BANPOL (Bantuan Tugas Kepolisian) bertugas seperti polisi,
tetapi bukan polisi. Mereka dapat menangkap orang, tetapi
kemudian harus menyerahkannya pada polisi. Sebagian
diperbantukan di pos-pos polisi dibawahi langsung oleh Dan.
Pos. Pol Kodak Metro Jaya. Yang dioperasikan di jalanan
dinamakan Banpolantas, di bawah Sat. Bantas Kodak Metro Jaya.
Mereka sering diejek dengan sebutan Hansip lalulintas.
Achmat S.R. (23 tahun) seorang Banpol yang bertugas di Kores 702
Tanjungpriok, Jakarta Utara, mengaku jadi Banpol karena sulit
cari kerja lain. Kini ia menjadi tiang keluarga yang mengurus
hidup ibu dan lima orang adiknya. Pendidikannya hanya SD. Sejak
1974 ia sudah bergaul dengan polisi, sebagai pembantu kantor.
Membersihkan meja, hingga mengantarkan minuman.
Atas desakan beberapa kenalan polisi, sejak 10 bulan lalu, ia
memakai seragam Banpol. Sebulan terima honor Rp 21.750. Beberapa
bulan yang lalu tiap bulan masih terima sabun mandi, sabun cuci,
semir sepatu, susu dan alat pengkilap kuningan untuk sabuknya.
Entah kenapa, sudah dua bulan ini hanya tinggal sabun, susu dan
minyak goreng. "Yah, cukup juga kalau dicukup-cukupkan,"
ucapnya mengomentari.
Achmat pernah belajar bela-diri Al Hikmah yang mempergunakan
tenaga dalam. Itu bagian dari kebanggaan yang kemudian
diandalkannya dalam tugasnya kini. Karena itu pula ia makin
populer. Sering dimintai tolong oleh penduduk setempat dalam
hubungan dengan keamanan kampung. Dan dia cukup beken di antara
anak-anak berandal.
Kadangkala Achmat suka membantu Polantas. Hanya saja karena ia
tidak berhak menangkap, tukang becak seringkali sengaja
mengejeknya. "Jika saya lewat dengan sengaja mereka masuk ke
daerah bebas becak," kata Achmat. Biasanya Achmat segera
menghampiri dan memberi peringatan dengan sopan. Sekali pernah,
ia sedang memberi nasihat, tukang becak ngotot, lalu polisi
datang, dan becak langsung diboyong ke pos terdekat.
Uang Rokok
Beberapa kali ia menerima ucapan terimakasih dari orang-orang
yang sempat libantunya. Wujudnya sebungkus rokok atau uang
untuk beli rokok. Jika ada kecelakaan ia sering dapat tugas
untuk mengurus visum korban. Untuk itu tilak ada fasilitas
kendaraan bermotor -- walaupun pernah dijanjikan akan
dilimpahkan dari hasil tangkapan motor. Paling banter ia naik
bis. "Dengan pakaian begini, saya tak pernah ditarik ongkos oleh
kondektur bis. Saya rasa kondektur itu tahu bagaimana kehidupan
Banpol," kata Achmat.
Pernah ada pengalaman menarik. Sekitar sebulan yang lalu bersama
beberapa orang polisi, Achmat memergoki pencuri minyak kelapa di
Pelabuhan I Tanjungpriok. Pelakunya 15 orang, bersenjata
clurit. Ia hanya bersenjata sebuah pisau (bayonet) dan pluit.
"Saya tak pernah mundur," kata Achmat mengenangkan. Untung,
ketika peristiwa mulai memuncak, tatkala mata dan mata sudah
saling beradu pandang siap berbaku hantam, muncullah para
polisi. Para bajingan itu langsung ditangkap. Ia juga pernah
main kejar-kejaran dengan pencoleng yang berusaha mencuri dua
kaleng minyak. Kedua pelakunya sempat ia brangus, kemudian ia
serahkan kepada yang berwajib.
Sayang, ia belum sempat menguji ilmu bela diri yang pernah
dipelajarinya. Hanya waktu belajar, ia sempat mencoba, tak
kurang dari 15 orang bergelimpangan hanya dengan mengangkat
tangannya.
Pukul 07.00 pagi Banpol Wartono sudah berada di Pos Polisi Taman
Puring, Kebayoran Baru. Setelah melapor kepada komandan jaga, ia
mengisi daftar hadir. Sesudah itu duduk di bangku panjang,
menunggu perintah. Jika perintah tak ada, itu artinya ia harus
berjalan mengelilingi pasar Mayestik yang tak jauh dari sana
atau menyusuri jalan jalan sekitarnya. "Untuk melihat-lihat
keadaan," tutur pemuda yang beral dari Tegal itu.
Bila tak terjadi apa-apa di Pos, Wartono, 22 tahun, pergi ke
Kosek di Blok M. Di sini pun ia harus menunggu perintah. Bila
ada perintah, artinya ia harus menemani seorang atau beberapa
orang anggota Polri untuk mengusut suatu perkara. "Pekerjaan
kami memang hanya menunggu laporan dan pengaduan masyarakat,"
tuturnya, "kami hanya membantu polisi, sebab kami sendiri tidak
boleh menangkap, kecuali terhadap penjahat yang tertangkap
basah."
Wartono sendiri mengaku belum pernah menangkap basah reorang
penjahat. Dalam melaksanak tugas sehari-hari, ia hanya boleh
membawa senjata pentungan kayu. Senjata tajam, maupun senata
api, dilarang.
Pemuda yang hanya sempat melewati bangku SMP kelas II ini semula
bercita-cita ingin menjadi tentara. Karena itu ia pernah
mendaftar sebagai calon prajurit di Kodam V Jaya. Tapi tak
lulus. Akhirnya ia harus puas dengan kedudukan sebagai Banpol
sejak tiga bulan lalu. "Saya ingin mengabdi kepada negara, mas,"
katanya. Karena itu meski dengan gaji Rp 10.000 sebulan, ia
merasa betah sebagai Banpol -- dengan harapan suatu ketika akan
diterima sebagai anggota Polri penuh.
Djaiman S. (30 tahun) asal Kabumen juga mengaku jadi Banpolantas
karena tidak ada kerja lain. Sebelumnya ia bekerja di pabrik
kaus, bengkel, dan sederetan kerja lainnya. Kini ia merasa
kedudukannya terhormat. Walaupun pendapatannya hanya Rp 21.750
-- jumlah uang yang baginya terlalu mepet. "Daripada nganggur
dan tidak ada kerja lagi, lumayanlah," ungkapnya pada TEMPO.
Ia tinggal di Tebet Timur Dalam. Sempat punya anak satu, tapi
umur 5 tahun meninggal. Kini istrinya sering sakit-sakitan. Ini
dirasanya cukup berat, karena tak ada biaya sakit buat keluarga.
Namun di balik segala kekurangan itu, dengan menjadi Banpolantas
pengetahuannya tentang seluk-beluk hukum lalu-lintas bertambah.
Dan pergaulannya dengan para polisi membawa kebanggaan.
Sejak pukul 06.00 pagi, Djaiman harus sudah melapor ke Satlantas
Kores Jakarta Pusat di Jalan Kramat Raya. Penugasannya
tergantung kebutuhan pada hari itu: ke Tanah Abang, ke prapatan
Jalan Agus Salim, atau prapatan Kebon Sirih. Dengan senjata
sempritan, Banpolantas seperti Djaiman akan selalu terlihat di
pojok perempatan. Pluit di mulutnya hampir tak pernah berhenti
berbunyi, sementara tangan Djaiman tak putus-putus memberi
isyarat pada kendaraan berjalan cepat sesuai dengan petunjuk
rambu lalu-lintas. "Sebab kalau jalan macet, saya bisa susah,"
kata Djaiman. Apalagi, tambahnya, kalau lampu lalu-lintas mati.
"Saya harus berdiri di tengah perempatan, di tengah kendaraan
yang berusaha saling mendahului," ungkapnya.
Nonstop
Ketika bertugas di Tanah Abang, Jakarta Pusat, ia pernah dapat
pengalaman menarik. Waktu itu lalu-lintas macet. Ia mengambil
kebijaksanaan, membuang satu jalur ke arah lain. Semuanya
menurut, kecuali sebuah Bajaj. Dalam keadaan panas dan penuh
emosi, Djaiman kemudian menghunus pisau di pinggangnya.
Pengemudi Bajaj tak mau kalah, membuka dada dan menantang untuk
ditusuk. Djaiman sadar lalu memasukkan belati ke sarungnya.
Ia menghampiri pengemudi itu dan menjelaskan latar belakang
gertakannya. Bahkan ia minta maaf. Di saat yang menegangkan
itu muncullah petugas DLLAJR. Mereka membiarkan keadaan yang
tegang itu. "Memang seperti tak ada kerjasama, Mas," kata
Djaiman dengan polos.
Djaiman berdinas pukul 06.00 hingga pukul 14.00. Kalau giliran
sore, dari pukul 14.00 hingga pukul 20.00. Sebagaimana Achmat,
ia juga tak dapat motor, sehingga ke mana-mana harus pakai bis.
"Jika ditarik bayaran oleh kondektur, jika punya saya bayar,
jika tidak saya minta maaf," katanya polos. Ia mengaku dalam
bertugas lebih banyak memberi peringatan dengan halus. "Prinsip
saya mendidik, mengabdi dan mengajar," ujarnya.
K. Kusnady (35 tahun) punya riwayat lain. Lelaki asal Bogor ini
bermula adalah pegawai kelurahan. Kemudian menanjak sampai jadi
pegawai Kecamatan Pasar Rebo. Pada suatu hari di tahun 1977, ada
pendaftaran untuk penerimaan sebagai anggota polisi. Cepat
ditanggapinya. Entah karena pengumuman yang salah, atau dia
sendiri yang kurang awas, ternyata itu untuk menjadi Banpol.
Akhirnya daripada menganggur dan tak ada kerja lain, ia
teruskan.
Dalam bertugas Kusnady juga punya pengalaman cukup menarik.
Suatu ketika ada mobil yang jalan seenaknya memutari kendaraan
lain. Langsung ia hentikan. Ternyata yang nyopir Dirjen
Perhubungan Darat. Rupanya Dirjen hendak mengujinya dengan
menanyakan beberapa pasal yang ada kaitannya dengan KUHP.
"Untung, saya juga mempelajarinya," kata Banpol ini.
Akhirnya ia berhasil meyakinkan Dirjen dan memperingatkannya. Ia
diminta mencatat nomor mobil dan diperbolehkan untuk menangkap
jika mobil itu ketahuan mengadakan pelanggaran lagi. Sebagai
gongnya, Kusnady kemudian diajak makan bersama di restoran. Tapi
Kusnady menolak, sebab masih ada tugas.
"Yah, saya jadi bisa berkenalan dengan pejabat itu. Juga
pejabat-pejabat lain. Karena itu, jika ada perkawinan, saya bisa
ikut masuk rumah," kata Kusnady dengan bangga. "Saya juga bisa
masuk istana dalam peringatan hari-hari besar," sambungnya
lebih lanjut.
Banpol tidak hanya mengurus soal-soal dinas. Seringkali juga
dapat tugas tambahan. Kastam E., 26 tahun, misalnya, yang
bertugas di Pos Polisi Blok M, Jakarta Selatan. Pada suatu
ketika ia tampak menuju warung untuk membeli makanan buat polisi
di dalam pos. Tapi tugas tambahan ini cukup menguntungkan.
"Honor yang hanya Rp 10 ribu tidak mungkin untuk hidup sebulan.
Jika ada suruhan semacam itu bisa makan bersama, tidak usah
beli," katanya polos.
Minder
Kastam sudah setahun jadi Banpol. Memakai peci dan baju
cokelat muda, dengan celana cokelat tua. Tidak pakai selempang
seperti Banpolantas, walaupun warna baju sama -- Banpolantas
berpeci putih. Ia dipatok di pos selama 24 jam nonstop. Sehari
masuk, sehari libur. "Tak mengenal hari Minggu dan hari besar."
kata Kastam seperti mengadu.
"Sebenarnya saya minder jadi Banpol," kata Kastam, "sebab
pandangan masyarakat terhadap Banpol masih rendah. Kami masih
dianggap sebagai penganggur. Padahal kerjanya juga sulit." Apa
yang dikatakannya, memang kenyataan. Dalam peristiwa perkelahian
antara murid-murid SMA VI lawan STM Penerbangan, beberapa bulan
yang lalu, ia ikut melerai. Tetapi ia hanya menjadi
bulan-bulanan ejekan dan cemoohan anak-anak yang berkelahi.
"Jadi Banpol harus tebal mata, telinga dan hidung, Mas,"
katanya. "Entah nanti, apakah saya akan jadi Banpol terus atau
tidak. Saya belum tahu."
Menurut Letkol Soediyono, Dan Sat. Binmas Kodak VII Metro Jaya,
secara historis Banpol sudah ada sejak zaman Hindia Belanda.
Cuma istilah Banpol memang baru -- berdasar SKEP no. 96/ X/80
Kodak Metro Jaya. "Masalahnya juga karena tenaga polisi masih
amat kurang," ujarnya pada TEMPO.
Jumlah polisi di Jakarta kini sekitar 9 ribu. Yang dibutuhkan
idealnya adalah 12.500. Banpol sendiri idealnya 1200 orang untuk
100 buah pos -- jumlah yang ada sekarang sudah sekitar 1000
orang. Sedang untuk Banpolantas yang diperlukan hanya dua
kompi, sekitar 360 orang. "Gaji dan honor tidak ada. Yang ada
hanya berbentuk swadaya masyarakat. Untuk menggaji mereka tidak
ada dasar hukumnya," kata Soedi ono yang mengurus masalah
pembinaan Banpol.
Sebelum bertugas para anggota Banpolantas diberi pendidikan
baris-berbaris, bela diri dan peraturan-peraturan lalu-lintas
selama 45 hari. Sedangkan Banpol, hanya dididik baris-berbaris
dan bela diri pada hari-hari tertentu di Kores tempat ia
bertugas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini