KENDATI harga kopi sedang encer, pengusaha kopi Indonesia rupanya tak pelit untuk mentraktir 16 anggota badan eksekutif Organisasi Kopi Internasional (ICO) beserta seluruh sekretariatnya dari London melangsungkan sidang selama enam hari di Bali, pekan lalu. Ketua panitia, Said Umar Husin, mengungkapkan, anggaran untuk sidang ICO di Bali ini besarnya US$ 300.000, atau sekitar RD 500 juta. "Dananya bukan dari APBN, melainkan dari Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI)," kata ketua kompartemen luar negeri AEKI itu. Sidang badan eksekutif ICO itu sebenarnya bukan masalah istimewa. Agendanya, menurut Ketua Badan Eksekutif Frits du Bois dari Peru, terutama membahas stok kopi di negara-negara produsen: verifikasi berdasarkan pengecekan langsung ke gudang negara-negara eksportir. Tidak lebih? "Lalu, apa lagi yang Anda harapkan dari sidang ini," ujar Du Bois kepada TEMPO. Ini memang hanya sidang badan eksekutif, yang terdiri dari delapan wakil pemerintah dari 50 negara produsen kopi dan delapan wakil pemerintah dari 25 negara konsumen anggota ICO. Indonesia tidak mempunyai suara di situ. Tugas badan eksekutif hanyalah menyelesalkan keputusan sidang pleno yang lalu, serta mempersiapkan bahan untuk sidang pleno ICO. Toh, Du Bois mengakui, pembicaraan di Bali ini bisa mempengaruhi pembicaraan sidang pleno ICO, yang akan berlangsung di London, September mendatang. Ketika sidang baru berjalan dua hari, ia sudah mengeluarkan pernyataan bahwa pertemuan di Bali ini cukup positif. "Para anggota mau kembali ke meja perundingan," katanya. Maklum, kendati sidang pleno ICO di London terakhir berlangsung beberapa minggu (Februari--Maret lalu), nyatanya gagal menelurkan kesepakatan memberlakukan kembali kuota kopi yang telah dibekukan sejak Februari 1986. Sebabnya, ada usul dari tiga kelompok yang sulit dikawinkan. Sebagian besar produsen kopi, yang dipimpin Brasil, menginginkan rumusan kuota seperti dulu. Kelompok delapan negara produsen, termasuk Indonesia, menginginkan rumusan kuota baru. Sedang kelompok konsumen umumnya mendukung usul kelompok delapan, tetapi dengan formulasi berbeda. Sidang ICO di Hotel Nusa D.ua Beach itu ternyata mirip sidang pleno. Tak kurang dari 300 peserta (100 dari luar negeri) datang, sehingga panitia harus mempersiapkan kamar di Bali Sol Hotel, Puteri Bali Hotel, dan Bualu Hotel, selain di Nusa Dua Beach Hotel. "Pesta kopi" itu memang terbagi dua: pagi hari sidang badan eksekutif ICO (berlangsung tertutup), sorenya ada seminar tentang kopi Robusta. Dalam seminar itulah semua delegasi, termasuk produsen dan konsumen kopi Arabica, bisa meletupkan unek-uneknya tentang ICO. Brasil, yang semula dikabarkan ingin memboikot, ternyata datang bersama tujuh peninjau. "Kami datang karena diundang," ujar Senator Camato dari delegasi Brasil, dengan nada diplomatis, di hari pertama. Negara-negara Afrika penghasil kopi Robusta, yang menganggap Indonesia sebagai saingan, juga tak ketinggalan. Bahkan menteri pemasaran dan koperasi dari Uganda, Sebana Kiito, beberapa kali menyatakan kegirangannya karena diberi kesempatan membawakan makalah tentang pasar kopi Robusta Afrika. AEKI ditunjuk sebagai penyelenggara, menurut beberapa pejabat tinggi Departemen Perdagangan, adalah dalam upaya debirokratisasi dan liberalisasi. Karena pemerintah tidak mempunyai anggaran, maka AEKI sendiri yang mencari biayanya. "Betul, ICO adalah organisasi pemerintah. Kuota ICO untuk Indonesia jelas untuk seluruh rakyat Indonesia. Wajar, kalau AEKI, yang menikmati kuota, berjuang untuk pemerintah dan rakyat Indonesia di ICO," ujar Ketua AEKI, Dharyono Kertosastro. Penyelenggaraan sidang ICO ini diakuinya untuk "menjual Indonesia", yang sudah jadi anggota ICO sejak 1962, dan kini menjadi penghasil kopi nomor tiga terbesar di dunia, setelah Brasil dan Kolumbia. Tctapi Indonesia tidak terwakili di badan eksekutif ICO. Kuota untuk Indonesia hanya 4,5% padahal Indonesia sekarang ini minimal bisa memasok 6% dari seluruh kuota ICO. Karena itu, lobby Indonesia di organisasi kopi itu hendak diperkuat. "Selama ini melihat delegasi Indonesia saja mereka tidak mau. Bahkan ada yang bilang Indonesia kurang ajar, menari-nari di atas bangkai orang lain," tutur Dharyono. Tahun silam, perkebunan kopi Brasil memang dilanda kekeringan, sehingga tidak bisa memenuhi kuota. Akibatnya, kuota dibekukan ICO. Kebetulan, Indonesia berhasil meningkatkan ekspor ke pasar kuota sampai 234.120 ton (Oktober 1985-September 1986), jauh di atas kuota 1984-1985 yang 147.300 ton. Kelemahan Indonesia tampak jelas di sidang pleno ICO yang lalu. Waktu itu, Indonesia mengusulkan perumusan kuota baru berdasarkan kemampuan masing-masing dalam lima tahun terakhir. Usul Indonesia hanya didukung tujuh negara. Setelah dilakukan voting, kelompok delapan itu hanya mengumpulkan 41 suara, sangat kecil untuk sidang ICO yang memiliki 2.000 suara (1.000 suara produsen dan 1.000 suara konsumen). Jelas, waktu itu Indonesia ditentang Brasil, sebagai pemegang kuota terbesar (33%), dan negara-negara penghasil kopi Robusta dari Afrika. Setelah pertemuan Bali itu, lobby Indonesia tampaknya ada harapan menjadi lebih kuat. Menteri Perdagangan Rachmat Saleh, Menteri Pertanian Achmad Affandi, Menteri Muda Urusan Peningkatan Tanaman Keras Hasjrul Harahap, dan Dharyono Kertosastro, menguraikan betapa besarnya peranan kopi bagi ekonomi Indonesia. Kopi merupakan sumber devisa nonmigas terbesar setelah tekstil dan kayu lapis. Di seminar Robusta itu terungkap bahwa Robusta Indonesia ternyata belum merupakan ancaman bagi kopi Arabica Brasil. Mcnurut Direktur Eksekutif ICO, Alexandre Beltrao, Robusta memang lebih mudah dipasarkan karena lebih murah dari kopi Arabica. Tetapi, ketika suplai kopi Arabica Brasil berkurang, konsumen mencari kopi Arabica dari Kolumbia. Pertemuan di Bali itu ternyata telah menimbulkan rasa simpati Brasil. "Dari sini kami mengusulkan kerja sama Brasil dengan Indonesia lebih jauh," kata Senator Camato, beberapa saat sebelum pulang. Pernyataan itu ditimpali Beltrao, yang juga warga Brasil, "Yang penting, sekarang ini, bukan kerja sama teknologi, melainkan bagaimana menjaga harga yang wajar bagi Robusta dan Arabica." M. Wangkar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini