Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Mufti Mubarok menolak usulan kenaikan harga tiket pesawat. Ia merespons Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra yang meminta harga tiket pesawat naik lantaran biaya operasional mahal. "Biaya operasional mahal adalah alasan klasik untuk mencari cara menaikkan harga tiket pesawat," kata Mufti melalui aplikasi perpesanan kepada Tempo, Sabtu, 25 Mei 2024.
Alih-alih menaikkan harga tiket, menurut Mufti, maskapai penerbangan mestinya justru mendesak pemerintah mengurangi pajak-pajak yang memberatkan maskapai. Sebab, kata dia, pada akhirnya konsumen yang menjadi korban dengan beban harga tiket selangit. "Terutama (harga tiket) Garuda," ujarnya.
Lebih lanjut, Mufti tidak setuju jika harga tiket pesawat naik karena menurutnya saat ini harga tiket sudah tinggi, tetapi hak-hak konsumen sering terabaikan. Ia menilai, layanan maskapai penerbangan di tanah air masih kurang prima dibanding layanan maskapai pesawat luar negeri. "Pesawat delay cukup lama masih menjadi hal biasa bagi penerbangan di Indonesia," kata Mufti.
Sebelumnya, Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra meminta Kementerian Perhubungan (Kemenhub) merevisi kebijakan tarif batas atas atau TBA tiket pesawat. Pasalnya, besarannya belum berubah sejak 2019. "Walaupun kami tahu enggak mudah, tapi akan tetap kami sampaikan kondisi nyatanya saja bahwa semua (harga) naik," ucapnya di Gedung Manajemen Garuda Indonesia, Tangerang, Rabu, 22 Mei 2024.
Irfan menyadari kenaikan tarif batas atas tiket pesawat berpotensi menuai protes dari masyarakat. Namun, ia meminta tidak membandingkan harga tiket penerbangan domestik dengan penerbangan internasional. Terlebih membandingkan pelayanannya, lalu menyimpulkan harga tiket pesawat mahal.
Irfan lantas menjelaskan, pesawat bukan moda transportasi utama, melainkan memang digunakan oleh kalangan tertentu yang terkadang juga memiliki kepentingan tertentu. Ia pun berharap masyarakat dapat memahami jika pesawat membutuhkan ongkos yang mahal. "30 persen dari cost biaya kita tuh avtur, 30 persen sewa 20 sampai 30 persen maintenance. Mau dibikin maintenance 0? bisa," ucapnya.
Menurutnya, perusahaaan perlu memastikan hitungan tersebut. Jika terjadi kerusakan, pesawat tidak akan bisa terbang, sedangkan jadwal penerbangan harus tetap terlaksana. Ia juga mengatakan pengoperasian pesawat tidak bisa langsung bertanggung jawab dengan hanya mengucap maaf, lalu menyuruh penumpang untuk mencari jalan lain ke tempat tujuan. "Ini bisnis yang mahal dan ini bisnis yang single digit," ujarnya.
RIRI RAHAYU | AISYAH AMIRA WAKANG
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini