DI Indonesia, dalam berbagai departemen dan instansi
pemerintah, peranan Hubungan Masyarakat membuat press release
dan mengatur perjalanan wartawan ke luar kota. Suatu bukti bahwa
Humas belum dianggap bagian penting.
Sesungguhnya, menurut G.J.N. Wijnand, Kepala Bagian Penerangan
kantor Masyarakat Ekonomi Eropa (EEC) di Asia Tenggara, di
pundak Humas terletak tanggung jawab berat -- menjadi
penghubung antara kepentingan perusahaan dan khalayak ramai,
serta membina citra baik perusahaan atau instansi. Karenanya,
demikian Wijnand, Humas harus tangkas dalam menjelaskan setiap
kebijaksanaan yang ditelurkan perusahaan atau instansinya.
Konsep itu dikemukakan Wijnand dalam Kongres Humas ASEAN II
(26-29 Maret) di Hotel Indonesia, Jakarta. Sekitar 350 peserta
-- 300 di antaranya merupakan pejabat Humas berbagai perusahaan
dan instansi pemerintah di Indonesia --mendengarkannya dengan
penuh perhatian.
Tapi konsep itu belum separuhnya berjalan di Indonesia. Menurut
Wisaksono Noeradi, Ketua Penyelenggara Kongres, pemahaman
mengenai profesi kehumasan di Indonesia masih belum baik. Para
pejabat Humas, demikian Noeradi, cenderung menyelenggarakan
komunikasi satu arah dengan lebih banyak membawakan suara
pimpinannya ke masyarakat. "Sebagai petugas Humas mereka tidak
pernah memperhatikan apa yang penting buat masyarakat."
Kritik tersebut memang tak meleset. Di sejumlah instansi
pemerintah, Humas bahkan kadang tidak mengetahui persoalan yang
berkaitan dengan instansinya. Ketika terjadi perkembangan
terakhir mengenai sengketa Nissan Motors (Jepang) dengan PT
Innismo (Indonesia), misalnya, Humas Departemen Perindustrian
tidak bisa menjawab pertanyaan wartawan. Humas itu tidak
mengetahui bahwa pihak Nissan sudah menawarkan suatu formula
jalan keluar kepada Dep. Perindustrian sebagai penengah.
Pejabat Humas (Public Relations) perusahaan swasta selalu diajak
serta dalam setiap proses pengambilan keputusan. Dialah kelak
yang bertugas menjelaskan kepada publik, lewat media massa,
mengenai kebijaksanaan perusahaannya.
Di Filipina berbagai instansi pemerintah juga menerapkan cara
kerja demikian, menurut Virgilio Q. Pantaleon, Presiden
Federasi Organisasi Hums ASEAN. Humas instansi pemerintah di
Filipina, katanya, kadang turut juga memberikan suara terhadap
suatu keputusan yang akan ditelurkan.
Drs. Faisal Tamin, Kepala Humas Departemerr Dalam Negeri RI,
kelihatan sangat sibuk. Sebagai juru bicara tunggal, dia memang
selalu harus banyak bertanya kepada sesama pejabat. Tapi dia tak
diajak serta dalam proses pengambilan keputusan.
Laporan siaga yang disampaikan kepada Kapolri biasanya juga
diberikan kepada Brigjen (Polisi) Darmawan Soedarsano, Kepala
Dinas Penerangan Polri. Peristiwa penyerangan Kosekta 8606 di
Cicendo, Bandung, yang terjadi pukul 01.00 tanggal 11 Maret,
misalnya, sudah diterimanya satu jam kemudian.
Tapi karena hal itu dianggap berkaitan dengan soal rawan, Pusat
Penerangan Hankam kemudian mengambil alihnya. Bila sudah
demikian, seperti juga pada kasus kerusuhan rasial di Solo dan
Semarang, Pangkopkamtib Laksamana Sudomo kemudian bertindak
sebagai juru bicara tunggal. Dan arus informasi timbal balik
agak terganggu.
Tidak Lancar
Kenapa harus ada juru bicara tunggal? Jawabannya ialah supaya
pendapat pejabat tidak simpang siur. Dengan maksud seperti itu,
dr. Syarif Thayeb, Menteri P dan K, pernah mengeluarkan surat
edaran (1975) yang melarang pejabat di lingkungan departemennya
memberikan wawancara (keterangan) kepada wartawan. Hanya Humas
ketika itu yang boleh memberikan keterangan. Akibatnya ialah
pers sering terlambat dan tidak lancar memperoleh informasi.
Pihak Humas P dan K akhirnya merasa kewalahan menampung
pertanyaan wartawan. Secara berangsur aturan main diperlonggar.
Wartawan kemudian boleh mewawancarai pejabat eselon I dan II
asal didampingi petugas Humas. Dan kini Humas P dan K dinilai
paling baik.
Seksi Penerangan Daerah Kepolisian (Sipendak) Metro Jaya, empat
tahun lalu juga pernah menyeragamkan pelaksanaan kebijaksanaan.
Sipendak, misalnya, menyediakan sejumlah press release, sedang
wartawan diminta berhubungan dengan Sipendak saja bila hendak
memperoleh keterangan.
Cara kerja semacam itu ternyata tak menguntungkan, menyebabkan
pemberitaan tak seimbang. Jajaran kepolisian di bawah akhirnya
diperbolehkan memberikan keterangan. Maka wartawan yang gigih
bisa memperkaya lagi bahan berita sumir (press release) itu
dengan mewawancarai saksi, korban -- bahkan kalau mungkin pelaku
kejahatannya. Pengalaman itu menunjukkan bila dan bagaimana
terhambatnya arus informasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini