DI Kediri, pusat industri kretek Gudang Garam, rokok mampu memberi penghidupan pada hampir 50 ribu buruh di sana. Tidak itu saja. Bagi pemerintah, pemasukan dari pita cukai pelbagai merek rokok, pada tahun anggaran berjalan ini, memberikan sumbangan cukup berarti. Sekitar 13% penerimaan pajak di luar minyak dan gas bumi, yang Rp 4,9 trilyun, diharapkan berasal dari sini. Karena alasan itulah, Menteri Keuangan Radius Prawiro tak ingin sedikit pun lengah dalam mengumpulkan rupiah dari cukai rokok itu. Belum lama ini, Menteri Radius mengeluarkan sebuah ketentuan baru mengenai pengaturan kembali bagian pemerintah pada pita cukai Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM). Mulai 1 November 1983 sampai 31 Maret 1984, bagian pemerintah untuk setiap merk SKM atau SPM, yang dihasilkan sampai dengan satu milyar batang setahun, naik dari 35% jadi 37,5%. Sedangkan untuk kedua jenis rokok itu, yang dalam setahun dihasilkan lebih dari satu milyar batang, bagian pemerintah tetap 40%. Kata direktur Cukai, Saryatmo, ketentuan mengenai tarif (bagian pemerintah) pada kedua jenis rokok itu secara bertahap "akan diseragamkan." Kapan penyeragaman yang akan menghasilkan tarif tunggal itu dilakukan, Saryatmo tidak mengungkapkannya. Tapi diduga, hal ini akan dilakukan sesudah ketentuan baru tadi habis pada Maret nanti. Maklum, untuk tahun 1984-1985, pemerintah menganggarkan pemasukan seluruh cukai (termasuk untuk minuman keras yang jumlahnya kecil) sebesar Rp 727,5 milyar - hampir 6% di atas sasaran tahun berjalan. Tahun ini, penerimaan cukai sampai semester pertama baru Rp 334,4 milyar atau sekitar 48,6% dari target yang Rp 687,9 milyar. Namun, agak tumben, tarif Sigaret Kretek Tangan (SKT) kali ini tidak naik. Sudah sejak awal tahun lalu, untuk rokok jenis ini yang dalam setahun dihasilkan lebih dari empat milyar batang, misalnya, tarifnya tetap 25%. Kata Saryatmo, pemerintah sengaja tak menaikkan tarif SKT mengingat banyak pengusaha kecil yang bergerak di situ. Seperti diketahui, untuk pengusaha kecil yang setahun menghasilkan SKT sampai dengan 100 juta batang hanya dikenakan tarif cukai 15%. "Kenaikan tarif cukai hanya dilakukan untuk pengusaha kuat yang menghasilkan rokok dengan mesin," kata Saryatmo. Bagi raksasa seperti Gudang Garam, yang tahun lalu nenghasilkan 26 milyar lebih batang rokok, dan menyetor cukai Rp 253 milyar lebih, efek kenaikan tarif semacam itu seperti angin lewat. Pabrik rokok ini, yang tahun lalu memperoleh keuntungan sesudah pajak hampir Rp 80 milyar dari total penjualan Rp 700 milyar, hampir tak goyang dalam menghadapi perubahan pelbagai ketentuan di bidang cukai tembakau. Bahkan, pabrik ini tetap tak sempoyongan ketika, mulai I November 1983 itu, pemerintah memperpendek jangka pelunasan utang cukai yang semula 3,5 bulan menjadi 3 bulan. Likuiditas si Gudang Garam memang cukup kuat, apalagi baru pertengahan tahun lalu, melalui sindikasi sejumlah bank di Singapura, dia memperoleh pinjaman US$ 75 juta untuk pengadaan cadangan tembakau dan cengkihnya. Tapi menghadapi tahun 1984 ini, direksi pabrik rokok itu tampaknya tak ingin terlalu optimistis. "Mau kita, sih, terus naik. Tapi bisa mempertahankan jumlah penjualan seperti tahun lalu saja sudah cukup bagus," ujar Thomas Darmadji Rachmat, asisten direktur Gudang Garam. Anggapan serupa juga dikemukakan A. Hutabarat, direktur Pagi Tobacco Coy., Medan. Maklum, pabrik rokok ini, yang kini mampu menghasilkan empat merk rokok putih hampir 140 juta batang sebulan, masih merasa Puyeng ketika dikenai tarif cuka 40%. Dalam keadaan daya beli konsumennya kini lemah - pada umumnya adalah rakyat di pantai yang hanya mampu membeli rokoknya seharga Rp 110 sebungkus - dia beranggapan mustahil menaikkan harga banderol - untuk menambah penghasilannya. "Rokok dari Jawa terlalu kuat," kata Hutabarat. Sikap menahan diri juga dilakukan PT Sampoerna, penghasil kretek Dji Sam Soe, dan 234 filter. Kata Hendra Prasetya, manajer umum Sampoerna, pabriknya belum menganggap perlu menaikkan banderol Dji Sam Soe dari Rp 550 jadi Rp 575 sebunkus. "Pasar masih lesu," katanya. "Kalau toh kami paksakan naik juga, omset penjualan bisa turun." Jadi, para penghasil rokok kretek dan putih menengah itu tampaknya lebih suka mengetatkan ikat pinggang untuk sementara. Tapi pihak Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) optimistis, tahun ini pemasaran rokok akan naik 10%-15%. Tahun lalu, penjualan rokok mencapai 50 milyar batang, yang 25 milyar di antaranya merupakan SKM. "Tapi entahlah kalau ada kampanye anti-merokok nanti..."ujar F. Soeharto, ketua Gappri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini