Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JADWAL acara stasiun televisi Disney Channel bisa membuat orang Malaysia bangga. Di antara dominasi program Barat, seperti Shaun the Sheep, Donald Duck Presents, American Dragon: Jake Long, sampai Lilo & Stitch, muncul judul yang sangat Melayu: Upin & Ipin, dan sebelumnya ada Bola Kampung.
Dua judul itu produksi Malaysia. Upin & Ipin berhasil menembus dominasi program dari Barat di Disney Channel meski para eksekutif di Les’ Copaque—perusahaan animasi tempat Upin & Ipin dibuat—tidak menawar-nawarkan produk mereka ke jaringan acara anak-anak dari Hollywood itu. Bagaimana Disney ”jatuh hati” kepada dua anak botak itu sangat sederhana. ”Salah satu manajer Disney membeli DVD Upin & Ipin di Singapura,” kata Haji Burhanuddin Mohammad Radzi, Direktur Pengelola Les’ Copaque Production Sdn. Bhd., menuturkan kejadian tahun lalu itu kepada Tempo.
Si manajer itu rupanya langsung terpikat oleh Upin & Ipin yang kepopulerannya saat itu sudah menjarah Indonesia setelah diputar stasiun televisi TPI. ”Ia memutuskan menelepon kami hari berikutnya,” kata Burhanuddin, yang oleh semua awak studio biasa dipanggil Uncle alias Paman.
Upin & Ipin, yang sebulan ini ditayangkan episode (season) barunya, ternyata bukan animasi Malaysia pertama di Disney—meski kisah bocah kembar ini lebih terkenal. Tiga tahun sebelumnya, Bola Kampung sudah menembus Disney lewat bantuan agen pemasarannya, Peppermint Gmbh, distributor asal Jerman. Agen ini yang memperkenalkan Bola Kampung ke eksekutif Disney. ”Mereka sangat fantastis karena membawa Bola Kampung ke Disney dan memastikannya disiarkan di jaringan itu,” kata Wong Kuan Loong, Presiden Direktur Animasia.
Bukan keberuntungan semata sehingga Upin & Ipin ditarik Disney, melainkan juga hasil kerja keras. Marsha Chikita Fawzi, putri pasangan artis dan politikus Ikang Fawzi dan Marissa Haque yang kuliah di Malaysia dan magang animator di Les’ Copaque, bercerita bahwa ia dan teman-teman sekantornya tidak pernah bisa pulang tepat waktu. ”Biasanya pukul 10 atau 11 malam (kantor) baru sepi,” kata Chikita. Malah kadang mereka menginap di kantor. ”Tidur di bawah meja.”
Meski pengerjaan ini begitu serius, film animasi ini semula tidak terbayang oleh Burhanuddin, miliuner pensiunan pialang minyak dan gas. Pada 2005, istrinya, Ainon Ariff, ingin memproduksi film konvensional, bukan kartun. Tapi mereka bertemu dengan tiga lulusan Universitas Multimedia, Malaysia, yang kepincut pada film animasi sebagai tugas akhir mereka.
Tiga pemuda itu, Mohammad Nizam Abdul Razak, Mohammad Safwan Abdul Karim, dan Usamah Zaid, baru berusia awal 20-an tahun dan sebelumnya sempat bekerja di perusahaan animasi lain. Jadilah mereka mendirikan Les’ Copaque pada akhir 2005. Nama itu sengaja dibentuk dengan gaya Prancis, tapi sebenarnya berasal dari last kopek, jargon Malaysia, yang artinya duit taruhan terakhir.
Target mereka membuat film animasi layar lebar dengan judul Geng: Pengembaraan Bermula, yang akan dipasarkan pada 2008. Saat rancangan skenario film itu dibuat, diceritakan ada karakter seorang bocah kecil yang menjadi penunjuk jalan saat tokoh utama film itu mencari rumah kakeknya. Dalam perkembangannya, bocah kecil yang seorang itu kemudian dijadikan kembar dan botak. Alasannya sederhana: ”Untuk menghemat biaya saat proses rendering.”
Rendering itu salah satu proses yang rumit dalam pembuatan film dengan aplikasi tiga dimensi, yaitu saat animasi karakter digabung dengan latar belakang dan ditambah efek seperti cahaya. Semakin sederhana gambar, semakin cepat dan murah pembuatannya.
Setelah setahun membuat film itu, Burhanuddin merasa bahwa mungkin tokoh si anak kembar botak dari kampung itu bisa disukai. Ia meminta tim segera membuat film pendek untuk menguji pasar sebelum Geng: Pengembaraan Bermula dipasarkan. ”Meskipun semula ide saya ini ditentang tim karena keterbatasan waktu, kemudian kami mengerjakannya,” kata Burhanuddin.
Masalah muncul sedikit. Di Les’ Copaque, selain Burhanuddin dan istrinya, tidak ada yang berusia lewat 25 tahun. Para animator muda itu tidak memiliki pengalaman hidup di kampung. ”Saya memutuskan mengembangkan skenario dengan istri saya, berdasarkan pengalaman saat saya masih kecil,” kata Burhanuddin.
Istri Burhanuddin, Ainon Ariff, berkukuh agar ada ungkapan yang gampang diingat. ”Muncullah ’betul, betul, betul’,” kata Burhanuddin. Mereka juga memperkuat karakter Ipin sebagai bocah yang tergila-gila makan ayam goreng.
Targetnya, seri yang berkisah tentang bocah lima tahun belajar puasa ini bisa diputar pada Ramadan 2007. Namun tenggat sudah mepet, padahal karakter belum lengkap. Orang tua bocah kembar itu belum dibuat. Maka jadilah Upin dan Ipin yatim piatu. Namun ”kecelakaan” ini malah menjadi berkah karena ketiadaan tokoh orang tua membuat jalan cerita tidak terlalu sarat petuah dan nasihat.
Sadar bahwa pasar Indonesia sangat besar, Upin & Ipin juga ditambah tokoh Susanti, bocah dari Indonesia di kampung mereka. ”Ini ditambahkan untuk membuat kami lebih dekat dengan penggemar Indonesia,” kata Burhanuddin, yang di masa muda kuliah di Jurusan Perminyakan Institut Teknologi Bandung. ”Ini strategi pemasaran.”
Les’ Copaque memiliki target agar animasi ini bisa bertahan puluhan tahun. Itu sebabnya, usia Upin dan Ipin tidak akan bertambah tua. Contohnya, Doraemon bisa empat dekade bertahan di Jepang. ”Kami hanya akan memperbaiki cara pembuatan agar proses animasi lebih mudah,” kata Burhanuddin.
Nur Khoiri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo