Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Bila kongres mencari kambing hitam

Tiipa, asosiasi dagang bidang rekaman, video, dan piranti lunak komputer di as, menuntut pemerintahnya agar ri dicabut dari daftar gsp (bebas bea). ri tak punya uu hak cipta dan pembajak berat. (eb)

28 Juni 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KONGRES AS memang terpaksa bersikap mendua. Di satu pihak, merasa punya kewajiban "menyelamatkan" kesulitan ekonomi dunia, di pihak lain getol menampung keluhan-keluhan "lokal" dari para pemilih di distrik asal mereka. Yang hendak ditorpedo lagi ekspor nonmigas RI - setelah usai soal Jenkins'Bill tempo hari. Paling tidak, itulah yang diharapkan The International Intellectual Property Alliance (TIIPA), sebuah persekutuan tujuh buah asosiasi dagang AS di bidang rekaman audio, video, dan piranti lunak komputer. Presiden TIIPA, Stanley M. Gortikov, berbicara dengan panitia kecil urusan perdagangan internasional di Senat AS, pekan lalu. Dalam laporan 13 halaman yang dibacakannya itu, Gortikov menuntut pemerintah agar mencabut nama Indonesia dari daftar negara yang menerima Generalized System of Preferences (GSP). Bila tuntutan ini dikabulkan berarti Indonesia akan kehilangan hak bebas bea atas sebagian ekspor komoditinya ke AS. Seperti kayu lapis, kayu veneer, dan bahan-bahan pewangi. "Ini jelas akan memukul ekspor komoditi yang sekarang saja harganya sudah rendah," kata seorang pejabat yang berurusan dengan masalah ekspor ke AS. GSP adalah sebuah program Kongres AS 1974. Dengan itu, sekitar 3.000 jenis barang berasal dari sekitar 140 negara berkembang dibebaskan dari bea masuk AS. Tujuannya, menjaga pertumbuhan ekonomi di negara berkembang, yang pada akhirnya akan bermanfaat bagi AS karena semakin besar kemungkinan mengekspor produknya ke negara-negara tersebut. Persoalannya sekarang adalah: Ekspor dari negara berkembang itu ke AS, kini, lebih besar daripada impor mereka dari AS. Akibatnya, defisit neraca perdagangan AS pun cenderung membengkak. Tak heran jika produsen Amerika mulai berkaok-kaok. Agaknya mereka terlalu angkuh untuk mengakul bahwa sebagian besar produsen negara berkembang kini bekerja lebih efisien dari mereka. Maka, kambing hitam pun dicari untuk memberi alasan usulan proteksi. Dan kambing yang paling hitam, agaknya, adalah: Tak adanya undang-undang perlindungan hak cipta di negara berkembang. Tuduhan ini bukan tanpa alasan. Kongres AS, dalam laporan tahun 1983, memperkirakan industri AS dirugikan 20 milyar dolar setiap tahun akibat pembajakan. TIIPA menuduh pembajakan di sepuluh negara - Singapura, Taiwan, Indonesia, Korea, Filipina, Malaysia, Muangthai, Brasil, Mesir, dan Nigeria - saja mencapai 1,3 milyar dolar setiap tahun. Termasuk di antaranya 600 juta dolar di industri musik, 400 juta dolar di industri buku, 130 juta dolar di bidang film/video, dan 126 juta dolar di bidang piranti lunak komputer. Pembajak Indonesia, menurut TIIPA menyebabkan industri film AS dirugikan 17 juta dolar setiap tahun. Dari buku 6 juta dolar dan dari piranti lunak komputer sekitar 3 juta dolar. Belum jelas bagaimana penghitungan ini dilakukan. Sebab, TIIPA melaporkan kerugian di bidang audio mencapai 80 juta dolar untuk pasar domestik dan 100 juta dolar di bidang ekspor. Padahal, berdasarkan data BPS, untuk tahun 1982 hingga Juni 1985 Indonesia hanya mengekspor kaset seharga 14,9 juta dolar untuk ke seluruh dunia - dan tak ada yang diekspor ke AS. Menurut BPS, ekspor dilakukan ke Arab Saudi, dan negara ASEAN. Karena itu, kebanyakan berupa lagu kasidah atau lagu Melayu, walau sudah bukan rahasia lagi bahwa ada sebagian lagu Barat. Bahwa TIIPA menunjuk hidung Indonesia sebagai salah satu pembajak kelas berat agaknya, disebabkan beberapa kasus yang terjadi beberapa waktu lalu. Tuduhan Bob Geldof bahwa Indonesia membajak Live Aid adalah awal citra buruk Indonesia di mata internasional yang mendapat liputan luas. Ditangkapnya Anthony Dharmawan Setiono, 13 Desember tahun lalu, dengan tuduhan pembajakan kaset, semakin menyudutkan citra Indonesia. Apalagi juri pengadilan New York menyatakan Anthony bersalah, bulan lalu. Celakanya, atase perdagangan Indonesia, dalam pengadilan itu, dituduh membantu Anthony melakukan transaksi perdagangan kaset bajakan. Yang terjadi di Indonesia memang memberi angin para "pembajak". Belum lama ini, Mahkamah Agung, misalnya, malah memenangkan PT Panarub yang jelas-jelas menggunakan nama Nike dari Amerika untuk produksi sepatunya. Panarub menang karena dianggap lebih dahulu mendaftarkan merknya dibandingkan Jay Gee Enterprises yang mengimpor Nike. Karena masih penasaran, Jay Gee akan kembali menggugat Panarub. "Kita tunggu saja apakah dia bisa membuktikan pembajakan itu," kata Soedargo Gautama, pengacara Panarub. Yang mengherankan pengacara kawakan itu, "Mengapa dia (Nike International AS) tak mendaftarkan patennya di sini." Masih terlalu pagi untuk menduga apakah tuntutan TIIPA akan dipenuhi pemerintah AS. "Harapan saya pemerintah AS akan menolaknya mengingat hubungan baik RI-AS," kata seorang pejabat yang tak mau disebut namanya. Tapi hal ini sempat dibicarakan dalam kunjungan Presiden Reagan ke Bali, April lalu. Menurut seorang pejabat, yang mengikuti perundingan itu, pihak Indonesia menyatakan bahwa RI sudah mempunyai rencana untuk membuat undang-undang hak cipta. Dalam wawancara dengan TEMPO, setelah kunjungan Reagan ke Bali, Duta Besar AS, Paul Wolfowitz, menyatakan telah disepakati bantuan pemerintah AS untuk merancang undang-undang itu. Masalah hak cipta, sebenarnya, hanyalah salah satu ranjau dari ratusan yang menebari jalan ke pasar AS. Ratusan RUU proteksi sedang digodok di Kongres dan Senat AS dengan alasan "Untuk memerangi ketidakadilan dalam perdagangan luar negeri Amerika". Tingginya angka pengangguran di beberapa distrik asal anggota kongres atau senator menyebabkan topik proteksi menjadi amunisi politik yang ampuh dalam menjamin terpilihnya kembali mereka. Kalaupun seluruh RUU ini diterapkan, menurut wartawan New York Times Clyde H. Farnsworth, hanya akan menyelamatkan 10 milyar dari defisit 160 milyar dolar untuk tahun 1986. Padahal, bisa dipastikan, mitra dagang AS akan melakukan tindakan balasan. Sebab, AS sendiri bukanlah negara yang bebas dari peraturan proteksi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus