Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bukan Laporan Aneh Di Rabu Malam

Pengumuman kenaikan harga bbm, dan perincian biaya produksi bbm. (eb)

21 Januari 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENTERI Pertambangan & Energi Subroto mengumumkannya pukul 23.00, di sela-sela film terakhir TVRI Rabu pekan lalu. Menteri memperhitungkan, konon, pada jam selarut itu, pengumuman kenaikan harga BBM tak akan memberi kesempatan kepada banyak orang untuk membanjir ke pompa bensin - dengan niat merebut kans terakhir beberapa menit sebelum harga baru. Tapi orang tak membanjir: naiknya harga BBM yang disiarkan di sela-sela film Strange Report itu bukan laporan yang aneh. Khalayak sudah siap, termasuk para pemilik pompa bensin. Sejak Presiden Soeharto Senin sebelumnya di DPR berpidato tentang RAPBN yang baru, dugaan kian kuat bahwa harga BBM tak akan ditahan lagi. Yang ditunggu orang ramai hanya perincian tarif tiap-tiap jenis BBM dan persentase kenaikannya. Dari perincian yang diumumkan pun akhirnya tak ada yang mengejutkan. Seperti diduga sebelumnya, yang naik tajam harga minyak tanah, solar, diesel, dan minyak bakar (TEMPO, 14 Januari). Minyak tanah dari Rp lOO jadi Rp l50 per liter, solar dari Rp 145 jadi Rp 220. Minyak diesel jadi Rp 200 (tadinya Rp 125), persis sama dengan minyak bakar. Premium, yarg banyak dipakai para pemilik mobil dan motor, naik sedikit: dari Rp 320 jadi Rp 350. Harga avigas dan avtur tetap Rp 300. Super 98 tak beranjak: Rp 400. Pertanyaan yang sudah agak lama timbul ialah: dari mana pemerintah memperhitungkan harga baru itu? Harian Kompas edisi Minggu yang terbit 15 Januari, misalnya, masih menanyakan perkara ongkos produksi BBM. Tapi Kamis pekan lalu, dalam suatu pertemuan terbatas dengan pers, Menteri Subroto sebenarnya sudah mulai gamblang. Ia membuka angka-angka biaya produksi BBM yang kini dijual ke masyarakat. Pengeluaran untuk mengadakan BBM, kata Subroto, Rp 6,9 trilyun. Ini bermula dari naiknya kebutuhan akan BBM, yang pada 1984-1985 akan jadi 27 juta kiloliter. Kenaikan hampir 30% dari tahun lalu itu diperkirakan sebagai akibat akan meningkatnya kebutuhan akan minyak bakar dan solar untuk industri - yang Insya Allah akan mulai sibuk. Ongkos produksi BBM untuk jumlah yang mendaki itu juga ikut mendaki. Uang yang harus siap untuk menyediakan minyak mentah calon BBM mencapai Rp 5,4 trilyun. Dari bahan mentah itu, jenis crude murah yang didapat pemerintah mulai tahun ini tak sebanyak dulu lagi. Perubahan perjanjian dengan perusahaan minyak asing terbesar, Caltex, telah menentukan hal itu. Dalam sistem bagi hasil yang berlaku kini, jumlah crude murah yang disebut pro rata ini tinggal 25 juta barel tadinya, ketika perjanjian "kontrak karya" masih berlaku, pro rata itu 62 juta barel. Sedangkan biaya operasi (biaya distribusi, angkutan, bunga, dan penyusutan) Rp 1,5 trilyun. Sementara volume crude yang sangat murah (harga: US$ 0,20 per barel) itu berkurang, bertambahlah volume unsur minyak mentah yang harus dibeli dengan harga internasional - yang dalam kontrak dijuluki in kind. Tahun lalu jumlahnya 127 juta barel, tahun ini akan sampai 164 juta. Uang yang harus keluar untuk porsi in kind itu tahun lalu Rp 3,8 trilyun, tahun ini akan jadi Rp 4,8 trilyun. Tak kurang peranannya dalam kenaikan ongkos produksi BBM ialah biaya operasi. Terutama biaya penyusutan dan jumlah bunga yang harus dibayar. Maklum, beberapa kilang baru di Cilacap, Dumai, dan Balikpapan 90% dibiayai dengan pinjaman luar. Maka, bunga pun tahun ini naik drastis: dari Rp 41 milyar menjadi Rp 313 milyar. Biaya penyusutan pun tahun ini jadi Rp 255,1 milyar. Tahun lalu Rp 155,1 milyar. Jelaslah, kata Subroto mengulangi alasan yang selalu dikemukakan pemerintah, biaya produksi BBM tambah mahal dan tambah besar pula subsidi negara untuk mempertahankan harga BBM bagi rakyat. Sang subsidi akan jadi Rp 2,7 trilyun, seandainya harga BBM tak dinaikkan. Maka, naiklah harga BBM itu. Tak ada yang kaget meskipun banyak yang cemas. Harga-harga pasti akan naik, dan gaji pegawai negeri yang cuma diangkat 15% bisa tenggelam lagi. Berarti daya beli masyarakat akan tetap rendah, dan perdagangan akan lesu. Tapi tentang itu pemerintah sudah siap menjawab, rupanya. Ongkos transpor akan naik, memang, tapi tak selamanya seimbang dengan naiknya harga BBM. Ongkos angkutan udara tak naik, juga angkutan barang dengan truk masih bisa ditanggung. Listrik akan kian mahal, pasti, juga beberapa barang lain, tapi pemerintah punya pengalaman: dari catatan dua tahun yang lalu, angka inflasi memang didera oleh naiknya harga BBM tapi tak lama lonjakan itu terjadi (lihat grafik). Yang diharapkan ialah, mudah-mudahan tahun ini harga tetap tenang dan orang tetap sabar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus