Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Untuk menggoreng atau diekspor

Harga cpo untuk konsumsi lokal rp 425. harga ekspor belawan rp 200 per kg. tingginya perbedaan ini membuat produsen minyak terpojok dan tak mau mengambil jatahnya dari apbp. ptp bisa bangkrut. (eb)

28 Juni 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HUBUNGAN antara minyak goreng dan minyak sawit kasar (CPO) kini bak minyak dan air - sulit dipertemukan. Buktinya, bagi Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia, harga bahan baku untuk menghasilkan minyak goreng, CPO, itu ternyata bisa membuat mereka duduk seperti digoreng. Soalnya, sudah setengah tahun ini, harga CPO untuk mereka dipasang setinggi Rp 425, sementara harga ekspor (fob) Belawan hanya Rp 200 per kg. Wajar kalau sejumlah anggota Asosiasi, pekan lalu, kemudian dikabarkan berniat membeli CPO dari Malaysia yang bisa diperoleh dengan harga Rp 345. Dengan kebijaksanaan Paket 6 Mei, memang terbuka kemungkinan penghasil minyak goreng yang mengekspor sebagian produksinya mengimpor CPO, jika harga lokal dianggap kelewat tinggi. Tapi, kalau CPO itu kemudian digunakan hanya untuk menghasilkan minyak goreng bagi konsumsi lokal, maka itu tidak dibenarkan. Yang jadi soal, jika usaha menghasilkan minyak goreng untuk lokal itu diteruskan dengan menggunakan minyak sawit Rp 425 per kg, maka produsen hampir-hampir tidak bisa mendapatkan laba. Bayangkan saja, dengan harga pokok eks pabrik sekitar Rp 490, mereka dipaksa menjual minyak goreng tadi dengan tingkat harga Rp 500 per kg Bisa dimengerti kalau sejumlah produsen minyak goreng, yang tak ingin kerja bakti, kemudian tidak mengambil jatah CPO mereka di Asosiasi Pemasaran Bersama Perkebunan (APBP) di Medan. Menurut buletin Business News, pekan lalu, alokasi untuk semester pertama sebesar 200 ribu ton hingga kini belum satu kilogram pun ditebus! Sumber lain di APBP hanya menyebut bahwa hanya pada bulan ini para produsen minyak goreng tak menebus. Di bulan sebelumnya penebusan tetap dilakukan, tapi jumlahnya jauh menurun dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Toh, APBP ternyata tetap tenang menghadapi merosotnya pembelian itu. Mengapa? Karena, kabarnya, APBP bisa menjual jatah CPO ekspor yang berharga Rp 200 itu ke produsen minyak goreng seharga Rp 300 per kg. Jadi, kapal yang seharusnya berangkat ke Eropa Barat, misalnya, di tengah jalan mendadak bisa belok ke jurusan Tanjungpriok. Situasinya jelas merupakan kebalikan dari keadaan beberapa tahun lalu. Ketika harga CPO untuk lokal lebih rendah, yang memanfaatkan situasi dengan mengekspor jatahnya adalah pabrik minyak goreng. Kemungkinan bocornya jatah CPO ekspor ke pasar lokal itu memang disebut pula oleh Ketua APBP Nukman Nasution. Kalau pihak perkebunan menjual minyak sawit tadi hanya sampai di atas kapal, maka tanggung jawab kebocoran tadi bukan berada di pundaknya. Yang jadi kekhawatiran, jangan-jangan produsen minyak goreng di sini diam-diam bertindak sebagai importir di luar negeri, dan kemudian membelokkan kapal tadi ke pabriknya di dalam negeri. Taktik semacam itu kabarnya mudah dilakukan. Desas-desus itu, dan tingginya perbedaan harga lokal dengan ekspor tadi, kalau dibiarkan jelas membuat perkebunan negara (PTP) bisa gosong. Sementara hasil yang diterima produsen CPO kecil, bagian terbesar keuntungan ternyata malah dipetik pihak lain. Karena itu, menurut Ketua APBP Nukman Nasution, "Tingkat harga CPO untuk pasar lokal itu bakal kami evaluasi." Tindakan seperti itu pernah dilakukan pemerintah, di kuartal terakhir tahun lalu, ketika harga minyak sawit untuk konsumsi lokal diturunkan sampai Rp 375 dari tingkat harga sebelumnya yang Rp 425 per kg. Harga minyak sawit di pasar London, waktu itu, pukul rata US$ 375 per ton, atau sekitar Rp 400 per kg. Anehnya, ketika harga internasional makin merosot, harga CPO untuk konsumsi lokal tadi dikembalikan ke Rp 425. "Harga itu memang merupakan harga sementara saja," kata Nukman kepada wartawan TEMPO Budi Kusumah. Akibatnya: produsen minyak goreng segan mengambil jatah mereka. Sikap semacam itu jelas dikecam pihak APBP. "Seharusnya mereka tetap konsekuen - mau mengambil jatah sekalipun situasi tidak menguntungkan mereka. Sebab, namanya juga 'kan bisnis," ujar Ketua APBP Nukman. Sebab, tingginya harga CPO lokal itu hasilnya tidak hanya dimakan pihak perkebunan, "Tapi juga untuk membantu menaikkan pendapatan petani." Sama-sama membantu petani, begitu. Ukuran para produsen minyak goreng tentu bukan soal etik bisnis semacam itu. Yang mereka pikirkan, bagaimana bisa menjual minyak goreng tidak terlalu mahal, dan bisa memperoleh keuntungan cukup tebal. Pendekatan mereka jelas ke konsumen. Jadi, apakah mereka akan impor CPO? "Risikonya terlalu berat, perkebunan negara bisa tutup," kata Muhammad Nafis Daulay, Ketua Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia. SEBAB, kalau keran impor dibuka, perkebunan hanya akan mendapat harga tunggal Rp 200 per kg untuk seluruh penjualan kelapa sawitnya - ke pasar ekspor. Sementara itu, karena pasar dunia sekarang sedang dibanjiri minyak kacang-kacangan, maka besar kemungkinan CPO tadi bakal sulit dijual. Persediaan di Deli Tank Indonesia (DTI) di Belawan bakal menggelembung. Karena itu, kebijaksanaan harga ganda (dual price), yang terlalu menyudutkan produsen minyak goreng, agaknya perlu ditinjau kembali. Usaha menetapkan harga baru jelas tidak mudah. Sebab, kalau terlalu murah, marjin antara kedua harga itu tipis, konsumsi lokal jelas bakal meledak. Dan usaha mendapatkan devisa dari ekspor CPO akan terjegal. Tahun lalu, dari ekspor CPO sekitar 400 ribu ton, APBP memperoleh devisa senilai US$ 127 ribu. Dan dari penjualan lokal 344 ribu ton seharga Rp 179 milyar. Sebelumnya devisa yang diperoleh hanya US$ 50 juta dari ekspor 182 ribu ton dan dari penjualan 506 ribu ton minyak sawit ke lokal pemerintah diperoleh Rp 300 milyar. Jika dihitung untung ruginya, memang lebih untung menjual CPO lebih banyak ke pasar lokal, di saat harga internasional sedang jatuh. Tapi konsumen minyak goreng jelas tidak ingin jadi penyumbang tetap ketidakseimbangan harga itu. Eh, yang muncul malah akan ada PHK di perkebunan negara. Eddy Herwanto Laporan Budi K. (Jakarta) & Monaris S. (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus