PERTAMINA akhirnya memilih solusi win-win untuk menyelesaikan kontrak ladang minyak dan gas Cepu. Mereka menolak memperpanjang kontrak bantuan teknis (technical assistance contract/TAC) ExxonMobil Oil Indonesia di sana, yang akan berakhir pada tahun 2010. Sebelumnya, ExxonMobil minta agar kontrak itu diulur hingga 2030. Menurut Deputi Direktur Hulu Pertamina, Eteng A. Salam, secara komersial kontrak bantuan teknis tidak menguntungkan Pertamina dan pemerintah. Dengan kontrak tersebut, pemerintah hanya mendapat bagian 65 persen, sisanya dibagi dua antara ExxonMobil (25 persen) dan Pertamina (10 persen). "Tahun depan Pertamina akan berubah menjadi persero. Kita mesti menghitung untung ruginya memperpanjang atau tidak memperpanjang kontrak ExxonMobil," kata Eteng kepada pers Rabu pekan lalu.
Kendati demikian, Pertamina tak akan mengoperasikan ladang itu sendiri, ExxonMobil tak akan ditinggalkan begitu saja. Salah satu alasannya karena pertimbangan komersial. "Kalau tidak diberikan kepada Exxon, pengembangan lapangan akan tertunda hingga 2010," ujar Eteng, yang membantah ada tekanan dari pemerintah dalam keputusan tersebut. Menurut Eteng, Pertamina dan ExxonMobil akan mengkaji kemungkinan menempuh model kerja sama yang lain seperti dengan membentuk perusahaan patungan dengan kepemilikan 50:50. Namun keputusan Pertamina untuk tidak memperpanjang kontrak Exxon itu diakui Eteng belum disetujui dewan komisaris pemerintah untuk Pertamina.
Sebelumnya, dewan komisaris itu sempat menyetujui perpanjangan kontrak, tapi ditolak oleh Menteri Negara Perencanaan Pembangunan, Kwik Kian Gie. Menurut Kwik—dan disetujui oleh Ketua MPR Amien Rais—dengan cadangan minyak sampai 735 juta barel dan gas 5,9 triliun kaki kubik, akan jauh lebih menguntungkan jika Pertamina sendiri yang mengelolanya. Dalam hitungan Kwik, nilai minyak mentah di Cepu mencapai US$ 15 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini