Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

BBM: Turun Atau Tidak

Pemerintah punya peluang menurunkan harga BBM setelah harga minyak mantap. Penurunan ini malah dianggap masih surplus, bukan subsidi. Kunci efisiensi ekonomi terletak pada harga BBM. (eb)

29 Maret 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALAU harga minyak mentah melorot, seperti terjadi tiga bulan terakhir ini, mungkinkah harga BBM (bahan bakar minyak) turun? Jawabannya: belum tentu, kendati untuk menghasilkan BBM itu, Pertamina tidak lagi harus mengimpor minyak seharga US$ 25 per barel -- tapi mungkin bisa US$ 5 sampai US$ 10 lebih murah. Toh, anggota DPR Djoko Sudjatmiko, pekan lalu, merasa perlu mengusulkan agar harga jual BBM diturunkan. Alasannya sederhana. Jika harga BBM turun, maka listrik, yang masih sekitar 73% dihasilkan dengan energi minyak bumi, diharapkan bakal bisa dijual lebih murah. Kalau itu terjadi, biaya produksi untuk menghasilkan pelbagai barang bisa banyak dihemat - karena harga masukan energinya turun. Singkat kata, menurut Djoko, kunci efisiensi ekonomi sesungguhnya terletak pada harga BBM. Turunnya harga BBM itu, 'Diharapkan jadi semacam picu yang akan mendorong proses perekonomian secara menyeluruh," katanya. Industri baja, aluminium, timah, dan nikel, yang banyak menyedot energi, jelas bakal menyambut baik usulan itu. Daya saing komoditi yang mereka hasilkan, sebagian besar memang dipengaruhi harga masukan energi. Tapi, bagi pemerintah, menurunkan harga BBM ternyata tidak mudah. Soalnya, menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Dr. J.B. Sumarlin, perkembangan harga minyak sekarang masih belum menentu. Dengan kata lain struktur harganya belum menetap pada tingkat tertentu. Jika suatu hari harganya US$ 15, bukan tak mungkin, besok jadi US$ 13 sebarel. Sementara itu, penghitungan biaya produksi dan subsidi ditetapkan dengan perkiraan harga minyak tetap US$ 25 per barel sepanjang tahun fiskal 1986-1987. Karena alasan itu, Sumarlin lebih suka mengajak orang untuk berpegang pada perencanaan yang sudah ada dulu. Artinya, jika konsumsi BBM untuk tahun anggaran mendatang diduga bakal meliputi 25,8 juta kiloliter, maka biaya pengadaan minyak mentah diproyeksikan tetap pada angka Rp 4,472 trilyun. Sedang biaya operasi dianggarkan Rp 1,3 trilyun, hingga biaya produksi BBM diperkirakan akan mencapai Rp 5,772 trilyun. Karena harga jual beberapa komponen BBM ada yang dilego di bawah biaya produksi rata-rata Rp 221 per liter, maka untuk pengadaan BBM sebesar itu, pemerintah masih perlu menyubsidi Rp 142 milyar lebih. Tahun anggaran berjalan ini, besarnya subsidi itu dialokasikan Rp 532 milyar lebih. Tapi, besar kemungkinan, tahun 1985-1986 ini banyak subsidi bisa dihemat -- karena harga minyak melorot di bawah US$ 25. Seperti sudah diketahui, besarnya biaya pengadaan minyak mentah ini juga banyak ditentukan perubahan komposisi minyak prorata dan in kind untuk BBM. Ketika November 1983 lalu kontrak bagi hasil dengan Caltex diperbarui, hingga menyebabkan bagian operator minyak itu mengecil, maka volume minyak prorata berharga US$ 0,20 per barel yang harus disisihkannya ikut mengecil. Sebaliknya, minyak in kind, yang harus dibeli dengan harga pasar, menggelembung. Karena kini harga minyak dunia turun, maka biaya pengadaan jenis in kind ikut terseret turun. Taruh kata sesudah turun terus, harga minyak akan mantap pada angka US$ 20, maka Djoko Sudjatmiko melihat, pemerintah punya peluang menurunkan harga BBM pukul rata Rp 40 per liter. Kendati harga sudah diturunkan, pemerintah ternyata masih bisa mengantungi laba bersih minyak (LBM) Rp 1 trilyun-suatu hal yang hanya terjadi di masa Pelita I, dan terakhir di tahun fiskal 1976-1977, dengan LBM Rp hampir 16 milyar. "Jadi, bukan subsidi, malah surplus," katanya. Surplus sebesar itu, tentu, cukup lumayan untuk menambal berkurangnya penerimaan pajak penghasilan migas. Tapi, ada juga pengusaha semacam Tanri Abeng, Direktur Utama Multi Bintang, yang lebih suka melihat penurunan harga itu tidak perlu buru-buru ditanggapi dengan perubahan kebijaksanaan. "Dilihat dulu, kecenderungan penurunan harga minyak itu sampai di mana, dan pada tingkat berapa akan stabil," katanya. Sampai kapan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus