Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bisnis Sepekan

17 Agustus 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengampunan Enam Debitor Om Liem—panggilan akrab Sudono Salim—boleh berharap akan dapat melewati hari tuanya dengan tenang. Sebab, penyelesaian kewajiban utang Rp 52 triliun yang muncul saat BCA diselamatkan oleh pemerintah diperkirakan akan segera tuntas dalam waktu dekat. Pekan ini, nama Salim terselip di antara enam debitor yang akan diajukan oleh BPPN ke Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) untuk diberi surat pembebasan dari segala tuntutan (release and discharge). Menurut Deputi Kepala BPPN Bidang Asset Management Investment (AMI) Taufik M. Ma’roef, KKSK-lah yang akan menentukan layak tidaknya enam debitor mendapatkan pembebasan. Pembebasan ini didasarkan pada Inpres No. 8/2002. ”KKSK meneliti permohonan kita lalu memutuskan apakah debitor tersebut diberi atau tidak,” kata Taufik kepada Tempo News Room. Selain Salim, lima lainnya adalah Sudwikatmono (mantan pemilik Bank Surya), Ibrahim Risjad (Bank RSI), Hendra Liem (Bank Budi Internasional), The Ning King (Bank Danahutama), serta Siti Hardijanti Rukmana (Bank Yama).

Babak Baru Semen Padang Konflik antara manajemen Semen Padang yang lama dan yang baru tampaknya segera berakhir. Pengadilan Negeri Padang, melalui ketua majelis hakim Bustami, dalam keputusan pendahuluan (provisi) dalam sidang yang berlangsung Rabu pekan lalu, menetapkan direksi lama agar segera meninggalkan kantor. Hakim juga mengakui keabsahan direksi baru yang dipilih dalam rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) pada 12 Mei silam. Jika manajemen lama mengabaikan ketetapan pengadilan, mereka terancam membayar denda Rp 10 juta per hari. Keputusan tersebut diambil Bustami dalam sidang gugatan Koperasi Keluarga Besar Karyawan Semen Padang (KKBSP) terhadap direktur Semen Gresik dan jajaran direksi serta komisaris baru Semen Padang. Koperasi menggugat karena RUPSLB mengabaikan hak-hak mereka sebagai pemegang saham minoritas. Tapi keputusan hakim malah menyebabkan direksi mesti hengkang dari kantornya. Menurut Bustami, RUPSLB tersebut sah karena Mahkamah Agung sudah memberikan izin kepada Semen Gresik untuk melaksanakan rapat tersebut dengan agenda pergantian manajemen. Perselisihan antara manajemen lama dan baru memang segera diakhiri. Sejak terpilih dalam RUPSLB tiga bulan silam, manajemen baru Semen Padang yang dipimpin Dwi Sutjipto mesti berkantor di Hotel Pangeran Beach, Padang. Kantor Semen Padang di Bukit Indarung masih dikuasai manajemen lama yang dipimpin Ikhdan Nizar.

’Cessie’ Bank Bali Nasib dana Rp 546 miliar di Bank Permata tetap tak jelas. Hal itu terjadi setelah Ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan, menyatakan bahwa hak eksekusi atas keputusan pidana sepenuhnya menjadi hak kejaksaan, bukan Mahkamah Agung. Bagir menanggapi permintaan fatwa oleh Ketua BPPN Syafruddin Temenggung mengenai nasib dana tersebut. Fatwa itu diminta setelah Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan menagih dana tersebut dari Bank Permata. Jawaban Mahkamah Agung ini ternyata tetap tak menetapkan siapa yang berhak atas dana tersebut. Silang sengkarut soal Rp 546 miliar itu berasal dari macetnya tagihan Bank Bali atas Bank Umum Nasional (BUN) dan Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Tagihan itu kemudian menjadi beban BPPN setelah kedua bank ditutup pemerintah. Gara-gara susah menagihnya, Rudy Ramli selaku pemilik Bank Bali mengalihkan hak tagihnya ke PT Era Giat Prima milik Setya Novanto dan Joko S. Tjandra. BPPN kemudian membayar Rp 900 miliar, separuhnya menjadi hak Era Giat. Namun pengalihan ini dibatalkan oleh BPPN, dan Joko Tjandra dkk. diajukan ke pengadilan dengan tuduhan korupsi. Ternyata Joko dinyatakan bebas. Mahkamah Agung memperkuat keputusan peradilan di bawahnya. Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan kemudian meminta Bank Permata mengembalikan dana Rp 546 miliar sebagai barang bukti. Susahnya, dana yang semula ditempatkan di rekening penampung (escrow account) itu sudah dimasukkan ke Bank Permata sebagai bagian dari rekapitalisasi. Jika dana ini diambil dari Bank Permata, pemerintah harus menombokinya. Dan mau tidak mau itu akan menjadi beban anggaran negara.

Kompensasi Telkom Pelaksanaan duopoli bisnis telekomunikasi di Indonesia segera beres. Telkom akan bisa masuk ke bisnis sambungan internasional yang selama ini dikuasai Indosat, sementara itu Indosat akan bisa memasuki bisnis sambungan interlokal dan lokal yang sebelumnya hanya dimonopoli Telkom. Kedua perusahaan akan bersaing dalam bingkai duopoli seperti yang ditetapkan dalam UU No. 36/1999 tentang Telekomunikasi. Duopoli ini akan dilaksanakan pada Agustus ini. Menurut Menteri Perhubungan dan Telekomunikasi, Agum Gumelar, pemerintah akan membayar kompensasi kepada Telkom Rp 478 miliar atas percepatan penghapusan monopoli di interlokal dari tahun 2005 menjadi 2003 dan lokal dari tahun 2010 menjadi 2002. Sebaliknya, Indosat malah harus membayar kompensasi kepada pemerintah Rp 178 miliar karena nilai bisnis yang diberikan kepada Indosat lebih besar ketimbang yang dihapus. Seusai rapat kabinet Kamis pekan lalu, Agum mengatakan bahwa dana kompensasi untuk Telkom akan diambil dari APBN. Untuk itu, pemerintah sedang menunggu persetujuan dari DPR. Sementara itu, meskipun Indosat mesti membayar kompensasi, perusahaan telekomunikasi terbesar kedua setelah Telkom itu terbebas dari kewajibannya. Ketika menjual kepemilikannya di Indosat kepada ST Telemedia pada akhir tahun lalu, pemerintah memang sudah berjanji akan menanggung biaya kompensasi.

Indonesia Ditegur Indonesia kembali mendapat teguran keras dari Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF). Badan dunia yang mengurusi soal pencucian uang ini menilai Indonesia tidak serius menangani hal tersebut. Salah satu indikasinya adalah Indonesia tidak segera mengamendemen UU No. 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang dianggap mengandung banyak kelemahan. Padahal lembaga itu telah berkali-kali mendesak Indonesia agar segera melakukan pelbagai perbaikan. Teguran ini merupakan yang kelima sejak 2001. Jika amendemen tak segera dilakukan, Indonesia tetap akan masuk dalam daftar non-cooperative countries and territories bersama delapan negara lainnya, antara lain Myanmar dan Kepulauan Cook. Karena itu, Indonesia terancam sanksi berupa pemutusan hubungan jasa keuangan Indonesia dengan jasa keuangan di luar negeri. Transaksi keuangan dari dan ke Indonesia akan diawasi dan dicurigai mengandung tindak pidana pencucian uang. Sanksi ini jelas akan merugikan bank-bank lokal. Surat teguran juga datang dari Duta Besar Amerika Serikat, Ralph L. Boyce. Dia secara khusus menemui Gubernur BI, Burhanuddin Abdullah, meminta Indonesia serius menangani pencucian uang. Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Hukum dan Politik DPR, Hamdan Zoelva, menegaskan bahwa parlemen akan segera membahas masalah ini. Paling tidak, pertengahan September amendemen UU Pencucian Uang akan beres. Di seluruh dunia, kegiatan pencucian uang melibatkan dana US$ 500 miliar hingga US$ 1,5 triliun per tahun, 50-150 kali pinjaman IMF kepada Indonesia.

Manajemen Baru Jamsostek Kendati sempat diperiksa polisi dalam kasus korupsi senilai Rp 18,5 miliar, Achmad Djunaidi toh berhasil mempertahankan kursi Direktur Utama PT Jamsostek. Selain Achmad, Joko Sungkono juga tetap menjadi Direktur Operasional. Tambahan baru direksi Jamsostek yang dilantik pada Senin pekan lalu adalah Widjokongko Puspoyo (Direktur Keuangan), Samuel Tobing (Direktur Investasi), Sentot Widharto (Direktur Umum dan Sumber Daya Manusia), dan B.M. Tri Lestari (Di-rektur Perencanaan dan Pengembangan Informasi). Komisaris Utama PT Jamsostek, Prijono Tjiptoherijanto menyatakan bahwa Achmad terpilih setelah menyisihkan lebih dari 20 kandidat yang diajukan Menteri Negara BUMN, Laksamana Sukardi. Menurut Prijono, proses seleksi para kandidat dilakukan lembaga konsultan psikologi sebuah universitas di Jakarta. Meski Laksamana memiliki veto untuk menunjuk siapa yang berhak menjadi direktur utama, Prijono membantah terpilihnya Achmad karena instruksi dari Laksamana. ”Nggak ada intervensi,” kata Prijono kepada Tempo News Room seusai acara pelantikan.

Defisit 1,2 Persen Pemerintah menetapkan defisit dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2004 sebesar 1,2 persen dari produk domestik bruto (PDB) atau Rp 24,9 triliun. Angka ini jelas lebih tinggi dari target pemerintah dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas). Seharusnya, mulai tahun 2004, anggaran negara tak lagi defisit. Namun perekonomian Indonesia yang tumbuh sedang-sedang saja dalam tiga tahun terakhir menyebabkan target tersebut molor. Bahkan, dengan angka 1,2 persen pun, pemerintah masih merasa berat. Ketika membacakan nota keuangan di depan DPR Jumat pekan lalu, Presiden Megawati Soekarnoputri mengakui bahwa untuk mencapai angka 1,2 persen bukan soal yang mudah karena Indonesia tidak bisa lagi menikmati fasilitas Paris Club karena sudah memutuskan berhenti dari program IMF. Artinya, Indonesia harus membayar utang luar negeri yang jatuh tempo pada tahun depan plus bunga. Pada saat yang sama, utang dalam negeri yang jatuh tempo mencapai Rp 18,9 triliun. Bukan tidak mungkin, cita-cita defisit nol persen akan tercapai lebih lama lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus