Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK banyak ekonom yang yakin proses pemulihan ekonomi Indonesia akan berlangsung cepat. Dari yang sedikit itu, ada nama Prof. Eric D. Ramstetter dari International Center for the Study of East Asian Development (ICSEAD), Kitakyusu, Jepang. Dalam konferensi Indonesia Update yang diselenggarakan Australian National University (ANU) awal bulan ini, Ramstetter mengemukakan beberapa fakta yang mendasari keyakinannya bahwa Indonesia akan segera pulih.
ICSEAD adalah badan kerja sama dengan Universitas Pennsylvania yang melaksanakan analisis terhadap 11 negara Asia, terutama Jepang, Cina, Korea, dan Taiwan, serta enam negara besar ASEAN, termasuk Indonesia. Pengalaman Ramstetter dalam penelitian industri manufaktur di Indonesia sangat luas. Dia pernah mengepalai proyek "Multinational Corporations and Labour Market in Asian Economies". Setelah menggondol gelar doktor dari Universitas Colorado, pakar ekonomi yang fasih berbahasa Jepang ini mengajar di Universitas Kansai. Berikut petikan wawancara koresponden TEMPO di Australia, Dewi Anggraeni, dengan Ramstetter.
Bagaimana Anda melihat perekonomian Indonesia? Apakah sudah terjadi titik balik?
Saya percaya pada siklus ekonomi yang berdasar prinsip "yang naik harus turun, yang turun harus naik lagi". Cuma, masalahnya, kapan terjadinya sulit sekali diramalkan. Para ahli ekonomi mengalami kesukaran membuat ramalan, terutama yang berkaitan dengan tingkah laku investor. Sepanjang sejarah ekonomi, selalu begitu. John Maynard Keynes pernah mengatakan bahwa investor punya naluri seperti binatang. Sebenarnya banyak benarnya, apalagi kalau kita lihat bagaimana para investor itu ketakutan, seperti melihat hantu. Nah, apa yang terjadi di Indonesia jelas, mereka seperti melihat hantu, terutama pada 1998. Jatuhnya perekonomian Indonesia pada tahun itu bisa dibilang tidak punya dasar ekonomi. Sulit untuk menjelaskan masalah itu dari sudut pandang ekonomi tanpa mengaitkannya dengan aspek politik.
Kondisinya sekarang bagaimana? Apakah masih ada harapan?
Kalau kita melihat data statistik, ada peningkatan. Jika dilihat dari nilainya dalam dolar AS, pangsa ekspor barang elektronik naik dari 9 persen menjadi 17 persen. Memang, kalau diukur dari kuantitasnya, barang-barang ini produksi perusahaan multinasional seperti Sony, Samsung, atau Matsushita. Tapi peranan Indonesia mulai meningkat. Perusahaan multinasional ini banyak menggunakan komponen dan suku cadang Indonesia dan mengirimkannya ke Malaysia atau Thailand.
Yang membedakan Indonesia dengan Thailand atau Korea Selatan adalah, setelah krisis ekonomi banyak perusahaan atau investor asing yang membeli dan memborong perusahaan setempat dengan harga yang sangat murah. Mereka juga membeli banyak lahan untuk membangun pabrik barusuatu hal yang sebelumnya sulit dilakukan, karena di kedua negara itu masuknya perusahaan asing tak semudah seperti di Indonesia.
Mengapa hal yang sama belum terlihat di Indonesia?
Saya kira biang keladinya ialah politik. Perubahan politik yang terjadi di Jakarta pada saat ini terasa sangat mengancam, dan apa yang terjadi pada 1998 begitu tidak terduga. Akibatnya, para investor jadi ketakutan. Sisi bagusnya adalah seperti yang kita dengar di konferensi ini bahwa konsumen dan industrialis di Indonesia mulai terbiasa dengan situasi politik tersebut. Mereka tahu situasi politik akan terombang-ambing selama dua puluh tahun, tapi ekonomi tak kan dapat menunggu, harus maju terus dan pada suatu saat investor asing akan kembali.
Dan ada tanda-tanda bahwa rencana investasi yang direalisasikan sudah mulai banyak. Hal ini terlihat sejak pertengahan tahun lalu. Memang, kenaikannya masih kecil dan mulainya dari titik yang sangat rendah. Tapi secara keseluruhan, jika dibandingkan dengan tahun lalu, investasi di Indonesia sudah naik. Ini pemulihan yang kita harapkan. Konsumen sudah mulai membuka koceknya dan investasi akan terus tumbuh.
(Data penjualan beberapa produk di Indonesia memang menunjukkan kenaikan yang cukup berarti. Penjualan sepeda motor, misalnya, naik luar biasa pesat. Sementara pada tahun lalu hanya 487 ribu unit motor yang laku terjual, sampai Agustus tahun ini sudah menembus 511 ribu unit. Angka tersebut belum termasuk sepeda motor impor dari Cina, yang penjualannya diperkirakan sudah mencapai sekitar 50 ribu unit. Maraknya penjualan motor ini kemudian memang memicu investasi baru, baik yang dilakukan importir dari Cina yang kemudian membangun industri perakitan di sini maupun yang dilakukan produsen lokal seperti Bosowa. Produsen motor dengan lisensi dari Korea Selatan ini menanamkan modalnya sekitar US$ 20 juta.
Selain itu, tingkat konsumsi listrik juga meningkat. Pada tahun lalu, tingkat konsumsi listrik mencapai 71 ribu GwH, naik 9,3 persen dari tahun sebelumnya. Tahun ini, diperkirakan angkanya akan lebih besar lagi dan sudah mendekati pertumbuhan konsumsi pada tahun-tahun sebelum krisis. Hal ini menunjukkan utilisasi industri manufaktur sudah mulai meningkat kembali setelah jatuh ke titik terendah pada 1998. Industri semen, misalnya kini rata-rata memiliki tingkat utilisasi sekitar 55-60 persen, sebelumnya sempat berada pada kisaran 40-an persen.
Jadi, Anda yakin Indonesia akan berhasil keluar dari krisis ini?
Ya, saya percaya. Tentunya tidak akan mudah, tapi tidak akan sesukar yang diramalkan orang. Saya berani bertaruh, Indonesia akan mampu mencapai pertumbuhan 7 persen pada 2003. Namun, pada tahun itu Indonesia juga akan menghadapi pemilu. Kemungkinan akan muncul kesulitan-kesulitan, sehingga sulit meramalkan situasinya dari sekarang.
Dari sudut pandang ekonomi, bagaimana kondisi Indonesia pada tahun 2003 nanti?
Pada 2003, pemerintah Indonesia akan menghadapi banyak masalah. Bukan saja pemerintah harus membayar bunga pinjaman obligasi, tapi juga membayar kembali modalnya. Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) juga masih akan menghadapi masalah dalam restrukturasi utang swasta. Satu hal lagi yang belum kita bicarakan ialah desentralisasi, yang akan menggerogoti kas pemerintah. Semuanya akan mengepung pemerintah. Semua masalah akan berpusat pada dana. Terus terang saja, masalah bukan saja akan menimpa BPPN, tapi juga lebih-lebih Departemen Keuangan, Menteri Koordinator Perekonomian, dan juga Bank Indonesia.
Bagaimana penyelesaiannya?
Tidak mudah untuk menyelesaikannya. Pemerintah bisa mengeluarkan obligasi, lalu harus mencari pembelinya. Tapi itu akan menambah utang lagi, sebagian dalam negeri, sebagian luar negeri. Cara lain ialah mencetak uang. Tapi itu akan memicu inflasi. Menurut anggapan saya, pemerintah Indonesia beberapa tahun belakangan ini terlalu konservatif. Bujet pengeluaran mereka jauh melebihi pengeluaran yang sesungguhnya. Karena ketidakpastian politik, para pejabat yang bertanggung jawab menjadi lumpuh dan tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak bisa menggunakan uang yang dianggarkan.
Selain itu, dalam komunitas fiskal Indonesia, di Departemen Keuangan dan Bappenas ada semacam konservatisme yang inheren. Sangat berbeda dengan situasi di Amerika Latin pada 1980-an, umpamanya, ketika masalah belitan utang mereka adalah hasil kumulatif dari foya-foya selama 20 tahun. Di Indonesia tidak begitu. Ini masalah satu kali. Kalau Indonesia bisa keluar dari belitan ini dalam tiga tahun mendatang, masalah akan teratasi. Dan beban utangnya pun kalau kita letakkan dalam skala internasional tidak terlalu besar. Para donor utama punya kepentingan besar untuk melindungi perkembangan demokrasi di Indonesia. Jepang terutama sangat berkepentingan. Semua orang yang saya jumpai di komunitas internasional di Jakarta bersikap optimistis.
Jadi, Anda tidak terlalu setuju dengan pesimisme yang terungkap dalam konferensi ini?
Apa yang mereka katakan tentang semua itu (pesimisme) benar. Tapi kok saya melihat adanya kemajuan. Kita harus membandingkan situasi sekarang dengan tahun 1996. Mana ada diskusi seperti ini pada waktu itu? Sekarang semua orang di Jakarta berbicara dan berdebat. Tapi mereka juga bingung, "Kita harus berbuat apa? Kita belum pernah harus menghadapi hal seperti ini sebelumnya." Tentu saja sedikit-banyak akan kacau.
Anda pernah melihat kasus yang serupa di negara lain?
Dalam ukuran perubahan politik dan institusional yang sedang terjadi, tidak pernah. Indonesia mengalami perubahan besar pada 1986. Salah satu sebab Indonesia akan bisa mengatasi krisis ini lebih baik daripada yang diperkirakan orang ialah karena ekonomi pasarnya yang kuat. Dan tahun 1986 adalah penandanya. Indonesia sebelum dan sesudah 1986 seperti siang dan malam. Kini ada ekonomi yang hidup, yang berorientasi pasar dan ekspor. Dan para investor akan beraksi.
Begitu krusial reformasi perdagangan tahun 1986?
Ya. Dan ada rentetannya, dari reformasi perbankan pada 1983, lalu pada 1984 dan 1985. Pada dasarnya didapat konsensus di Jakarta bahwa minyak tak dapat lagi diandalkan. Undang-undang dan peraturan yang menghalangi ekspor non-minyak harus dihapus. Sejak itu kemajuan terjadi pesat pada penghujung 1980-an. Pada awal 1990-an, kemajuan ekonomi kadang-kadang pesat, kadang tersendat, tapi itu terjadi di mana-mana dalam proses reformasi. Perubahan ekonomi pada 1986 mungkin sebanding dengan perubahan politik yang sedang terjadi saat ini. Dampaknya begitu luas. Indonesia akan berubah sama sekali. Tidak ada titik balik.
Ancaman apa yang masih ada?
Kekerasan yang masih terjadi. Proporsi kekerasan tidak sebanding dengan masalah yang harus diatasi. Dalam hal ekonomi, rasanya Indonesia tidak bisa menjadi lebih buruk lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo