DULU, dermaga dan areal seluas delapan hektar di seputar Pelabuhan Muara Baru, Jakarta, merupakan tempat jualbeli ikan. Tapi, hanya dalam tempo dua tahun setelah mendapat izin dan dengan modal sekitar Rp 10 milyar, PT Dharma Karya Perdana (DKP) bisa menyulap kawasan itu menjadi sebuah dermaga modern. Dilengkapi dengan terminal penyimpan bahan kimia cair, dermaga baru itu diresmikan penggunaannya, Sabtu lalu, oleh Menteri Perindustrian Hartarto. Ini berarti, mulai hari itu pula di dermaga yang boleh disebut sebagai "terminal entreport" pertama di Pelabuhan Tanjungpriok itu segera akan berlabuh kapal-kapal pengangkut bahan kimia cair. Biasanya, karena fasilitas untuk itu hanya ada di Pelabuhan Merak, Jawa Barat, bahan kimia cair hanya bisa dibongkar muat di pelabuhan yang berjarak 120 km dari Jakarta itu. Dari pelabuhan ini biasanya pula, para pengusaha yang memerlukan bahan baku itu, misalnya pengusaha tekstil, plastik, dan minuman soda, mendatangkannya ke Jakarta. Bahan baku itu disimpan di drum-drum. Terkadang ada juga di antara mereka yang langsung mengirim bahan baku itu ke pabrik. Itu semua tentu dengan kapasitas terbatas. Maklum, biaya pengiriman dan risiko penyimpanan cukup besar. Pukul rata ongkos simpan bahan kimia cair itu sekarang berkisar 20 sampai 30 dolar per ton per tahun. "Tapi sekarang dengan adanya terminal baru, mereka bisa menyimpan dan memasukkan bahan baku itu lebih banyak," kata Sofyan Wanandi, Direktur Utama DKP. Dengan demikian, katanya, para pengusaha bisa menghemat. DKP, untuk tahap awal, menetapkan ongkos simpan 20 dolar saja. Memiliki 14 tangki penyimpan yang seluruhnya berkapasitas 8.200 kiloliter di terminal barunya, Sofyan, yang juga Dirut PT Garuda Mataram Motors, agen tunggal mobil VW di Indonesia, bahkan sudah bisa memperkirakan, "sedikitnya kini para pengusaha bisa menhemat 15%." Perincian perhitungan itu tak dibeberkan Sofyan. Tapi, seorang staf PT Prointal, PMA Indonesia-Jepang yang sejak 1977 membuka usaha jasa terminal penyimpanan bahan kimia cair di Pelabuhan Merak, mengakui bahwa mereka sekarang mendapat saingan cukup berat. "Tapi, kami sudah lama siap untuk bersaing," kata Agung Dadiyono, staf PT Prointal, kepada TEMPO. Dia mengelak ketika ditanya tentang kesiapan Prointal. Kendati demikian, dia memberi isyarat, antara lain, Prointal sudah mengikat 17 perusahaan yang selama ini menjadi langganan dalam kontrak jangka panjang. "Lamanya antara dua dan lima tahun," kata Agung lagi. Prointal, perusahaan patungan PT Propelat Bandun dengan Mitsui dan Utoku Co. Ltd. Jepang, memang tercatat sebagai pelopor usaha itu, yang oleh Ketua BKPM Suhartoyo disebut "bisnis terminal". Mulai dengan investasi sebesar 1,6 juta dolar, tujuh tahun yang lalu, perusahaan ini sekarang memiliki tangki dengan kapasitas simpan lebih dari 11.000 kiloliter bahan kimia cair. Tak pelak lagi, sampai dibukanya terminal DKP, Prointal memang menguasai usaha di bidang jasa terminal tadi. Suhartoyo sendiri mengakui hal itu. Sebab, sampai sekarang pun, memang, terasa minat di bidang ini tak banyak. Para pengusaha, katanya, seperti belum tahu bahwa "bisnis terminal itu menjanjikan keuntungan yang lumayan." Apalagi, tak lama lagi beberapa proyek petrokimia besar segera akan selesai dibangun, antara lain proyek Olefin di Aceh dan Aromatikdi Palembang. Kendati begitu, DKP dan Prointal boleh merasa lega karena, khusus untuk Jakarta dan Jawa Barat, kesempatan buat penanam modal baru sudah tertutup. "Tapi di pelabuhan lain, prospeknya tetap bagus," kata Suhartoyo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini