Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPANJANG pekan lalu merupakan hari yang padat bagi Dwimawan Heru Santoso. Assistant Vice President Corporate Communication PT Jasa Marga Tbk ini sibuk menggelar rapat persiapan peluncuran kartu e-toll baru. "Besok rapat persiapan terakhir," kata Dwimawan, Kamis pekan lalu.
Bertempat di pintu jalan tol Jatiasih, Bekasi, PT Jalantol Lingkarluar Jakarta—anak usaha Jasa Marga—akan meluncurkan kartu E-Toll Himpunan Bank-bank Milik Negara (Himbara) pada Senin pekan ini. Peluncuran E-Toll Himbara merupakan implementasi nota kerja sama (MOU) yang diteken PT Jasa Marga dengan empat bank badan usaha milik negara pada 31 Agustus tahun lalu. Keempat bank pelat merah itu adalah Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia, Bank Rakyat Indonesia, dan Bank Tabungan Negara.
Dengan MOU itu, semua produk kartu elektronik milik bank Himbara bisa digunakan untuk pembayaran di gardu tol otomatis milik Jasa Marga. Kartu ini juga bisa digunakan untuk membayar parkir, moda transportasi Transjakarta, dan kereta komuter serta berbelanja di toko retail dan puluhan ribu merchant yang bekerja sama dengan empat bank.
Masuknya tiga bank BUMN selain Mandiri itu diyakini akan meningkatkan e-payment di jalan tol. Kenaikannya paling tidak dua kali lipat. Kartu yang diterbitkan Mandiri e-Money saja per Desember 2015 mencapai 6,2 juta. Jumlah itu akan berlipat bila ditambah BRIZZI BRI sebanyak 4,2 juta kartu dan TapCash BNI 300 ribu kartu.
Menurut catatan Jasa Marga, penggunaan e-payment di seluruh ruas jalan tol baru 12 persen dari total transaksi. Direktur Consumer BNI Anggoro Eko Cahyono mengatakan kartu E-Toll Himbara bisa digunakan untuk 280 pintu jalan tol. Targetnya, sepertiga dari 1.100 pintu jalan tol Jasa Marga bisa diakses otomatis pada akhir Maret ini. "Kami usahakan menjelang Lebaran nanti sebagian besar pintu tol sudah bisa digunakan," ujar Anggoro seusai rapat umum pemegang saham BNI, Kamis pekan lalu.
Saat penandatanganan MOU pada Agustus tahun lalu, Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno mengatakan kartu "prabayar" E-Toll Himbara ini merupakan embrio untuk membangun transaksi nontunai yang lebih luas. Termasuk, kata dia, penyediaan anjungan tunai mandiri, pengembangan pembayaran nontunai berbagai moda transportasi, dan gerai perbelanjaan.
Semua kartu prabayar Himbara ini nantinya bisa dipakai di satu alat. Isi kartu prabayar tidak hanya di bank penerbit, tapi juga bisa di bank lain sehingga terjadi transaksi silang. "Kartu prabayar ini jembatan menuju NPG (national payment gateway)," ucap Anggoro.
Salah satu lompatan besar lain Himbara adalah penggabungan ATM. Menurut Anggoro, penggabungan ATM ini merupakan langkah "pragmatis" bank-bank pelat merah mengimplementasikan NPG, tanpa harus menunggu aba-aba dari regulator.
Saat penggabungan ATM itulah muncul kebutuhan mengakuisisi switching company, perusahaan yang memiliki sistem untuk meneruskan (switching/routing) transaksi alat pembayaran. Dari situ muncul ide tidak hanya menggabungkan ATM, tapi juga mobile banking dan Internet banking—termasuk kartu debit dan kartu kredit—hingga mewujudkan NPG. "Potensinya besar sekali," katanya.
Selama ini, menurut Anggoro, pembahasan pembentukan NPG dilakukan oleh Bank Indonesia bersama Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI). Menurut dia, pembahasan gerbang pembayaran nasional cukup rumit karena melibatkan banyak pelaku. Bank BUMN dan bank swasta, juga lembaga penerbit kartu, merupakan anggota ASPI. Lembaga ini berdiri sejak 2010.
Langkah BUMN meluncurkan E-Toll Himbara merupakan bagian dari strategi bisnis. Himbara pasang kuda-kuda lebih awal agar posisi bank pelat merah lebih kuat saat gerbang pembayaran nasional terbentuk. Sebab, yang dihadapi raksasa-raksasa keuangan dunia. Inisiatif Kementerian BUMN dan Himbara ini diyakini turut mendorong percepatan pembentukan NPG.
Siapa switching company yang akan diakuisisi BUMN? Anggoro mengatakan belum diputuskan. Menurut dia, ada beberapa opsi yang sedang ditimang-timang. Beberapa calon antara lain PT Artajasa Pembayaran Elektronis (pengelola ATM Bersama) dan PT Rintis Sejahtera (pengelola ATM Prima).
Direktur Customer Banking PT Bank Mandiri Hery Gunardi mengatakan sudah saatnya Indonesia memiliki gerbang pembayaran nasional karena transaksi pembayaran akan lebih efisien. Selama ini kartu debit dan kredit Bank Mandiri harus membayar biaya ke Visa dan MasterCard. "Lumayan kita bayar ke mereka," ujar Hery, Kamis pekan lalu.
Saat ini transaksi kartu debit dan kredit di Tanah Air telah mencapai ribuan triliun rupiah. Menurut data Bank Indonesia, volume transaksi kartu kredit pada tahun lalu mencapai 259 juta. Dengan rincian: transaksi gesek tunai Rp 6 triliun dan belanja Rp 252 triliun. Adapun transaksi kartu debit mencapai Rp 4.500 triliun, dengan volume 4,2 miliar transaksi. Sebanyak 2,6 miliar transaksi—senilai Rp 1.900 triliun—berupa debit tunai.
Nilai fantastis itu yang mendorong agar transaksi pembayaran dari nasabah bank lokal dilakukan di dalam negeri. "Sekarang ironis, transaksi di dalam negeri, menggunakan infrastruktur dalam negeri, tapi harus melalui luar negeri," kata Ketua Badan Pengawas ASPI Sigit Pramono, Selasa pekan lalu.
Selama ini Bank Indonesia mengurus kliring dan real-time gross settlement antarbank. Adapun perusahaan jaringan bersama (Artajasa, Rintis, dan Alto) hanya dapat mengurus kliring antarbank. Masalahnya, Rintis dan Alto tidak dapat melakukan settlement atas transaksi pembayaran karena hanya bisa dilakukan oleh Visa dan MasterCard. Karena itu, keberadaan perusahaan switching penting untuk mengurus settlement transaksi pembayaran lokal di perbankan Indonesia.
Sigit mengatakan pembahasan NPG sudah memasuki tahap akhir. Nantinya akan ada satu platform pembayaran yang dikelola ASPI, yang ditargetkan rampung tahun ini. "Pembahasannya panjang karena memang tidak mudah dan harus menggabungkan banyak kepentingan," ujar Sigit. Ia mengatakan banyak yang sudah telanjur berinvestasi harus diakomodasi.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Ronald Waas mengatakan kartu kredit nasional perlu dibuat karena 90-95 persen transaksi terjadi di Tanah Air. "Hanya 5-10 persen transaksi menggunakan payment gateway internasional," katanya. Keberadaan BCA Card, sebagai merek lokal,belum bisa menjawab tantangan ini karena jumlahnya masih terbatas.
Terkait dengan rencana Himbara menginisiasi sistem pembayaran, Ronald menyebutkan bank sentral hanya akan mengatur tata kelolanya. Bank Indonesia tidak akan masuk ke urusan bisnis karena itu menjadi urusan masing-masing bank.
Presiden Direktur PT Aplikasi Lintasarta Aryo Damar mengatakan Bank Indonesia, sebagai regulator, perlu mengontrol sistem pembayaran nasional. Dengan gerbang pembayaran nasional, yang berada di depan bukan lagi Visa dan MasterCard, melainkan Bank Indonesia. "Visa dan MasterCard hanya satu dari banyak penyelenggara," ujar Aryo.
Agus Supriyanto, Ayu Prima Sandi, Akbar Tri Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo