KEBAT-KEBIT. Tampaknya itulah suasana hati para bankir yang pu-nya tagihan di bank yang dibre-del pemerintah. "Huru-hara" Bank Bali agaknya menunjukkan, pencairan tagihan yang dijamin pemerintah itu tak segampang yang diduga. Pernyataan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Glenn Yusuf, bahwa pencairan tagihan pinjaman interbank itu begitu mudah, ternyata juga tak terbukti.
Apa pasal? Tak seperti kabar beritanya, tagihan interbank (antarbank) di bank-bank yang izin operasinya dibekukan ternyata belum ada yang bisa dicairkan. Padahal, tagihan ini termasuk dalam jaminan pemerintah. Menurut data di BPPN, per 1 Juni lalu, tagihan antarbank yang macet dari lima bank peserta rekap (Lippo, Universal, Patriot, BII, Arta Media) saja sudah mencapai Rp 3,5 triliun. Jumlah itu belum termasuk tagihan Bank Bali yang sudah dicairkan awal Juni itu dan bank-bank lain yang tak ikut program injeksi modal.
Semula memang ada kabar, gara-gara skandal Bank Bali, tagihan itu akan cepat dicairkan. Bersama Bank Indonesia, BPPN bahkan sudah membuat skema percepatan pembayaran. Tapi, belakangan, rencana itu terhalang soal-soal teknis. Bank sentral dan BPPN kini malah sibuk mengurusi Bank Bali. Akibatnya, nasib pinjaman antarbank yang macet di bank-bank beku itu makin tak jelas.
Padahal, argo pinjaman itu jalan terus. Maksudnya, pinjaman antarbank itu bukan tanpa bunga. Makin lama tak terbayar, jumlah tagihan yang harus ditanggung pemerintah makin besar. Kalau tingkat bunga dihitung 16 persen saja, dalam dua bulan ini tagihan dari bank-bank peserta rekap tadi paling tidak sudah bertambah Rp 100 miliar lagi. Dibolak-balik bagaimanapun, pemerintah jugalah yang harus membayarnya. Dan pada akhirnya, pembengkakan itu akan dibebankan kepada rakyat (habis, dari mana lagi?).
Di sisi lain, nasib bank-bank yang punya tagihan macet juga sama repotnya. Lama kelamaan modal mereka bisa terkuras habis. Soalnya sederhana saja. Duit yang dimainkan dalam pinjaman antarbank itu berasal dari dana publik, dari simpanan pihak ketiga yang harus dibiayai bunganya. Kalau tagihannya macet, bank akan kesulitan mendapatkan uang untuk membayar bunga. Akibatnya, mereka harus makan modalnya sendiri. Akhirnya bisa ditebak, rasio kecukupan modal akan merosot dan kebutuhan untuk menambal modal makin besar.
Barangkali kesulitan itulah yang membuat Rudy Ramli, nakhoda Bank Bali, agak gelap mata. Presiden Direktur Bank Bali ini mengaku sudah berkali-kali mengirim surat ke BPPN, meminta tagihannya segera dibayar. Tapi, respons lembaga pemerintah itu sangat tak pernah tegas. "Bayangkan," katanya, "sudah sembilan bulan kredit itu tak jelas juntrungannya, apakah mau dibayar atau tidak."
Secara teknis, jelas tagihan yang dijamin pemerintah itu tergolong kredit dengan kolektabilitas lima alias macet total. Dan bagi Bank Bali, akibatnya begitu fatal. Cuma dalam tempo tiga bulan, rasio kecukupan modal alias CAR Bank Bali merosot dari minus 8,2 persen menjadi minus 32 persen. Kebutuhan tambahan modal melonjak dari Rp 2,8 triliun menjadi Rp 4,3 triliun. Barangkali ini jugalah yang membuat Bank Bali terjerat jebakan maut calo utang PT Era Giat Prima.
Dengan bobot persoalan yang begitu besar, tak pelak lagi, lambatnya penanganan pinjaman antarbank yang macet ini menjadi keluhan umum para bankir. Menurut mereka, syarat-syarat pengesahan mestinya tak sulit diuji. Soalnya, jenis kewajiban apa saja yang dijamin pemerintah sudah begitu jelas. Selain itu, seluruh transaksi antarbank telah diketahui oleh bank sentral.
Betul, tagihan antarbank bukan bebas masalah. Mungkin saja, bank yang mencari utang dari antarbank (debitur) sudah punya itikad buruk sejak awal. Misalnya, sebelum banknya ditutup, para pengurusnya sengaja menggangsir banknya sendiri. Caranya, dana pinjaman yang dijala dari pasar utang ditilep ke kantong pribadi dengan membuat proyek fiktif. Pada akhirnya kelak, dana tilepan ini memang mesti dikembalikan pemilik bank melalui proses settlement (lihat Menanti Jurus Maut Glenn). "Tapi lumayan, toh sudah dapat tunai duluan," kata seorang bankir.
Cuma, kalaupun praktek penipuan seperti itu ada, proses pengesahan tagihan antarbank mestinya tetap tak selamban itu. "Masa, sampai perlu makan waktu setahun lebih," gerutu seorang bankir. Karena tak sabar, ia mengaku hampir saja tergiur untuk memakai jasa calo sebagaimana Bank Bali. "Untung tak jadi," katanya.
Staf senior kesekretariatan BPPN, Franklin Richard, mengakui tagihan antarbank itu masih menunggu proses verifikasi alias pengesahan. Kata Franklin, proses itu dilakukan di dua tempat, BPPN dan BI. "Dari BPPN sudah beres," katanya. "Kita tinggal menunggu BI."
Kalaupun proses pengesahan ini beres, masih ada satu tahap yang harus dilalui: pencocokan. Bank sentral dan BPPN akan saling mencocokkan kedua temuannya. Jika klop, tagihan itu akan dicairkan setelah ada persetujuan Menteri Keuangan. Tahapnya, atas dasar rekomendasi Ketua BPPN, Menteri Keuangan akan minta duit kepada Bank Indonesia (BI). Ini sama saja artinya dengan pemerintah menerbitkan surat utang untuk dibeli oleh BI. Bank sentral kemudian mencairkan tagihan itu melalui BPPN.
Rumit? Memang. Tapi mestinya bukan karena itu tagihan antarbank ini hingga sekarang tak juga dibayar. Gubernur BI Syahril Sabirin sendiri mengakui, baru tagihan dari Bank Bali yang sudah cair. "Yang lain belum," katanya kepada Iwan Setiawan dari TEMPO.
Jika bankir merasa BPPN begitu lelet, Center for Banking Crisis (CBC) justru sebaliknya. Menurut lembaga yang muncul setelah penutupan 38 bank ini, BI dan BPPN cenderung tak berhati-hati dalam menggelar program penjaminan. Lembaga ini antara lain mempertanyakan proses pengesahan yang begitu sembrono. Ini terjadi terutama dalam pembayaran tunggakan letter of credit (L/C) dan tagihan antarbank Bank Bali. Menurut CBC, pada April 1998, BI membayari tunggakan L/C bank-bank lokal ke bank-bank asing di luar negeri, yang sudah jatuh tempo. Jumlahnya amat besar, hampir US$ 1 miliar.
Benarkah? BI membantah telah membayari atau mem-bail-out tunggakan L/C itu. Yang benar, katanya, pembayaran itu merupakan dana talangan (kasbon) atas tunggakan L/C hingga Desember 1998. Jumlahnya malah lebih besar, sampai US$ 1,18 miliar. Tapi bailout ini terpaksa dilakukan BI untuk memenuhi kesepakatan penyelesaian utang swasta di Frankfurt, Jerman.
Ceritanya, di tengah puncak krisis kala itu, bank-bank swasta Indonesia sedang diisolasi bank-bank asing di luar negeri. Pintu kredit dan pembiayaan perdagangan ditutup rapat-rapat. Soalnya, risiko kredit ke Indonesia, seiring dengan makin parahnya krisis, meningkat. Kecuali itu, sejumlah tunggakan L/C belum dibayar. Akibatnya, bank-bank lokal diasingkan seperti anjing kena rabies.
Boikot ini berakibat fatal. Importir Indonesia tak berkutik. Aktivitas perdagangan hampir saja mandek. Untuk mencairkan kemandekan, BI menalangi dulu tagihan ini dengan janji setelah itu akses pembiayaan perdagangan akan dibuka bank-bank asing di luar negeri. Benar saja, "Setelah itu, kucuran L/C yang tersendat mulai lancar mengalir," kata seorang pejabat BI. Sejak itu, kucuran L/C yang mengalir ke bank-bank lokal mencapai US$ 2,9 miliar.
Lalu, bagaimana dengan penerbitan surat utang Rp 54 triliun untuk penjaminan? Menurut BI, pengucuran dana itu masih menunggu proses pengesahan. Tak bisa dimungkiri, jaminan pemerintah terhadap kewajiban bank terpaksa harus diberikan untuk mendongkrak kepercayaan publik terhadap perbankan. Setelah likuidasi 16 bank pada November 1997, kepercayaan itu runtuh.
M. Taufiqurohman, Agus Hidayat, dan Leanika Tanjung
Bank | Pemilik | Total Kewajiban | Bunga Per 10 Nov. '99 | Pokok Per 10 Nov. '99 | Total Cicilan 10 Nov. '99 | Progres |
BCA | Liem Sioe Liong | Rp 48 triliun | Rp 13 triliun | Rp 14,5 triliun | Rp 27,5 triliun | Membayar Rp 400 miliar melalui saham Indofood |
BDNI | Syamsul Nursalim | Rp 28,5 triliun | Rp 7,7 triliun | Rp 8,6 triliun | Rp 16,3 miliar | |
Danamon | Usman Admadjaja | Rp 12,3 triliun | Rp 3,3 triliun | Rp 3,7 triliun | Rp 7 triliun |
BUN-1 | Ongko | Rp 8 triliun | Rp 2,2 triliun | Rp 2,4 triliun | Rp 4,6 triliun |
BUN-2 | Bob Hasan | Rp 6,2 triliun | Rp 1,7 triliun | Rp 1,9 triliun | Rp 3,6 triliun |
Pelita | Hashim Djojohadikusumo | Rp 2,6 triliun | Rp 700 miliar | Rp 780 miliar | Rp 1,5 triliun |
Modern | Samadikun Hartono | Rp 2,5 triliun | Rp 675 miliar | Rp 750 miliar | Rp 1,4 triliun |
Surya Subentra | Sudwikatmono | Rp 1,9 triliun | Rp 500 miliar | Rp 570 miliar | Rp 1,07 triliun |
Centris | - | Rp 735 miliar | Rp 198 miliar | Rp 220 miliar | Rp 410 miliar |
Istismarat | Hashim Djojohadikusumo | Rp 540 miliar | Rp 145 miliar | Rp 160 miliar | Rp 305 miliar |
Hokindo | - | Rp 347 miliar | Rp 94 miliar | Rp 104 miliar | Rp 200 miliar |
Deka | - | Rp 206 miliar | Rp 55 miliar | Rp 62 miliar | Rp 117 miliar |
38 bank dibekukan 1999 (pemilik Gunung Sewu, Dharmala, Mashill, dll. )Belum dihitung
Tujuh bank diambil alih pemerintah 1999 (pemilik Yayasan Soeharto, Grup Bakrie, Peter Sondakh, dll.) Belum dihitung
|