APA yang terjadi sebenarnya? Ketika harga minyak kini cenderung menguat, mengapa orang berduyun memborong dolar dan valuta asing lainnya seperti hendak mengosongkan isi lemari besi Bank Indonesia? Siapa yang tidak miris melihat transaksi valuta asing (valas) di Bursa Valuta Asing (BVA) Bl memasuki minggu kedua Juni ini diam-diam sudah mendekati defisit US5 200 juta. Padahal, baru Mei lalu, pot devisa bank sentral berkurang (defisit) US$ 576 juta. Tak seorang pun bisa menjelaskan mengapa orang begitu bersemangat memborong valas kendati baru September lalu rupiah didevaluasikan. Ada yang menduga pemborongan itu dipengaruhi oleh berita bocornya laporan Bank Dunia, yang menyebut tingkat pembayaran utang dibandingkan hasil ekspor (debt service ratio) tahun ini akan mencapai 41%. Padahal, ketika pemerintah mengantarkan RAPBN 198788, Januari lalu, DSR itu disebut baru 32%. Tapi ada juga yang menyebut gelombang itu muncul setelah sebuah terbitan berkala di Jakarta menyebut cadangan devisa di tangan BI berkurang 30%. Hasil itu muncul sesudah para ahli dari lembaga penasihat binis itu mengurangkan aktiva emas dan aktiva luar negeri dengan pasiva luar negeri bank sentral - seperti terbaca di Neraca Mingguan Singkat BI. Cara menaksir lemari BI dengan metode seperti itu sesungguhnya sangat riskan. Sebab, di pasiva luar negerl, misalnya, sebelum 5 Maret, dimasukkan juga pinjaman komersial yang sudah ditarik pemerintah tapi belum dipakai. Dengan persetujuan IMF (Dana Moneter Internasional), pinjaman komersial ini kemudian dikeluarkan, dan ditempatkan dengan nama pos "lainnya" pada rekening pemerintah. Cadangan devisa juga sulit diketahui awam, karena transaksi antara BI dan pemerintah untuk pembelian dolar dari pajak minyak tak diketahui - kendati angkanya selalu surplus. Di samping itu, ada juga pemasukan valuta asing yang berasal dari sap ulang. Sesungguhnya, hanya pihak otoritas moneter saJa yang bisa mengetahui perubahan cadangan devisa itu dari hari ke hari. Jadi, analisa dari berkala itu bisa dibilang ceroboh. Sayang, setelah devaluasi September lalu, sangat sedikit orang yang mau bersikap agak dingin dan rasional. Desember lalu, buktinya, transaksi valas di BVA defisit sampai US$ 1.715 juta - yang dijual BI US$ 1.809 juta, tapi yang dibeli kembali hanya US$ 94 juta. Bandingkan dengan angka. Maret 1983, beberapa hari sebelum devaluasi, yang defisitnya "hanya" US$ 1.000 juta. Orang tampaknya percaya, menjelang RAPBN 1987-88 diantar ke DPR, pemerintah juga akan mengantar sebuah berita buruk: devaluasi lagi. Para pengusaha rupanya terpengaruh. Indikasinya bisa dilihat dari masuknya sap ulang ke BI, yang mencapai US$ 681 juta di bulan Desember itu. Masyarakat pemilik uang seperti tak percaya pada rupiah. "Kepercayaan pada rupiah kini memang sangat guncang," kata ekonom Kwik Kian Gie. "Itu kita rasakan dan kita dengar kalau kita berbicara dengan siapa saja. Dan sampai hari ini pun, kebanyakan orang masih bertanya-tanya apakah akan ada devaluasi lagi atau tidak." Haruskah pemerintah memberi penjelasan untuk memulihkan kepercayaan itu ? Menurut Kwik, pemerintah harus cepat memberikan penjelasan, karena kcadaan yang sebenarnya kini sedang kuat. BI, katanya, sudah berkali-kali memberikan pernyataan, pemenntah punya cadangan devisa US$ 5,1 milyar, di samping pinjaman siaga US$ 2,4 milyar. "Tapi pemerintah harus konsisten, kalau bilang tidak ada devaluasi, ya jangan dilakukan," tambah Kwik. Orang memang seperti kehilangan pegangan, ketika September lalu pemerintah mendadak mendevaluasikan rupiah. Padahal, di tengah merosotnya harga minyak hingga pernah tinggal US$ 9 per barel di bulan Agustus, orang sudah menahan diri tak memborong dolar karena dijanjikan tak akan ada devaluasi. Sebuah luka sudah menganga. Uang seperti sulit mencari pintu investasi, karena dunia usaha masih dibayangi banyak peraturan, birokrasi, dan monopoli. Situasi seperti itu, tentu saja, merupakan sebuah ladang empuk bagi kalangan lembaga keuangan dan para pialang surat-surat berharga di luar negeri untuk menawarkan investasi menarik dengan janji akan memperoleh untung besar. Mula-mula mereka hanya melayangkan terbitan berkala, yang memuat pelbagai informasi cara investasi, yang menjanjikan penghasilan tinggi. Tapi para pialang surat berharga dari Jepang, seperti Nomura atau Daiwa Securities, biasanya langsung masuk kamar kerja lewat teleks. Mereka biasanya beroperasi dari Singapura, Hong Kong, Tokyo, bahkan dari Pantai Barat Amerika. Kalau ada seseorang yang dianggap potensial, mereka langsung menyatakan ingln bertemu pukul sekian dan tanggal sekian. Yang mereka tawarkan biasanya investasi di surat-surat berharga macam saham, obligasi, serta surat pernyataan piutang. Home & Overseas Investment S.A. dari London misalnya, menjajakan investasi menarik dalam M & G Island Fund khusus untuk investor yang tinggal di luar Inggris, yang berminat menanamkan uang di pasar modal negeri itu. Seseorang yang menanamkan uangnya dalam dolar di M & G Island Fund dijanjikan mendapat penghasilan 52,3%. Tapi, kalau dalam Swiss franc, yang mata uangnya lebih kuat terhadap dolar, penghasilannya sekitar 14,5%. Mereka yang bersedia mempercayakan pengelolaan uangnya di situ dikenai biaya 5% ketika masuk, dan dipungutfee tahunan 0,875% dari penghasilannya. Kalangan perbankan asing juga menawarkan jasa menggiurkan dengan nama pnvate banking untuk nasabah yang bersedia mempercayakan pengelolaan uangnya minimum US$ 400 ribu padanya. Kalau mereka menjamin bisa memberikan penghasilan di atas 30%, siapa sih yang tidak tertarik? Mengapa harus menanam di deposito rupiah, yang masih dibayangi devaluasi, dan kenapa harus beli saham Bir Bintang kalau dividennya kena pajak? Anggapan itu tidak keliru. Sebab, bank devisa milik pemerintah pun berikhtiar melakukan pengelolaan kekayaannya dengan cara mirip itu untuk memperoleh penghasilan tinggi. Larinya dana rupiah ke luar itu rupanya sangat tinggi. Scorang pejabat di perusahaan pialang surat-surat berharga Jepang menaksir jumlah penanaman modal dari Indonesia di bursa saham Jepang mencapai satu trilyun yen, nomor dua setelah Hong Kong. Jika angka itu benar, maka peluang menciptakan lapangan kerja bagi puluhan ribu orang otomatis terbang ke negara lain. Belum lagi hilangnya kesempatan memperoleh devisa. Bagaimana mengerem pelarian modal itu? Suku bunga deposito rupiah sudah naik sejak pertengahan Mei, tapi mengapa dolar masih ditubruk? Ada kalangan menyarankan, jika pelarian modal ingin direm, importir tertunjuk dan importir tunggal (monopoli) harus dikurangl, agar Iklim usaha sehat. Deregulasi dan debirokratisasi juga harus sampai ke aparat pelaksana. Memang, seperti dikatakan seorang pejabat ekonomi yang berwenang, "Selama masalah deregulasi belum juga tuntas, selama itu pula isu adanya devaluasi sulit mereda." Kalau benar begitu, untuk memulihkan kepercayaan pada rupiah, suatu pukulan yang jitu, seperti senjata ampuh Inpres No. 4, sudah saatnya dilakukan di sektor perdagangan, tanpa pilih kasih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini