MENGAPA bingung? Percayakan dana Anda kepada BNI 1946." Dalam iklan menyolok di pelbagai koran Jakarta, pekan lalu, bank negara terbesar itu kini tampil menawarkan bunga menarik: 15%, 16%, 17%, dan 18%, masing-masing untuk deposito sebulan, tiga bulan, enam bulan, dan 12 bulan. "Ya, mengapa harus susah payah bikin investasi baru, tanamkan saja uang di deposito: hasil jelas, cepat, dan bebas pajak lagi," kata seorang pengusaha kapal. Sejak pertengahan Februari, hampir setiap hari halaman sejumlah koran ibu kota dipenuhi dengan iklan tawaran bunga deposito dari bank swasta nasional, asing, sampai bank negara. Bank-bank swasta nasional yang sejak Juni 1983 sepakat tidak perlu mengiklankan tingkat bunga deposito - untuk mencegah perang bunga - tampil secara menyolok memajang diri. Secara pukul rata tingkat bunga deposito yang kini ditawarkan satu sampai dua persen lebih tinggi diandingkan penawaran awal tahun ini. Menurut seorang pejabat Bank Niaga, kenaikan bunga deposito kali ini erat berkaitan dengan berkurangnya likuiditas rupiah di masyarakat. Dengan kata lain, rupiah yang berada di masyarakat kini sudah makin menyusut. Karena persediaan rupiah berkurang, maka bunga deposito perlu naik supaya bank tidak kehilangan sumber dananya. "Menaikkan bunga deposito juga kami lakukan supaya uang yang ada di bank kami tidak lari ke luar," ujar Fuady Mourad, Direktur Panin Bank. Benarkah rupiah menyusut? Angka dalam Laporan Mingguan Bank Indonesia menunjukkan jumlah uang beredar pada Januari posisinya justru naik dibandingkan Desember 1983 (lihat: grafik). Tapi angka Februari, saat menurunnya uang beredar diduga terjadi sangat besar, belum tersedia. Kontraksi cukup besar sesungguhnya terjadi antara Juli sampai November 1983 - tatkala jumlah uang beredar turun dari Rp 7,7 trilyun jadi Rp 7,5 trilyun. Kata Fuady Mourad, perubahan pada jumlah uang beredar itu erat hubungannya dengan pencabutan fasilitas kredit likuiditas BI kepada bank-bank negara, mulai 1 Juni 1983. "Sekarang ini pemerintah tidak lagi menambah suplai uang ke masyarakat," katanya awal pekan ini. Sejak Juni itu, memang, Bank Sentral tidak lagi menambah uang beredar dengan mencetak uang baru, yang biasanya kemudian disalurkan ke pelbagai bank pelaksana dalam bentuk kredit likuiditas berbunga rendah. Sebab, kata Gubernur Bank Indonesia Arifin Siregar, pencetakan uang itu bersifat inflatoir. Jumlah uang beredar juga mengecil sesudah pemerintah, sebagai pembelanja terbesar, mengetatkan anggaran setelah turunnya penerlmaan pajak perseroan minyak. Kata seorang bankir, tindakan moneter dan pengetatan anggaran itu dilakukan pihak otoritas moneter dengan tujuan: mengerem inflasi dan menarik dana menganggur dari masyarakat. Kebijaksanaan tadi, menurut dugaan seorang bankir, tampaknya akan berakhir pada tahun anggaran 1984-1985 mendatang. Naiknya APBN dari Rp 16,5 trilyun pada 1983-1984 jadi Rp 20,5 trilyun untuk 1984-1985 itu memang bakal memaksa pemerintah menaikkan volume pembelanjaannya - terutama melalui pengeluaran rutin. Dengan demikian secara berangsur jumlah uang beredar akan kembali naik. "Apa pun ceritanya, rupiah toh akhirnya akan keluar lagi," kata seorang bankir swasta. Walaupun demikian, seorang bankir swasta lain berpendapat bahwa naiknya buna deposito kali ini berkaitan dengan kekhawatiran kalangan bankir terhadap rencana BI berikutnya untuk melengkapi kebijaksanaan 1 Juni 1983. Apa itu? Mereka, katanya, khawatir Bank Sentral akan menaikkan ketentuan likuiditas mininum pelbagai bank yang kini masih sebesar 15%. Jika benar tindakan itu dilakukan, berrti rupiah yang sudah dapat dikumpulkan berbagai bank itu akan disedot kembali ke kantung BI. Padahal, baru Februari lalu Sertifikat Bank Indonesia (SBI), yang terutama dipakai untuk mengurangi likuiditas lembaga keuangan, diperkenalkan Bank Sentral. Sebagai alat investasi bagi bank yang kelebihan likuiditas, tingkat diskonto SBI, yang 14% untuk jangka 30 hari, dan 15% untuk jangka 90 hari, dianggap bukan merupakan saingan langsung deposito. Kendati demikian, ada juga bank swasta yang buru-buru menaikkan bunga deposito tak lama sesudah SBI terbit. Tapi tidak bagi Bank Niaga, yang belum merasa perlu menaikkan bunga deposito. "Pokoknya, tingkat bunga deposito tidak berubah sebelum dan sesudah SBI terbit," ujar Robby Djohan, Direktur Bank Niaga. Kendati belum perlu bunga deposito dinaikkan lagi, harga dana Bank Niaga bisa dipastikan sudah naik. Demikian juga harga dana dari bank-bank lain. Itu bisa dilihat dari naiknya bunga kredit modal kerja dan kredit investasi Pada masa lalu Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo), misalnya, mengenakan kredit investasi dengan bunga 10,5% sampai 13,5%, tapi sejak Juni 1983 bunga untuk kredit itu sudah naik jadi ratarata 18%. Akibatnya, bank kekurangan peminat untuk permintaan kredit investasi. Kata Robby Djohan, "dalam suasana seperti ini, mana, sih, ada orang berani memperluas investasi mereka?"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini