan biaya produksi. Eksportir produsen anggota API, lazimnya, ingin membuat persediaan bahan baku selama enam sampai delapan bulan. Tapi itu berarti mereka harus membayar "uang mati" 1,5% setiap bulan. Kalau biaya dana itu bisa diganti dengan pinjaman tanpa bunga, tentu menolong. "Pemerintah 'kan punya deposito di luar negeri yang bisa dipinjamkan," kata Fahmy. Usul ini, agaknya, lebih dekat dengan rencana pemerintah menyediakan dana gratis yang kelak bakal dikelola Dewan Penunjang Ekspor (TEMPO, 15 Maret 1986). Cara lain menekan biaya produksi juga diusulkan dengan memotong tarif listrik dan telepon. Beberapa pengusaha begitu yakin, jika penghapusan SE itu diganti dengan drawback murni plus pemotongan tarif listrik dan telepon, ekspor mereka bakal lancar. Soalnya tinggal niat, sekalipun sama-sama diketahui urusan mengenai listrik dan telepon menyangkut kepentingan instansi lain, yang kini juga sedang butuh banyak dana. Tapi, siapa yang keberatan membantu menggalakkan ekspor nonmigas? Eddy Herwanto Laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini