Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Berseragam cokelat di pos...

Petugas banpol & banpolantas sering dianggap remeh tapi karena jumlah polisi kurang, tenaga mereka amat dibutuhkan. bertugas seperti polisi, tetapi bukan polisi. (sd)

4 April 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANPOL (Bantuan Tugas Kepolisian) bertugas seperti polisi, tetapi bukan polisi. Mereka dapat menangkap orang, tetapi kemudian harus menyerahkannya pada polisi. Sebagian diperbantukan di pos-pos polisi dibawahi langsung oleh Dan. Pos. Pol Kodak Metro Jaya. Yang dioperasikan di jalanan dinamakan Banpolantas, di bawah Sat. Bantas Kodak Metro Jaya. Mereka sering diejek dengan sebutan Hansip lalulintas. Achmat S.R. (23 tahun) seorang Banpol yang bertugas di Kores 702 Tanjungpriok, Jakarta Utara, mengaku jadi Banpol karena sulit cari kerja lain. Kini ia menjadi tiang keluarga yang mengurus hidup ibu dan lima orang adiknya. Pendidikannya hanya SD. Sejak 1974 ia sudah bergaul dengan polisi, sebagai pembantu kantor. Membersihkan meja, hingga mengantarkan minuman. Atas desakan beberapa kenalan polisi, sejak 10 bulan lalu, ia memakai seragam Banpol. Sebulan terima honor Rp 21.750. Beberapa bulan yang lalu tiap bulan masih terima sabun mandi, sabun cuci, semir sepatu, susu dan alat pengkilap kuningan untuk sabuknya. Entah kenapa, sudah dua bulan ini hanya tinggal sabun, susu dan minyak goreng. "Yah, cukup juga kalau dicukup-cukupkan," ucapnya mengomentari. Achmat pernah belajar bela-diri Al Hikmah yang mempergunakan tenaga dalam. Itu bagian dari kebanggaan yang kemudian diandalkannya dalam tugasnya kini. Karena itu pula ia makin populer. Sering dimintai tolong oleh penduduk setempat dalam hubungan dengan keamanan kampung. Dan dia cukup beken di antara anak-anak berandal. Kadangkala Achmat suka membantu Polantas. Hanya saja karena ia tidak berhak menangkap, tukang becak seringkali sengaja mengejeknya. "Jika saya lewat dengan sengaja mereka masuk ke daerah bebas becak," kata Achmat. Biasanya Achmat segera menghampiri dan memberi peringatan dengan sopan. Sekali pernah, ia sedang memberi nasihat, tukang becak ngotot, lalu polisi datang, dan becak langsung diboyong ke pos terdekat. Uang Rokok Beberapa kali ia menerima ucapan terimakasih dari orang-orang yang sempat libantunya. Wujudnya sebungkus rokok atau uang untuk beli rokok. Jika ada kecelakaan ia sering dapat tugas untuk mengurus visum korban. Untuk itu tilak ada fasilitas kendaraan bermotor -- walaupun pernah dijanjikan akan dilimpahkan dari hasil tangkapan motor. Paling banter ia naik bis. "Dengan pakaian begini, saya tak pernah ditarik ongkos oleh kondektur bis. Saya rasa kondektur itu tahu bagaimana kehidupan Banpol," kata Achmat. Pernah ada pengalaman menarik. Sekitar sebulan yang lalu bersama beberapa orang polisi, Achmat memergoki pencuri minyak kelapa di Pelabuhan I Tanjungpriok. Pelakunya 15 orang, bersenjata clurit. Ia hanya bersenjata sebuah pisau (bayonet) dan pluit. "Saya tak pernah mundur," kata Achmat mengenangkan. Untung, ketika peristiwa mulai memuncak, tatkala mata dan mata sudah saling beradu pandang siap berbaku hantam, muncullah para polisi. Para bajingan itu langsung ditangkap. Ia juga pernah main kejar-kejaran dengan pencoleng yang berusaha mencuri dua kaleng minyak. Kedua pelakunya sempat ia brangus, kemudian ia serahkan kepada yang berwajib. Sayang, ia belum sempat menguji ilmu bela diri yang pernah dipelajarinya. Hanya waktu belajar, ia sempat mencoba, tak kurang dari 15 orang bergelimpangan hanya dengan mengangkat tangannya. Pukul 07.00 pagi Banpol Wartono sudah berada di Pos Polisi Taman Puring, Kebayoran Baru. Setelah melapor kepada komandan jaga, ia mengisi daftar hadir. Sesudah itu duduk di bangku panjang, menunggu perintah. Jika perintah tak ada, itu artinya ia harus berjalan mengelilingi pasar Mayestik yang tak jauh dari sana atau menyusuri jalan jalan sekitarnya. "Untuk melihat-lihat keadaan," tutur pemuda yang beral dari Tegal itu. Bila tak terjadi apa-apa di Pos, Wartono, 22 tahun, pergi ke Kosek di Blok M. Di sini pun ia harus menunggu perintah. Bila ada perintah, artinya ia harus menemani seorang atau beberapa orang anggota Polri untuk mengusut suatu perkara. "Pekerjaan kami memang hanya menunggu laporan dan pengaduan masyarakat," tuturnya, "kami hanya membantu polisi, sebab kami sendiri tidak boleh menangkap, kecuali terhadap penjahat yang tertangkap basah." Wartono sendiri mengaku belum pernah menangkap basah reorang penjahat. Dalam melaksanak tugas sehari-hari, ia hanya boleh membawa senjata pentungan kayu. Senjata tajam, maupun senata api, dilarang. Pemuda yang hanya sempat melewati bangku SMP kelas II ini semula bercita-cita ingin menjadi tentara. Karena itu ia pernah mendaftar sebagai calon prajurit di Kodam V Jaya. Tapi tak lulus. Akhirnya ia harus puas dengan kedudukan sebagai Banpol sejak tiga bulan lalu. "Saya ingin mengabdi kepada negara, mas," katanya. Karena itu meski dengan gaji Rp 10.000 sebulan, ia merasa betah sebagai Banpol -- dengan harapan suatu ketika akan diterima sebagai anggota Polri penuh. Djaiman S. (30 tahun) asal Kabumen juga mengaku jadi Banpolantas karena tidak ada kerja lain. Sebelumnya ia bekerja di pabrik kaus, bengkel, dan sederetan kerja lainnya. Kini ia merasa kedudukannya terhormat. Walaupun pendapatannya hanya Rp 21.750 -- jumlah uang yang baginya terlalu mepet. "Daripada nganggur dan tidak ada kerja lagi, lumayanlah," ungkapnya pada TEMPO. Ia tinggal di Tebet Timur Dalam. Sempat punya anak satu, tapi umur 5 tahun meninggal. Kini istrinya sering sakit-sakitan. Ini dirasanya cukup berat, karena tak ada biaya sakit buat keluarga. Namun di balik segala kekurangan itu, dengan menjadi Banpolantas pengetahuannya tentang seluk-beluk hukum lalu-lintas bertambah. Dan pergaulannya dengan para polisi membawa kebanggaan. Sejak pukul 06.00 pagi, Djaiman harus sudah melapor ke Satlantas Kores Jakarta Pusat di Jalan Kramat Raya. Penugasannya tergantung kebutuhan pada hari itu: ke Tanah Abang, ke prapatan Jalan Agus Salim, atau prapatan Kebon Sirih. Dengan senjata sempritan, Banpolantas seperti Djaiman akan selalu terlihat di pojok perempatan. Pluit di mulutnya hampir tak pernah berhenti berbunyi, sementara tangan Djaiman tak putus-putus memberi isyarat pada kendaraan berjalan cepat sesuai dengan petunjuk rambu lalu-lintas. "Sebab kalau jalan macet, saya bisa susah," kata Djaiman. Apalagi, tambahnya, kalau lampu lalu-lintas mati. "Saya harus berdiri di tengah perempatan, di tengah kendaraan yang berusaha saling mendahului," ungkapnya. Nonstop Ketika bertugas di Tanah Abang, Jakarta Pusat, ia pernah dapat pengalaman menarik. Waktu itu lalu-lintas macet. Ia mengambil kebijaksanaan, membuang satu jalur ke arah lain. Semuanya menurut, kecuali sebuah Bajaj. Dalam keadaan panas dan penuh emosi, Djaiman kemudian menghunus pisau di pinggangnya. Pengemudi Bajaj tak mau kalah, membuka dada dan menantang untuk ditusuk. Djaiman sadar lalu memasukkan belati ke sarungnya. Ia menghampiri pengemudi itu dan menjelaskan latar belakang gertakannya. Bahkan ia minta maaf. Di saat yang menegangkan itu muncullah petugas DLLAJR. Mereka membiarkan keadaan yang tegang itu. "Memang seperti tak ada kerjasama, Mas," kata Djaiman dengan polos. Djaiman berdinas pukul 06.00 hingga pukul 14.00. Kalau giliran sore, dari pukul 14.00 hingga pukul 20.00. Sebagaimana Achmat, ia juga tak dapat motor, sehingga ke mana-mana harus pakai bis. "Jika ditarik bayaran oleh kondektur, jika punya saya bayar, jika tidak saya minta maaf," katanya polos. Ia mengaku dalam bertugas lebih banyak memberi peringatan dengan halus. "Prinsip saya mendidik, mengabdi dan mengajar," ujarnya. K. Kusnady (35 tahun) punya riwayat lain. Lelaki asal Bogor ini bermula adalah pegawai kelurahan. Kemudian menanjak sampai jadi pegawai Kecamatan Pasar Rebo. Pada suatu hari di tahun 1977, ada pendaftaran untuk penerimaan sebagai anggota polisi. Cepat ditanggapinya. Entah karena pengumuman yang salah, atau dia sendiri yang kurang awas, ternyata itu untuk menjadi Banpol. Akhirnya daripada menganggur dan tak ada kerja lain, ia teruskan. Dalam bertugas Kusnady juga punya pengalaman cukup menarik. Suatu ketika ada mobil yang jalan seenaknya memutari kendaraan lain. Langsung ia hentikan. Ternyata yang nyopir Dirjen Perhubungan Darat. Rupanya Dirjen hendak mengujinya dengan menanyakan beberapa pasal yang ada kaitannya dengan KUHP. "Untung, saya juga mempelajarinya," kata Banpol ini. Akhirnya ia berhasil meyakinkan Dirjen dan memperingatkannya. Ia diminta mencatat nomor mobil dan diperbolehkan untuk menangkap jika mobil itu ketahuan mengadakan pelanggaran lagi. Sebagai gongnya, Kusnady kemudian diajak makan bersama di restoran. Tapi Kusnady menolak, sebab masih ada tugas. "Yah, saya jadi bisa berkenalan dengan pejabat itu. Juga pejabat-pejabat lain. Karena itu, jika ada perkawinan, saya bisa ikut masuk rumah," kata Kusnady dengan bangga. "Saya juga bisa masuk istana dalam peringatan hari-hari besar," sambungnya lebih lanjut. Banpol tidak hanya mengurus soal-soal dinas. Seringkali juga dapat tugas tambahan. Kastam E., 26 tahun, misalnya, yang bertugas di Pos Polisi Blok M, Jakarta Selatan. Pada suatu ketika ia tampak menuju warung untuk membeli makanan buat polisi di dalam pos. Tapi tugas tambahan ini cukup menguntungkan. "Honor yang hanya Rp 10 ribu tidak mungkin untuk hidup sebulan. Jika ada suruhan semacam itu bisa makan bersama, tidak usah beli," katanya polos. Minder Kastam sudah setahun jadi Banpol. Memakai peci dan baju cokelat muda, dengan celana cokelat tua. Tidak pakai selempang seperti Banpolantas, walaupun warna baju sama -- Banpolantas berpeci putih. Ia dipatok di pos selama 24 jam nonstop. Sehari masuk, sehari libur. "Tak mengenal hari Minggu dan hari besar." kata Kastam seperti mengadu. "Sebenarnya saya minder jadi Banpol," kata Kastam, "sebab pandangan masyarakat terhadap Banpol masih rendah. Kami masih dianggap sebagai penganggur. Padahal kerjanya juga sulit." Apa yang dikatakannya, memang kenyataan. Dalam peristiwa perkelahian antara murid-murid SMA VI lawan STM Penerbangan, beberapa bulan yang lalu, ia ikut melerai. Tetapi ia hanya menjadi bulan-bulanan ejekan dan cemoohan anak-anak yang berkelahi. "Jadi Banpol harus tebal mata, telinga dan hidung, Mas," katanya. "Entah nanti, apakah saya akan jadi Banpol terus atau tidak. Saya belum tahu." Menurut Letkol Soediyono, Dan Sat. Binmas Kodak VII Metro Jaya, secara historis Banpol sudah ada sejak zaman Hindia Belanda. Cuma istilah Banpol memang baru -- berdasar SKEP no. 96/ X/80 Kodak Metro Jaya. "Masalahnya juga karena tenaga polisi masih amat kurang," ujarnya pada TEMPO. Jumlah polisi di Jakarta kini sekitar 9 ribu. Yang dibutuhkan idealnya adalah 12.500. Banpol sendiri idealnya 1200 orang untuk 100 buah pos -- jumlah yang ada sekarang sudah sekitar 1000 orang. Sedang untuk Banpolantas yang diperlukan hanya dua kompi, sekitar 360 orang. "Gaji dan honor tidak ada. Yang ada hanya berbentuk swadaya masyarakat. Untuk menggaji mereka tidak ada dasar hukumnya," kata Soedi ono yang mengurus masalah pembinaan Banpol. Sebelum bertugas para anggota Banpolantas diberi pendidikan baris-berbaris, bela diri dan peraturan-peraturan lalu-lintas selama 45 hari. Sedangkan Banpol, hanya dididik baris-berbaris dan bela diri pada hari-hari tertentu di Kores tempat ia bertugas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus