Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

BPOM Temukan 50 Obat Tradisional dan 181 Kosmetik Berbahan Kimia Berbahaya

BPOM menemukan 50 item obat trandisional yang mengandung bahan kimian obat dan 181 item kosmetik mengandung bahan dilarang atau berbahaya selama September 2022-Oktober 2023.

14 Desember 2023 | 08.21 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pengawasn Obat dan Makanan (BPOM) menemukan 50 item obat trandisional yang mengandung bahan kimian obat dan 181 item kosmetik mengandung bahan dilarang atau berbahaya selama September 2022-Oktober 2023. Total temuan obat trandisional sebanyak lebih dari satu juta pieces dengan nilai keekonomian mencapai lebih dari Rp 39 miliar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Temuan produk itu tersebar di seluruh Indonesia, terutama di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, Riau, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Kalimantan Timur, Bali dan Sulawesi Selatan,” ujar Pelaksana Tugas Jepala BPOM L. Rizka Andalucia dalam keterangan tertulis dikutip dari website BPOM pada Kamis, 14 Desember 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tren penambahan bahan kimia obat pada produk obat tradisional masih didominasi oleh bahan kimia sildenafil sitrat dan tadalafil dengan klaim penambah stamina pria. Selain itu ada juga bahan kimia deksametason, fenilbutazon, dan parasetamol untuk mengatasi pegal linu, disusul sibutramin dengan klaim pelangsing.

Selain itu, ada juga obat trandisional yang mengandung bahan kimia obat efedrin, pseudoefedrin HCl, ibuprofen, natrium diklofenak, asam mefenamat, prednisolon, vardenafil HCl, dan yohimbin HCl. “Bahan kimia obat tidak boleh ditambahkan dalam obat tradisional,” katanya.

Kandungan tersebut berisiko membahayakan kesehatan bagi yang mengonsumsinya. Penambahan bahan kimia obat juga dapat menimbulkan efek samping berupa kehilangan penglihatan dan pendengaran, nyeri dada, pusing, serangan jantung, gangguan ginjal, gangguan hormon,  hepatitis, bahkan kematian. 

Dalam studi awal yang dilakukan BPOM dengan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 2016, diperkirakan beban penyakit (cost of illness) gagal ginjal. Di mana diakibatkan oleh konsumsi obat tradisional mengandung bahan kimia obat sebesar Rp 562 juta hingga Rp 200 miliar per tahun.

Sedangkan untuk kosmetik, jumlah total sebanyak 1,2 juta pieces dengan total nilai keekonomian mencapai Rp 42 miliar. “Komestik ini tersebar di seluruh Indonesia, terutama di daerah DKI Jakarta, Jawa Timur, Sumatra Utara, dan Sulawesi Selatan,” kata Rizka.

Untuk bahan dilarang atau berbahaya yang ditemukan pada kosmetik didominasi oleh penambahan merkuri, asam retinoat, dan hidrokuinon pada produk krim wajah, serta pewarna merah K3 dan merah K10 pada produk riasan wajah. Penambahan merkuri mengakibatkan perubahan warna kulit berupa bintik-bintik hitam, alergi, iritasi kulit, sakit kepala, diare, muntah-muntah dan kerusakan ginjal. 

Penggunaan asam retinoat mengakibatkan kulit kering, rasa terbakar, dan perubahan bentuk atau fungsi organ janin (bersifat teratogenik). Sedangkan penggunaan hidrokuinon mengakibatkan hiperpigmentasi, menimbulkan ochronosis (kulit berwarna kehitaman), serta perubahan warna kornea dan kuku. Sementara pewarna merah K3 dan merah K10 berisiko menyebabkan kanker (bersifat karsinogenik).

Selain itu, BPOM juga menindaklanjuti temuan berdasarkan laporan beberapa otoritas pengawas obat dan makanan di ASEAN melalui Post Market Alert System (PMAS) Brunei Darusalam, Malaysia, Myanmar, Thailand, dan Singapura, serta informasi yang dipublikasikan otoritas pengawas obat dan makanan di Amerika Serikat, Kanada, dan Hong Kong. Dari laporan, diketahui sebanyak 143 item obat tradisional dan sumplemen kesehatan mengandung bahan kimia obat, serta sebanyak 43 item kosmetik mengandung bahan dilarang atau berbahaya.

“Semua produk yang dilaporkan otoritas pengawas obat dan makanan negara lain itu merupakan produk yang tidak terdaftar di Indonesia, namun berdasarkan hasil pengawasan ditemukan beberapa produk yang beredar,” ucap Rizka.

Adapun terhadap pelanggaran penambahan bahan kimia obat, bahan dilarang/ berbahaya, atau tidak memenuhi syarat dapat dikenakan sanksi. Mulai dari sanksi administratif dalam bentuk peringatan tertulis, penarikan, pemusnahan, penghentian sementara kegiatan.

Sanksi lainnya, ada pencabutan sertifikat cara pembuatan obat tradisional yang baik (CPOTB) atau sertifikat cara pembuatan kosmetik yang baik (CPKB), sertifikat pemenuhan aspek CPOTB atau sertifikat pemenuhan aspek CPKB, serta pembatalan atau pencabutan nomor izin edar. Hal itu sesuai dengan Peraturan BPOM Nomor 19 tahun 2021 tentang Pedoman Tindak Lanjut Hasil Pengawasan Obat Tradisional, Obat Kuasi, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetika. 

Selain sanksi administratif, pelaku usaha yang memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, dan mutu dapat dikenakan sanksi pidana. Hal ini sebagaimana Pasal 435 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan dengan ancaman pidana penjara paling lama 12 tahun atau pidana denda paling banyak Rp5 miliar.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus