Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bisnis Sepekan

8 Agustus 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sayonara Proyek Jet Nasional

LENGSER Soeharto, lengser pula PT Dua Satu Tiga Puluh (DSTP). Setelah dua tahun menunggu proyek pesawat jet nasional N-2130 yang tak kunjung jelas, DSTP akhirnya memilih membubarkan diri. Perusahaan yang digagas dan didirikan bekas presiden Soeharto itu mengumumkan hasil likuidasinya, pekan lalu.

DSTP dibentuk untuk membiayai pembangunan jet nasional yang akan dibuat Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). Karena biayanya amat besar, ditaksir US$ 2 miliar (setara dengan Rp 5 triliun kala itu), proyek jet tersebut ditawarkan agar dibiayai publik. Perhitungannya sederhana. Jika setiap penduduk Indonesia mampu menyisihkan Rp 25 ribu, cita-cita memiliki ”pesawat jet buatan sendiri” bukanlah impian kosong.

Dasar pemerintahan Soeharto, mimpi itu serta-merta diterjemahkan ke dalam proyek serius. Dengan dukungan kekuatan birokrasi yang dahsyat, DSTP menawarkan sahamnya kepada publik, Maret 1997. Tak jelas benar berapa dana yang terjala. Yang pasti, DSTP telah ikut memopuleran kata ”saham” sampai ke pelosok Indonesia. Maklum, pembeli saham DSTP bukan cuma konglomerat papan atas di kota-kota besar, tapi juga guru SD di desa-desa terpencil. Mereka, dengan kepatuhan luar biasa, ikut arus membeli pecahan saham yang nilainya Rp 5.000—pada harga Rp 5.500.

Tapi, untung tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak. Krisis menyerbu Asia, harga dolar melonjak luar biasa. Investasi N-2130 membengkak tiga kali lipat menjadi Rp 15 triliun. Selain itu, krisis melumpuhkan pertumbuhan konsumsi pesawat jet-regional di pasar dunia. Singkat kata, pembangunan jet nasional, dalam ukuran skala ekonomi, menjadi terlalu muluk.

Aba-aba kematian rupanya datang lebih cepat. Dana Moneter Internasional (IMF), yang mendokteri krisis di Indonesia, memberikan vonis: untuk menghemat anggaran, pemerintah harus menghentikan dukungan finansial kepada IPTN. Proyek jet N-2130, untuk sementara, agaknya harus disimpan di laci.

Semula, DSTP akan bertahan dan mengubah diri menjadi lembaga investasi yang menyertakan modalnya pada industri agrobisnis, seperti kebun sawit. Tapi, entah mengapa, belakangan niat itu berubah: mayoritas pemegang saham memilih likuidasi. Proyek N-2130 sendiri belum mati. Ilham Habibie, sang kepala proyek, hingga kini dikabarkan masih melobi sejumlah industri Asia untuk ikut membiayai mimpinya.

Bagaimana hasil likuidasi proyek mimpi itu? Ternyata cukup lumayan. Setiap pemegang satu saham dengan nilai nominal Rp 5.000 (harga perdana kala itu Rp 5.500) akan mendapatkan pengembalian Rp 9.500—alias tumbuh 73 persen dalam dua tahun. Sedangkan saham atas nama dengan nominal Rp 2,3 juta (harga perdana Rp 2,4 juta) mendapatkan Rp 4,2 juta atau tumbuh 43 persen.

Artinya, pukul rata, investor DSTP memetik ”bunga” 58 persen dalam dua tahun terakhir. Dibandingkan dengan bunga deposito, yang sempat mencapai 70 persen setahun, peternakan uang di DSTP mungkin tak berarti apa-apa. Tapi daripada amblas sama sekali?


Listrik, Berkiblatlah pada Eka Tjipta

EKA Tjipta Widjaja menjual pembangkit listriknya kepada perusahaan Singapura. Gara-gara terdesak kebutuhan uang, Asia Pulp and Paper (APP), anak perusahaan Sinar Mas Group yang terdaftar di bursa Singapura, menjual 51 persen penyertaan sahamnya pada tiga pembangkit listrik di Cina kepada Singapore Power. Ketiga pembangkit berkekuatan 414 megawatt yang akan memasok setrum kepada tiga kilang kertas milik Sinar Mas itu dijual dengan nilai US$ 386 juta atau US$ 932 per kilowatt kapasitas.

Kelewat murah? Entahlah. Yang pasti, transaksi Sinar Mas-Singapore Power ini bisa menjadi patokan alias benchmark nilai sebuah pembangkit listrik. Dilihat dari harga listrik swasta di Indonesia, pengusaha Eka Tjipta seperti sedang mengobral hartanya. Lihat saja, hampir semua perusahaan listrik swasta yang akan beroperasi di Indonesia memasang harga lebih dari US$ 1.000 per kilowatt. Pembangkit listrik tenaga uap Paiton I, milik konsorsium Mission Energy dan Batu Hitam Perkasa (Hashim Djojohadikusumo), misalnya, dibangun dengan investasi US$ 2.000 per kilowatt. Celakanya, untuk mengompensasi ongkos yang kelewat tinggi itu, PLN harus membeli listrik swasta dengan tarif ”selangit”.

Satu-satunya pabrik setrum yang saat ini memasang harga rendah adalah proyek pembangkit listrik Tanjung Jati B. Pabrik setrum berkekuatan 1.320 megawatt yang dimiliki konsorsium Cepa Indonesia itu sedang ditawarkan pemerintah pada harga US$ 871 per kilowatt.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum