Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Buntut Perseteruan di Bentoel |
MENJADI pemilik perusahaan ternyata tak berarti bisa sewaktu-waktu membongkar-pasang direksi sesuka hati. Ini pengalaman PT Bentoel Internasional Investama Tbk. (Bini), pemegang 75 persen saham pabrik rokok PT Bentoel Prima. Keinginan Bini merombak susunan direksi kandas sudah. Pengadilan Negeri (PN) Malang menolak permohonan Bini menggelar Rapat Umum Luar Biasa Pemegang Saham (RULBPS) Bentoel Prima. Atas putusan itu, Bini akan melakukan upaya hukum lanjutan. Namun, Direktur Utama Bentoel Prima, Darjoto Setyawan, mengatakan putusan PN itu bersifat final atau sudah berketetapan hukum.
Perseteruan antara pemegang saham mayoritas Bentoel Prima, jajaran direksi, dan karyawannya bermula dari keinginan Bini menggelar RULBPS guna merombak susunan direksi. Bagi pemegang saham mayoritas, keinginan itu wajar saja karena mereka ingin menempatkan orang-orangnya di Bentoel Prima.
Keinginan itu ditolak jajaran direksi dan karyawan Bentoel Prima karena dianggap melanggar kesepakatan awal pada 10 Desember 1999-dalam kesepakatan itu, Bini berjanji tidak akan mengganti jajaran direksi. Alasan pergantian juga dianggap tidak masuk akal.
Penolakan direksi dan karyawan itu membuat Bini mencari jalan lain, meminta penetapan pengadilan, karena memang hanya itu cara yang dimungkinkan melalui anggaran dasar. Perjanjian bahwa Bini tidak akan mengurangi direksi sampai batas waktu tak tertentu dijadikan Ketua PN Malang I Gede Sumitra sebagai dasar untuk menolak permintaan RULBPS. Juga alasan Bini bahwa direksi tidak berhasil meningkatkan kinerja Bentoel Prima dianggap mengada-ada. Sebab, pada kuartal pertama 2000, penjualan Bentoel Prima mencapai Rp 412,7 miliar dengan laba bersih Rp 54,7 miliar.
Akrobatik Salim |
AMBIL dari saku kiri, masuk kantong kanan. Inilah yang baru saja dilakukan Salim. Senin pekan lalu, rapat umum pemegang saham First Pacific, perusahaan berbasis di Hong Kong yang antara lain dimiliki Salim, memutuskan untuk membeli delapan persen saham Salim di Indofood Sukses Makmur.
Pengalihan saham di Indofood ke First Pacific, yang hanya memindahkan dari kantong kiri ke kantong kanan, agaknya upaya Salim untuk mencegah pemerintah mengobok-obok Indofood, yang kini menjadi mesin uang Grup Salim, setelah BCA dikuasai pemerintah.
Pemerintah di bawah Menteri Koordinator Perekonomian Rizal Ramli tengah mengejar aset-aset Salim guna menutupi kekurangan utangnya di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Sebanyak 107 perusahaan Salim yang tergabung dalam Holdiko Perkasa yang kini dikuasai BPPN, yang semula dinilai Rp 53 triliun, ternyata belakangan menyusut menjadi Rp 20 triliun. Untuk menutupi kekurangan Rp 33 triliun, pemerintah sudah menyatakan akan mengejar aset-aset "gemuk" Salim lainnya.
Salim bertindak cepat melakukan akrobatik, menyelamatkan aset emasnya di Indonesia, dengan memindahkan kepemilikannya ke perusahaan di luar negeri yang masih miliknya juga. Dengan demikian, nantinya organisasi usaha Salim di Indonesia kemungkinan akan dijalankan dari Hong Kong. Upaya selanjutnya, melalui Indofood, Salim diduga akan mengakuisisi aset-aset Salim yang kini ada di BPPN. Upaya konsolidasi ini tentu saja akan memberatkan pekerjaan pemerintah dalam mengejar aset-aset "gemuk" Salim guna menutupi kekurangan utangnya di BPPN.
Dua Bank Masuk Kotak |
DUA bank, Bank Prasidha Utama dan Bank Ratu, dibekukan kegiatannya sejak 20 Oktober 2000. Pembekuan itu berkaitan dengan capital adequacy ratio (CAR-rasio kecukupan modal) dua bank tersebut yang tidak memenuhi batas minimum 4 persen. Kedua bank itu kini menjadi tanggung jawab Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), yang akan mengurus penyelesaian kewajiban bank kepada nasabah, hak-hak karyawan, dan pengembalian uang negara.
Bank Ratu, sejak Mei lalu, sebenarnya sudah masuk dalam pengawasan khusus Bank Indonesia karena rasio kecukupan modalnya melorot hingga di bawah 4 persen dengan kredit macet lebih dari 75 persen. Per Juni 2000, CAR Bank Ratu, yang pernah masuk kategori A, negatif 1,06 persen dengan kerugian mencapai Rp 5,15 miliar dan pendarahan setiap bulannya Rp 1,8 miliar.
Sementara itu, Bank Prasidha Utama, yang kepemilikan saham terbesarnya (16,61 persen) dipegang Oesman Soedargo, per Juni 2000 sebenarnya masih memiliki CAR 19,79 persen dengan aset Rp 226,575 miliar. Anjloknya CAR Bank Prasidha Utama itu karena tagihan kekurangan bunga yang belum dibayar BPPN.
Pemilik Bank Ratu sebenarnya sudah berusaha menyelamatkan banknya dengan menjual Bank Ratu ke Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI). Ketika sampai batas waktu 12 Oktober GKBI tak kunjung menyetor modal tambahan, BI pun menutup bank tersebut.
Direktur Pengawasan Bank, Siti Ch. Fadjrijah, dalam siaran persnya mengatakan bahwa kedua bank tersebut sebenarnya telah diberi waktu yang cukup untuk melakukan perbaikan, termasuk perpanjangan waktu satu kali dengan batas waktu 19 Oktober 2000. Karena kondisi keuangannya terus memburuk dan tidak berhasil menambah modal, BI memutuskan menutup dua bank tersebut sejak 20 Oktober 2000 dan menyerahkannya ke BPPN. Segala penyelesaian dan kewajiban kedua bank itu menjadi wewenang dan tanggung jawab BPPN.
Eksportir Maju Terus |
ADA kabar baik yang datang dari para eksportir. Pameran produk ekspor yang berlangsung pada 18-22 Oktober di Pekan Raya Jakarta (PRJ), Kemayoran, mencatat transaksi sebesar US$ 18,5 juta. Gusmardi Gustami, Ketua Badan Pengembang Ekspor Nasional (BPEN), optimistis target US$ 100 juta transaksi dalam pameran ini akan tercapai. Sebab, pembeli (buyer) asing masih terus berdatangan.
Para pembeli datang dari 50 negara mitra dagang Indonesia, seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Jepang, serta sejumlah negara dari kawasan Timur Tengah. Dari pengamatan TEMPO, para pembeli asing itu memadati hampir semua stand pameran, yang jumlahnya sekitar 1.000. Produk yang paling diincar adalah furniture, yang dipamerkan di tiga lantai Gedung Utama PRJ. Catatan yang dikeluarkan BPEN menunjukkan bahwa transaksi mebel ini mencapai 30 persen dari total omzet. Produk lainnya yang banyak dibeli adalah tekstil, fashion, aksesori, dan aneka barang kerajinan lainnya.
Kemajuan ini melengkapi berita baik lainnya, yakni angka ekspor produk Indonesia mulai beranjak naik. Dalam enam bulan pertama tahun ini, ekspor melonjak 33 persen dari enam bulan tahun lalu, hingga mencapai sekitar US$ 10,14 miliar.
Larisnya Rumah Tipe Menengah |
JIKA Anda berminat membeli rumah tipe menengah, segeralah bergegas. Sebab, sebentar lagi harganya akan melonjak. Naiknya harga rumah ini dipicu oleh melonjaknya jumlah pembelian sepanjang sembilan bulan pertama tahun ini. Selama tahun 1999, permintaan rumah tipe 45-125 (luas rumah 45 dan luas tanah 125 meter persegi) hanya 12 ribu unit, sedangkan sejak Januari lalu hingga akhir September tahun ini, jumlah permintaan itu sudah mencapai 12.500 unit.
Pengamat properti Panangian Simanungkalit memperkirakan, hingga akhir 2000 nanti, jumlah permintaan akan terus melonjak hingga 17 ribu unit. Naiknya permintaan menyebabkan harga ikut melonjak. Selama sembilan bulan pertama tahun ini saja, harga naik sebesar 8-15 persen dari kisaran harga Rp 51-100 juta. Lonjakan harga juga terjadi pada rumah menengah tipe 48-150. Selama sembilan bulan tahun 2000 ini, harganya naik 8 hingga 10 persen dari kisaran harga Rp 100-150 juta.
Derasnya permintaan rumah itu dipicu menurunnya suku bunga kredit perumahan yang ditawarkan bank pemerintah dan swasta. Bank Tabungan Negara (BTN), misalnya, sejak Juli lalu telah menurunkan suku bunga kreditnya dari 19 ke 17 persen. Sejumlah bank swasta mematok suku bunga kredit ini pada angka 16 hingga 20 persen.
Restrukturisasi Utang Indocement |
RESTRUKTURISASI sebagian utang PT Indocement Tunggal Prakarsa akhirnya tercapai. Setelah rapat sebelumnya tertunda karena tidak mencapai kuorum, rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) akhirnya bisa digelar Jumat lalu. Rapat itu menyetujui rencana perusahaan semen ini melakukan merger, penerbitan saham dan waran, serta penjaminan ulang aset yang dimiliki. Langkah ini sebagai bagian dari restrukturisasi utangnya. Indocement akan bergabung dengan PT Indocement Investama dan PT Indo Kodeco Cement.
Persetujuan ini makin membuka peluang masuknya Heidelberger Zement AG ke Indocement. Produsen semen Jerman ini akan masuk sebagai pemegang saham Indocement melalui debt to equity swap (utang tukar saham). Perjanjian pembelian utang antara keduanya yang sudah ditandatangani Agustus lalu tinggal menunggu persetujuan pemegang saham, yang rencananya akan diminta dalam RUPSLB, yang kembali akan diadakan dalam waktu dekat ini. Dalam perjanjian itu, Heidelberger membeli US$ 150 juta dari US$ 1,1 miliar utang Indocement.
Untuk membuka pintu masuk bagi Heidelberger, Indocement akan melakukan penawaran umum terbatas (right issue) dan tidak mengambil haknya. Belum jelas berapa persen saham yang akan dimiliki Heidelberger setelah proses tukar utang dengan saham tersebut. Namun, kemungkinan besar porsi antara Heidelberger dan Indocement akan sama banyak.
Enaknya Konglomerat |
ENAK betul menjadi konglomerat. Punya utang bejibun pun masih punya pengaruh. Marimutu Sinivasan, Prajogo Pangestu, dan Sjamsul Nursalim, yang punya segunung utang, masih juga diperhitungkan Presiden Abdurrahman Wahid. Menurut Presiden, ketiga taipan itu adalah penggerak utama ekspor nasional. Jadi, biarpun mereka belum juga membereskan utangnya kepada negara, mereka jangan dituntut. Kalau tidak, ekspor kita tak bakal maju-maju. Lo, bagaimana dengan pelunasan utangnya? "Cara itu tidak perlu disebutkan di sini. Sebab, kalau disebutkan, nanti masuk angin semua," ujar sang Presiden saat bertemu dengan masyarakat Indonesia di Seoul, Korea Selatan, Kamis pekan lalu.
Pernyataan itu kontan menyulut reaksi. Ketua Tim Teknis Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) DPR, Tosari Wijaya, mempertanyakan peran penggerak ekspor ketiga taipan itu. Sebab, kata Tosari, yang menyelamatkan ekonomi nasional adalah pengusaha kecil dan menengah. Jadi, buat apa mereka dikasih pengampunan? Kecaman yang sama datang dari anggota Komisi IX, Paskah Suseta. Peran sebagai penggerak ekspor itu, kata Paskah, hanyalah alasan yang dicari-cari Presiden Abdurrahman untuk melindungi "orangnya".
Mantan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri, Kwik Kian Gie, kepada TEMPO pernah bercerita bahwa ketiga nama itu memang kerap disebut-sebut Presiden Abdurrahman sebagai penyelamat ekonomi nasional. Padahal, ketiga pengusaha itu tersangkut utang raksasa di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Grup Texmaco milik Marimutu, misalnya, masih berutang Rp 16,5 triliun. Texmaco diduga menyelewengkan penggunaan kredit sebesar Rp 98,8 triliun, yang diberikan sebagai kredit eskpor tapi digunakan untuk mengembangkan industri lain. Jaksa Agung Marzuki Darusman pernah mencekal Sinivasan karena penyelewengan ini. Tapi belakangan Sinivasan lolos.
Prajogo Pangestu juga bermasalah dengan utang Rp 9,8 triliun yang dipergunakan Grup Chandra Asrinya dan sudah jatuh tempo akhir Juli lalu. Hingga sekarang, belum ada proses hukum terhadap Prajogo. Setali tiga uang Sjamsul Nursalim. Total utang yang dipergunakan Grup Gadjah Tunggal miliknya mencapai Rp 28,5 triliun. Akhir September lalu, Wakil Ketua BPPN Arwin Rasyid (kini Presiden Direktur Bank Danamon) mengancam akan memperkarakan Nursalim di pengadilan. Tapi, hingga kini, Nursalim masih lenggang kangkung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo