Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mendongkrak Harga

Pt bina reksa perdana didirikan untuk menyangga harga cengkih. bekerja sama dengan pt kerta niaga. para produsen rokok yang tergabung dalam gappri akan mendirikan perusahaan penyangga tandingan.

16 Juni 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PETANI cengkih belakangan ini terkesan lebih eksklusif dibanding petani-petani lainnya. Sudah hampir sebulan lebih, nasib petani emas cokelat itu diperbincangkan di mana-mana. Di kalangan universitas, pengusaha, gubernur, Menteri Perdagangan, hingga tingkat Menko Ekuin. Topik yang dibicarakan tak pernah bergeser dari soal "bagaimana mengangkat nasib petani cengkih". Atau tegasnya, apa yang harus dilakukan, agar harga cengkih tidak anjlok jauh di bawah harga patokan. Sebelum ada "pembelian masal" seperti itu, sudah lama petani cengkih menjadi bulan-bulanan pengumpul dan pedagang antarpulau. Yang paling parah terjadi pertengahan 1988 silam. Ketika itu panen raya, dan si emas cokelat hanya dihargai Rp 3.000 per kilo. Bahkan di Ambon, cengkih kering ditawar Rp 2.500/kg. Dan kenestapaan ini berlarut-larut. Dalam situasi seperti itulah, muncul PT Bina Reksa Perdana (BRP). Perusahaan milik Tommy Hutomo Mandala Putra ini sengaja didirikan untuk menyangga harga cengkih bersama-sama BUMN PT Kerta Niaga. Pemerintah tak punya cukup uang menyangga misi yang mulia itu. Ketika harga jatuh pada 1988, misalnya, pemerintah hanya memasok dana Rp 67 milyar. Dalam keadaan seperti itu, peran BRP yang bermodal tangguh tentu menjadi sangat penting. Memang dia tak sendirian. Dalam melakukan pembelian dari petani, BRP dibantu oleh dua rekannya: PT Sinar Utara Agung, yang berkantor di Sulawesi Utara, dan PT Kerta Niaga. "Kami hadir dengan itikad untuk mengangkat petani dan menstabilkan harga," kata Tonny Hardianto, Presdir BRP yang mewakili Preskomnya, Tommy Mandala Putra. Dan ia tidak asal bicara. Buktinya, ketika BRP melakukan pembelian sekitar 20 ribu ton cengkih kering, harga bisa dikerek ke angka Rp 9.000 sampai Rp 10.000 per kilo. Hanya luput diketahui, di daerah mana harga Rp 10.000 per kilo itu terjadi. Beberapa petani yang dihubungi TEMPO d SulUt mengatakan, hasil kebun mereka masih ditawar di bawah harga patokan yang ditetapkan pemerintah (Rp 6.500). Kini kehadiran BRP mulai mengkhawatirkan para produsen rokok, yang adalah konsumen cengkih terbesar. Mereka ketakutan BRP akan memonopoli perdagangan cengkih," kata Tonny. Itu terlihat pada niat Gappri (Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia), yang berkehendak mendirikan perusahaan penyangga tandingan. Menurut Soegianto, Ketua Harian Gappri, pibaknya memang telah menyampaikan usul itu kepada pemerintah. Kelak kalau diterima, perusahaan penyangga ciptaan Gappri itu juga akan membeli cengkih sesuai dengan harga patokan. "Kendati di pasaran harganya turun jauh," begitu tekadnya. Lantas berapa harga cengkih yang layak? Hasil penelitian di Universitas Sam Ratulangi, Manado, menyebutkan angka Rp 12.500 per kilo, sementara Tonny Hardianto mematok angka Rp 10 ribu. "Kami tidak akan munafik. Kami akui, kami pun membutuhkan keuntungan," katanya. Dengan harga pokok Rp 10 ribu itu, BRP akan menjualnya Rp 12.500 sampai Rp 13.000 per kilo. Pendapat yang sama dikemukakan oleh C.J. Rantung, Gubernur Sul-Ut. Menurut dia, harga dasar pemerintah, Rp 6.500, sebenarnya hanya layak bagi petani dengan lahan di atas 5 ha. Mereka yang memiliki kebun di bawah itu akan merugi. Padahal, di Sul-Ut, ada sekitar 20 ribu petani cengkih yang kebunnya kurang dari satu hektare. Usul Gappri, "masih dalam pembicaraan," kata Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, Kumhal Djamil. Kata dia, siapa pun yang akan terjun sebagai penyangga, itu bukanlah soal. "Yang penting, petani tidak dirugikan, dan peran KUD sebagai stabilisator harga tetap berjalan." Budi Kusumah, Moebanoe Moera

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus